Satu diantara perkara yang membatalkan puasa adalah ‘ayn (sesuatu yang kasat mata) ke dalam rogga tubuh (jawf) melalui tenggorokan, lubang telinga, lubang hidung, kemaluan dan dubur.
Merokok berarti menghisap asap dengan berbagai kandungannya lewat tenggorokan. Asap rokok (al-dukhan) termasuk kategori ‘ayn. Sehingga menghisapnya, menurut fuqaha (ahli fikih), dapat membatalkan puasa.
Dalam kondisi normal, setiap muslim tidak dibenarkan melanggar al-mufthirat. Orang boleh berbuka apabila berhalangan, sakit, bepergian, mengandung, dan menyusui. Orang usia lanjut yang tidak mampu berpuasa, juga dibebaskan dari rukun Islam keempat ini. Lapar dan dahaga yang tidak tertahankan (dikhawatirkan darinya kematian atau rusaknya organ tubuh) memperbolehkan berbuka pula. Allah Swt. melarang manusia mencelakakan dirinya.
Hal ini sebagaimana difirmankan Allah Swt. yang artinya sebagai berikut:
“Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan, pada hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 183).
Ibadah puasa dimaksudkan untuk membentuk pribadi yang bertakwa, tetapi jika pelaksanaannya justru membawa mafsadah yang berat, maka boleh ditinggalkan.
Bagaimana hal ini ditarik untuk masalah muallaf yang kecanduan rokok. Cukupkah efek negatif meninggalkan rokok (pusing) sebagai alasan berbuka.
Kondisi yang memperbolehkan berbuka adalah jika seseorang tidak makan atau minum akan kehilangan nyawa, mengurangi akal pikiran dan tidak berfungsinya salah satu panca indra. Keadaan darurat seperti inilah yang memungkinkan sebuah larangan ditoleransi untuk dilanggar.
Dengan batasan tersebut, maka pusing kepala belum bisa dijadikan alasan untuk tidak berpuasa. Karena masih termasuk kategori penyakit ringan yang bisa ditolerir.
Oleh karena itu, disarankan kepada seorang muallaf tetap bersahur dan niat puasa. Kalau ternyata siang harinya keselamatan jiwa dan keselamatan saudara benar-benar terancam, maka silahkan berbuka. Hanya saja, pada bulan-bulan yang akan datang ketika telah mampu berpuasa, ia harus meng-qhada (mengganti puasa yang batal). Sebaliknya, jika masih mampu, usahakanlah tetap bertahan sampai waktu berbuka tiba.
Salah satu kaidah fikih menyatakan: ats-tsawab bi qadr at-ta’ab (besaar kecilnya pahala amal ibadah disesuaikan dengan kesulitan melaksanakannya). Artinya, karena berstatus muallaf, kesulitan yang ia alami dalam berpuasa akan menjadi nilai lebih tersendiri. Allah Swt. tidak akan membiarkan perjuangan hamba-Nya sia-sia.
Sumber: K.H.M.A. Sahal Machfudz, Dialog Problematika Umat, hal 120-121, Khalista, Surabaya, 2013.