Jamak diketahui bahwa tradisi intelektual Islam pernah mencapai puncak kejayaan pada periode klasik. Tak terhitung jumlah intelektual muslim yang lahir pada masa itu. Mereka mewariskan banyak karya dalam berbagai bidang keilmuan, mengilhami intelektual lain yang muncul setelahnya, baik dari kalangan muslim maupun non-muslim. Salah satu karya yang menyita perhatian para pengkaji khazanah Islam klasik adalah Hayy ibn Yaqdhan, karya seorang filosof muslim kelahiran Spanyol bernama Abu Bakar bin Thufail atau Ibnu Thufail yang populer di Eropa dengan sebutan Abubacer.
Sekilas Tentang Hayy ibn Yaqdhan
Hayy ibn Yaqdhan merupakan sebuah novel (ada yang menyebutnya dongeng, juga fabel) yang mengisahkan perjalanan seorang manusia dalam mencari kebenaran. Tokoh utama dalam cerita bernama Hayy ibn Yaqdhan (Hidup, sang putra Sadar), yang juga menjadi judul dari novel karya Ibnu Thufail ini. Novel ini menjadi satu dari segelintir karya Ibnu Thufail yang terselamatkan dan berhasil eksis hingga saat ini.
Novel ini mengisahkan perjalanan hidup Hayy yang hidup seorang diri di sebuah pulau yang terisolasi dari kehidupan manusia. Sebuah pulau yang dalam edisi bahasa Inggris digambarkan sebagai the most equable and perfect temperature of all places on the earth (tempat paling tenang dan suhunya paling ideal di muka bumi).
Hayy hidup tanpa pengasuhan kedua orang tuanya, karena ibunya yang khawatir keselamatannya akan terancam oleh penguasa yang dholim sengaja menghanyutkan dirinya saat masih bayi ke laut. Perahu kecil yang membawa bayi itu terapung dan kemudian terdampar di pulau yang telah disebutkan di atas. Kemudian ia ditemukan oleh seekor rusa yang selanjutnya menjaga dan merawatnya hingga ia dewasa.
Hidup seorang diri dan tanpa bimbingan sama sekali, Hayy mulai berpikir dan merenungkan setiap fenomena alam yang dilihatnya. Melalui perenungan itu, ia mendapatkan banyak pelajaran untuk bisa tetap bertahan hidup. Pada suatu titik, dari beragam fenomena alam yang ia jumpai, ia berkesimpulan bahwa ada satu entitas yang ada di balik kebaragaman itu, yang kemudian ia sebut sebagai “sebab pertama” atau Tuhan. Semua fenomena yang ada itu merupakan ‘pantulan’ dari Tuhan yang satu itu.
Suatu ketika, ada seorang bijak dari kalangan ahli agama mengunjungi pulau tempat tinggal Hayy. Dua manusia itu pun bertemu. Hayy kaget, karena ia sama sekali belum pernah mengenal manusia sebelumnya. Sang bijak yang bernama Absal itu kemudian mengajarkan banyak hal, termasuk bahasa manusia. Banyak hal yang mereka perbincangkan, mereka juga saling berbagi pengetahuan. Hayy memperoleh pengetahuan melalui penalaran terhadap fenomena alam, sedangkan Absal memperolehnya dari teks-teks keagamaan yang dipelajari dan diajarkan oleh gurunya. Absal yang mendengar penjelasan dari Hayy tercengang, karena segala hal yang diutarakan sangatlah sesuai dengan informasi yang tertuang dalam teks-teks keagamaan yang ia pelajari.
Absal mengajak Hayy untuk ikut ke pulau yang ditinggalinya, pulau yang dihuni oleh banyak manusia lainnya. Meski awalnya ragu, namun pada akhirnya Hayy mengiyakan ajakan sahabat barunya itu. Keduanya menjadi ‘sahabat dalam dakwah’ dan mengajarkan banyak hal ke penduduk di pulau itu. Hayy melihat bahwa umat beragama di pulau itu hanya melaksanakan segala perintah yang tertuang dalam teks keagamaan tanpa mencoba untuk menyelami esensi dari setiap perintah itu.
Hayy pun mulai mendakwahkan pengetahuan yang ia dapatkan. Sayangnya, ia justru mendapat banyak penolakan, karena pengetahuan yang ia sampaikan masih asing di telinga umat beragama di pulau itu, dan mereka belum pernah menjumpainya dalam teks-teks keagamaan. Ia pun tersadar, bahwa pengetahuan seperti yang ia miliki memang tidak bisa disebarkan kepada semua kalangan. Singkatnya, Hayy hidup bersama Absal di pulau itu hingga akhir hayatnya.
