Di salah satu video di youtube, Rahmat Baequni menolak bahwa metode dia adalah cocoklogi. Alasannya, ya pasang saja salib di masjid/tempat sholat, lalu maknai saja garis vertikalnya hablum mina-n-nas dan garis horisontalnya hablum minalloh.
Itu jelas bukan argumen. Dia menggunakan kelemahan cocoklogi dalam konteks yang lain, supaya “cocoklogi”-nya tidak dianggap bagian dari cocoklogi.
Gampangnya, dia menyerang metode cocokloginya sendiri di kasus A, agar dia tidak dianggap bermetode cocoklogi (meski dia memakai cocoklogi di kasus B)
Ia sebenarnya tidak menjawab dimana letak kebenaran metodenya. Ia hanya berkelit memindah perbincangan pada objek (salib dan segitiga) yang merupakan simbol dengan fungsi dan makna yg berbeda. Dia memperbincangkan salib yang telah mengalami pengkhususan makna (dimana metode cocoklogi akan disangsikan), sementara segitiga masih merujuk makna umum (dimana dengan metode cocoklogi bisa bermakna khusus).
Masalahnya kapan suatu bentuk atau istilah akan dimaknai khusus atau umum? Cuma Baequni yang tau, karena dengan begitu dia bisa seenak jidat menginterpretasi.
Kalo dia tidak pake cocoklogi, coba tanyalah sama dia, apa beda cocokloginya dgn cocoklogi yang lain itu?
Di satu saat lain, dia bilang sumatera berasal dari kata as-syamatiro. Saya membayangkan ayahnya akan menyalahkannya karena Sumatera berasal dari kata latin: summa (summary: ikhtisar) dan terra (tanah). Sumatera adalah tanah pendahuluan sebelum bertemu pulau-pulau lainnya.
Masing-masing sama benar secara metode cocoklogi. Tapi haqqul yakin, Baequni akan terima ide ayahnya. Karena dalam cocoklogi bukan nalar yang diminta, melainkan kepatuhan dan ketertundukan.