Jika diminta untuk menggambarkan sosok Buya Syafii Maarif dalam satu kata, saya memilih kata sederhana. Ini bukan karena nama sederhana identik dengan rumah makan khas Padang tempat kelahiran beliau, namun memang karena beliau adalah sosok yang menghidupi kesederhanaan itu dengan teguh. Bukan sebatas teori semata.
Bagi yang menyaksikan masa aktif beliau sebagai dosen, ingatan tentang Buya Syafii tidak akan jauh dari sosok dosen yang bersahaja, bersepeda tiap berangkat mengajar ke IKIP Yogyakarta (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta).
Buang jauh-jauh stigma liberal atau sesat yang sering dialamatkan secara sembarangan kepada beliau. Bagi saya, Buya Syafii adalah seorang warga perumahan biasa, yang menghabiskan masa tuanya dengan rutin shalat berjamaah di masjid Nogotirto, Sleman.
Buya Syafii Maarif menjadi satu dari tiga sosok cendekiawan Muslim yang disebut Gus Dur sebagai Pendekar dari Chicago. Merujuk pada tiga orang cendekiawan Muslim yang studi di Amerika, yaitu Nurcholish Madjid, Amien Rais dan Buya Syafii Maarif sendiri. Sebagai seorang pendekar, penampilan keseharian Buya Syafii jauh dari kata perlente. Mengenakan kemeja batik, bercelana panjang dan berkopiah hitam. Penampilan sehari-hari Muslim Indonesia pada umumnya.
Meski dengan kondisi fisik yang terbatas – bahwa tiap beliau shalat harus duduk mengunakan kursi lipat – namun masih tampak ketajaman pikiran, dan kearifan yang muncul dari pengalaman intelektual yang panjang. Sepanjang usianya yang pada hari ini (31/5) mencapai 85 tahun.
Saya bukan orang dekat beliau, hanya anak muda yang suka sowan ke orang sepuh. Kesempatan saya bertemu dengan Buya Syafii bisa dihitung dengan jari tangan. Namun selayaknya bertemu dengan tokoh besar, selalu saja ada teladan baik yang saya kantongi pulang.
Saya ingat betul saat sowan dan ngobrol lama dengan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah tersebut, untuk mengirim undangan dalam sebuah acara di awal tahun 2018. Ada kekaguman yang mendalam terhadap Buya Syafii Maarif saat itu. Betapa tidak, sebagai tokoh besar Muhammadiyah, Buya Syafii justru mengingatkan saya untuk mengkaji lagi tentang Nahdlatul Ulama, rumah besar Islam yang menjadi identitas kultural saya, dan jutaan Muslim Indonesia.
“Anda orang NU?” Tanya beliau kepada saya.
“Insya Allah, Buya.” Saya sengaja jawab dengan insya Allah, karena toh saya merasa bukan orang NU yang layak. Standar kesalehan saya masih sangat jauh dari ideal untuk disebut sebagai warga Nahdliyyin tulen. Lagipula saya menduga-duga, pertanyaan buya Syafii ini punya lanjutan. Dan ternyata betul.
“Sudah pernah baca Qanun Asasi Nahdlatul Ulama?” Tanya beliau.
Saya cuma bisa nyengir. Karena memang Qanun Asasi Nahdlatul Ulama itu sering saya dengar, hanya belum pernah saya baca. Dan saya kira bukan hanya saya, jutaan warga yang mengaku beridentitas kultural NU ini juga banyak yang belum membaca atau bahkan tidak tahu apa Qanun Asasi itu.
Qanun Asasi secara harfiah bermakna undang-undang dasar. Dalam konteks ini, Qanun Asasi adalah pedoman dan garis perjuangan Nahdlatul Ulama, yang disusun oleh Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari di awal pembentukan NU. Di dalamnya berisi kutipan ayat al-Quran, riwayat hadis dan pasal-pasal yang menerangkan pondasi dasar pembentukan serta garis perjuangan Nahdlatul Ulama.
“Kamu harus baca itu! Isinya bagus sekali. Kemarin saya habis dari Jombang, saya borong semua itu buku-buku dan kitab-kitab Kiai Hasyim Asy’ari. Pemikirannya dahsyat sekali yang ada di Qanun Asasi NU. Sikapnya Kiai Hasyim tegas: melarang terjadinya perpecahan.” Terang Buya Syafii.
Dalam hati, saya kasihan dengan diri saya sendiri yang masih suka pelit untuk membeli buku. Buya Syafii di usia yang sudah sepuh masih menyimpan ghirah belajar yang besar.
“Kiai Hasyim Asyari itu satu guru dengan Kiai Dahlan (KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah). Ketemu di Kiai Saleh Darat Semarang. Hasyim Asyari masih setia dengan madzhab empat. Banyak yang bilang dia itu fanatik madzhab, tapi sebenarnya demokratis. Kalau Ahmad Dahlan lebih merdeka.” Lanjut beliau. Saya dan beberapa teman saya semakin khidmat mendengarkan.
“Nah, sekarang soal khilafiyah ini NU-Muhammadiyah sudah mereda, eh politik negaranya makin nggak karuan” Tegas beliau.
Beliau tiba-tiba bertanya kepada kami, “Orang NU masih banyak nggak yang baca Qanun Asasi?” Saya diam. Nyengir lagi. Kecut rasanya. Buya Syafii ini tokoh Muhammadiyah, namun teguran beliau rasanya seperti ketika saya mondok, dan kena marah oleh Kiai sendiri.
Begitulah Buya Syafii. Sosok yang teduh, ramah dan bersahaja. Daripada menyebut beliau sebagai seorang pendekar seperti yang disematkan Gus Dur, saya lebih suka menggambarkan Buya Syafii sebagai seorang kakek bangsa Indonesia yang tidak pelit memberikan petuah dan nasihat kebijaksanaan kepada cucu-cucunya. Saya rasa ini bisa diamini oleh siapapun yang pernah berkesempatan menimba ilmu kepada beliau.
Selamat ulang tahun ke-85, Buya Syafii Maarif!