Hubungan Manusia dan Alam sebagai Basis Moral Ekologis
Novel Hayy ibn Yaqdhan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Menurut catatan Lawrence I. Conrad dalam The World of Ibn Tufayl, novel ini telah tersedia dalam versi Latin, Inggris, Prancis, Jerman, Ibrani, Spanyol, Belanda, Italia, Persia, Urdu, dan beberapa bahasa lainnya. Conrad mengapresiasi novel ini dengan mengatakan:
“Apart from the Thousand and One Night (and of course Al-Qur`an), there is probably no work in all of classical Arabic literature that has been published so many times and translated into so many other languages.” (Selain kisah 1001 malam, dan tentu juga Al-Qur`an, kemungkinan tidak ada literatur Arab klasik yang dipublikasikan dan diterjemahkan sebanyak Hayy ibn Yaqdhan).
Tidak hanya diterjemahkan, novel ini menjadi tema yang hangat untuk dikaji, khususnya bagi yang tertarik menggali ide dan gagasan filsafat Ibnu Thufail. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari kisah Hayy ibn Yaqdhan, seperti pentingnya merenungi penciptaan alam semesta, tidak mempertentangkan antara dalil ‘aqli dan naqli dalam upaya mencari kebenaran karena keduanya bisa dikombinasikan, dan lainnya. Tak terkecuali moral ekologis yang dapat digali dari kisah perjalanan Hayy dalam berinteraksi dengan alam sekitarnya.
Maafa Sofiane dalam artikelnya yang berjudul The Island of Enlightment: an Eco-critical Analysis of Hayy ibn Yaqzan mengatakan bahwa novel ini dipertimbangkan sebagai literatur paling awal yang menyangkal isu “manusia vs alam semesta” (man vs nature). Bencana alam yang acap kali membinasakan kehidupan umat manusia, dan sebaliknya, manusia yang gemar merusak alam, adalah gambaran dari ‘permusuhan’ yang terjadi di antara kedua makhluk Tuhan itu.
Namun, dalam novel Hayy ibn Yaqdhan, hubungan antara manusia dan alam semesta digambarkan sebagai hubungan yang penuh harmoni dan saling menjaga. Pertama, gambaran alam semesta yang menjaga sosok Hayy dapat dijumpai dalam kisah awal kehidupan Hayy. Bayi yang terdampar di pulau yang tak berpenghuni itu seakan-akan dijaga dan dirawat oleh alam. Rusa yang merawat dan bahkan menyusuinya, serta keadaan alam yang tenang dan memiliki temperatur yang sempurna seperti yang dilukiskan oleh Ibnu Thufail dalam novelnya itu, mengisyaratkan penjagaan alam terhadap Hayy.
Kedua, gambaran sosok Hayy ibn Yaqdhan yang menjaga alam semesta dapat dijumpai dalam kisah saat dirinya telah tumbuh dewasa. Hayy yang tumbuh bersama para binatang yang menghuni pulau itu menghindari cara berburu untuk bertahan hidup. Ia tidak ingin membunuh binatang yang sudah dianggapnya seperti keluarga sendiri. Ia lebih memilih untuk memanfaatkan tumbuh-tumbuhan yang ada. Itu pun dengan tidak berlebih-lebihan. Setiap dirinya usai memanfaatkan suatu tumbuhan untuk dikonsumsi, ia langsung menanam tumbuhan yang lain sebagai penggantinya. Meski demikian, Hayy bukanlah seorang vegetarian, ia tetap mengonsumsi daging hewan saat kondisi yang mendesak.
Dua gambaran itu dapat menjadi bahan refleksi di tengah ancaman krisis ekologi saat ini. Memang, tidak semua bencana itu ada andil manusia, seperti tsunami dan gempa bumi. Namun, manusia tidak boleh menyangkal bahwa sebagian besar bencana yang terjadi justru diakibatkan oleh ulah tangannya sendiri. Pemanfaatan sumber daya alam yang tidak diimbangi dengan upaya pelestarian justru membuat keseimbangan alam menjadi goyah. Dan, yang terjadi selanjutnya bisa diprediksi: kerusakan alam yang bisa membawa petaka bagi kehidupan di muka bumi.
Sebagai makhluk yang telah diamanahi untuk menjaga kelestarian alam semesta, serta dengan dibekali amunisi yang agung berupa akal, manusia seharusnya menyadari bahwa kelangsungan hidup di muka bumi ini bergantung pada perilakunya. Jangan sampai, keserakahan dirinya membuat alam semesta murka.