Di sela-sela bakaran sate daging kurban kemarin, saya berbincang dengan salah satu kawan di pesantren TPI al-Hidayah Plumbon tentang mimpi Nabi Ibrahim diperintah Allah menyembelih putranya.
Kami merujuk kitab tafsir Maroh Labid atau yang lebih dikenal dengan tafsir Munir karya Kiai Nawawi Banten.
Dalam kitab tafsir yang sampai sekarang dikaji oleh mayoritas pesantren di Indonesia itu, Kiai Nawawi mengutip sebuah riwayat perihal mimpi Nabi Ibrahim yang menjadi cikal bakal ibadah kurban yang sekarang kita jalankan ini.
Ternyata, Nabi Ibrahim baru bertekad menyembelih putranya setelah tiga kali bermimpi yang sama.
Pada malam delapan bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim bermimpi untuk pertama kalinya perihal perintah pengorbanan itu. Dia seakan mendengar suara “Sesungguhnya Allah memerintahkanmu menyembelih putramu”.
Menyikapi mimpinya itu, Nabi Ibrahim merenung dari pagi hingga sore – dalam bahasa filsafat, mungkin bisa disebut skeptis – apakah mimpi itu benar dari Allah, atau hanya sekedar rekayasa setan.
Malam harinya, malam sembilan Dzulhijjah, mimpi yang sama hadir dalam tidur Nabi Ibrahim: perintah menyembelih anak yang disayanginya.
Nabi Ibrahim pun menjadi yakin, bahwa mimpi itu dari Allah. Namun dalam tafsir Kiai Banten itu, walaupun telah yakin, tidak tercantum keterangan Nabi Ibrahim langsung mengambil sikap untuk menyembelih anaknya.
Malam selanjutnya, yakni malam sepulih Dzulhijjah, Nabi Ibrahim bermimpi lagi. Sama persis dengan kedua mimpi sebelumnya. Pasca mimpi yang ketiga ini, Nabi Ibrahim bertekad menyembelih anaknya.
“Nabi Ibrahim berarti sangat hati-hati ya? Padahal mimpi seorang nabi itu kan benar adanya” komentar kawan saya setelah membincang kisah di atas.
Tampaknya teman penulis merujuk pada keterangan Imam Suyuthi di Tafsir Jalalain ketika menafsiri ayat yang menerangkan mimpi Nabi Ibrahim itu, bahwa mimpi para nabi itu benar.
Namun yang unik, Nabi Ibrahim tak langsung mengambil sikap. Baru setelah bermimpi tiga kali, Nabi Ibrahim bertekad menjalankan perintah Tuhannya itu, yang dititahkan lewat mimpi.
Nabi Ibrahim juga tidak secara arogan dalam melaksanakan apa yang dititahkan itu. Alquran menjelaskan, Nabi Ibrahim meminta pendapat anaknya perihal mimpinya.
Apa yang dilakukan Nabi Ibrahim di atas patut kita contoh di era informasi seperti sekarang. Sebagaimana Nabi Ibrahim menentukan sikap setelah melalui beberapa tahap, kita perlu melakukan upaya verifikasi terhadap informasi yang menghampiri. Tentu bentuknya tidak harus sama persis dengan apa yang dilakukan Nabi Ibrahim, tapi dengan ketrampilan verifikasi yang ditimba dari ilmu jurnalistik dan penggunaan teknologi di era kita secara maksimal. Bukankah begitu?