Telah diterima secara umum bahwa sejarah Islam, sebagai sebuah peradaban, dapat dibagi menjadi beberapa babakan (periode), yaitu, masa kemunculan dan perkembangan, masa keemasan, masa kemunduran, dan masa kebangkitan Islam. Masa kemunculan dan perkembangan Islam diawali pada masa dakwah Nabi yang pertamakali hingga dinasti Ummayah, masa keemasan pada masa Abbasiah (utamanya abad 9 hingga 11 M), masa kemunduran sejak jatuhnya Baghdad abad ke 13 M hingga 18 M, dan abad kebangkitan Islam sejak abad 19 M hingga kini.
Tentunya terdapat berbagai variasi periodisasi, namun telah secara umum diterima bahwa Islam pernah mengalami masa keemasan peradabannya (lewat perkembangan filsafat dan terobosan keilmuannya), tapi lalu seiring dengan kritik keras para ulama konvensional (utamanya Imam Al Ghazali) yang mendapat patronase penguasa saat itu hingga puncaknya serangan Mongol yang meluluh-lantahkan Baghdad (sebagai pusat peradaban Islam saat itu) maka berakhirlah era keemasan peradaban Islam, dan selama berabad-abad setelahnya umat berada dalam stagnasi atau kejumudan pemikiran.
Dalam hemat penulis, periodisasi sejarah seperti di atas tidaklah sepenuhnya benar. Tidak ada seorang sejarawan pun yang berhak “menilai” periode yang satu lebih baik dari periode yang lain, mengingat kedua periode sejarah tersebut memiliki tantangannya yang berbeda-beda. Berbagai periodisasi yang diwarnai penilaian di atas niscaya terjadi karena seorang sejarawan melihat periode sejarah tertentu dari posisinya berdiri saat ini (yaitu dalam abad modern, dan perspektif Barat yang sekuler dan materialistis) dan bukan dari perspektif periode sejarah itu sendiri (from within).
Akibatnya yang terjadi adalah kerancuan dalam menangkap “api” sejarah yang sebenarnya (aspek batini sejarah, dalam istilah Ibn Khaldun) yang memungkinkan kita memetik pelajaran darinya, melainkan sebatas justifikasi atas keutamaan periode sejarah kita sendiri. Sebab, bukankah dengan mengatakan masa keemasan Islam terjadi pada abad ke 9-11 M, secara tidak langsung kita juga mengatakan masa modern yang diwarnai oleh berbagai penemuan saintifik dan kebebasan berpikir (dengan melupakan berbagai permasalahannya, seperti krisis lingkungan dan moralitas) sebagai masa yang terbaik dan utama dibanding masa-masa sebelumnya.
Begitulah, penulis menganalisa bahwa periodisasi masa keemasan Islam (dan kemunduran Islam di sisi lain) tak lebih dari mitos sejarah yang diciptakan oleh para sejarawan modern yang positivistis. Sebagaimana telah diketahui bersama, August Comte, bapak Positivisme modern (sebagai paradigma keilmuan yang berlaku dewasa ini), membagi sejarah peradaban umat manusia menjadi beberapa periode, yaitu, masa mitologi dan teologi (dimana doktrin agama menjadi acuan kebenaran), masa filsafat (dimana spekulasi-spekulasi rasio menjadi acuan kebenaran yang koheren), dan akhirnya masa positivisme (dimana sains dan pembuktian korespondensi yang menjadi acuannya).
Atas dasar ini maka tak mengherankan bila masa perkembangan filsafat dan sains yang terjadi sepanjang abad 9 hingga 11 M dianggap sebagai masa keemasan, sedang masa setelahnya dimana sufisme dan tarekat berkembang luas (yang dalam perspektif positivisme dianggap tidak ilmiah) dianggap sebagai abad kejumudan dan kemunduran Islam.
Sebagai alternatif dari periodisasi sejarah Islam yang dipenuhi bias positivisme di atas, maka penulis cenderung memandang setiap periode sejarah Islam sebagai masa keemasan Islam (dan di sisi lain juga masa kemunduran). Sebab selalu ada aspek-aspek positif (selain negatif) dari setiap periode yang bisa dipetik hikmahnya bagi umat saat ini, dimana berbagai periodisasi di atas bersifat saling melengkapi (alih-alih meniadakan dan dipertentangkan sebagaimana perspektif positivisme) sebagai kerangka membentuk peradaban Islam modern yang lebih integral.
Demikianlah, periode awal kemunculan dan perkembangan Islam merupakan masa “keemasan” aqidah dan akhlak; masa Abbasiah sebagai masa “keemasan” filsafat dan sains Islam; akan halnya masa pasca jatuhya Baghdad sebagai masa “keemasan” sufisme dan dakwah Islam, dan seterusnya. Lewat periodisasi seperti ini, harapannya, kita semua (para pembaca secara umum dan mahasiswa sejarah secara khusus) bisa memetik pelajaran positif (dan negatif) dari setiap periode—tidak sekadar mengagung-agungkan satu periode tertentu dan memandang remeh periode lainnya, tapi juga mampu mengkritik setiap periode (termasuk periode keemasan filsafat dan sains yang sangat diagung-agungkan itu, dan bahkan masa Nabi yang dianggap paling ideal sekalipun) dan sekaligus melihat keunikan dalam periode tersebut yang tidak dimiliki periode lainnya—dalam rangka menangkap “api” sejarah peradaban Islam secara utuh dan tidak setengah-setengah.
Wallahu ‘alam bi showab
Penulis: Muhammad Yasser, S.Hum, M. Ud