Imam Malik, pendiri mazhab fiqh kedua setelah Imam Hanafi, yang dikenal luas dengan keahlian ilmu hadisnya dan kitabnya Al-Muwaththa’, menuturkan bahwa kitabnya tersebut telah “disepakati” oleh 70 ulama terkemuka sezamannya. Bukan hanya ulama Madinah, senegerinya. Kitab tersebut dijuduli Al-Muwaththa’ pun, artinya “yang disepakati”, memperlihatkan hal tersebut.
Sudah pasti, kita semua mafhum, adanya perbedaan pendapat dan fatwa antarulama alamiah belaka. Tidak berarti walau al-Muwaththa’ telah disepakati, lantas seluruh isinya benar-benar tidak berbeda dengan fatwa-fatwa ulama lainnya. Kitab Al-Um karya Imam Syafi’i memperlihatkan adanya sejumlah perbedaan fatwa tersebut. Kendati Imam Syafi’i punya hubungan sanad ilmu yang sangat dekat kepada Imam Malik, karena beliau pernah berguru kepada Imam Malik.
Dalam hal manhaj alias metode takwil hukum pun, keduanya berbeda. Imam Malik dikenal dengan pendekatan tradisi Madinah, di mana beliau menyatakan bahwa tradisi masyarakat Madinah awal yang dihun para sahabat dan dekat sekali dengan Rasulullah Saw merupakan bentuk hukum Islam yang ideal. Berbeda dengan Imam Syafi’i yang memberikan tekanan mendalam kepada sunnah.
Ini tidak berarti bahwa Imam Malik mengendurkan rujukan hukumnya dari Sunnah Rasulullah SAW. Tidaklah. Pun tidak berarti bahwa Imam Syafi’i anti Mashlahah Mursalah dan ‘Urf. Tidak. Ini hanya penamsilan karakter ijtihad mereka yang lalu membuahkan bangunan fatwa yang sebagiannya berbeda.
Dalam hal berjabat tangan dengan lawan jenis, misal, Imam Malik mutlak menyatakan haram. Imam Syafi’i menyatakan tak boleh, kecuali bila ada pembatas tabir, kasyf, antara tangan lelaki dan perempuan. Jadi, ada pengecualian.
Kini mari bayangkan bagaimana lagi dengan fatwa-fatwa hukum Islam yang belakangan ini begitu gampangnya diproduksi dan dipublikasikan tanpa batas. Pun tanpa mekanisme “al–Muwaththa’” sama sekali. Alias suka-suka saja.
Sudah tentu perbedaan yang muncul begitu limpah lagi ruah. Masih mending jika keragaman tersebut dihasilkan oleh para ulama dengan kompetensi alim dan saleh. Bagaimana bila produsennya adalah si entah, tak jelas sanad ilmunya, kompetensinya, dan dedikasinya pada ilmu al-Qur’an dan hadis dan ilmu-ilmu alat yang menjadi keniscayaan? Lalu bagaimana ihwal kesolehan mujtahid, mufti, tersebut? Kewara’annya? Kezuhudannya? Dan lain sebagainya.
Inilah yang terjadi kini, sehingga lalu-lalang fatwa begitu karut-marut sampai bukan lagi memicu kebingungan di mata khalayak awam, bahkan perpecahan.
Saya teringat satu teori dari Ian Barbour ketika menjelaskan tentang mekanisme teori yang otoritatif. Ia berkata, haruslah teori tersebut terlebih dahulu melalui suatu community researchers, badan atau komunitas tashih, yang mumpuni keilmuan, pengalaman, kebijaksaan, dan dedikasinya pada ilmu pengetahuan. Artinya, tidak etik sebuah teori serta merta dilontarkan ke ruang pubik awam tanpa adanya uji teoritis tersebut.
Kiranya hal yang sama menjadi keniscayaan kemaslahatan bagi bangunan fatwa hukum Islam. Mestinya ada uji kompetensi dan maslahah terhadap suatu pendapat fiqh, sebelum diasupkan ke para jamaahnya. Semata demi menekan risiko madharat di dalamnya. Menghindarkan kebingungan dan perselisihan umat tentulah harus didahulukan ketimbang ambisi menjedulkan fiqh baru belaka.
Dalam tradisi pesantren, mekanisme uji fatwa tersebut telah dilangsungkan dari lama. Kita mengenal metode muhadharah, muthala’ah, muraja’ah, hingga yang lebih berkelas besar macam bahtsul masail, dan sejenisnya, yang tentulah dimaksudkan untuk mengasah kompetensi sebuah pemikiran, fatwa, istinbat al-hukm, relevansinya dengan realitas masyarakat, hingga kebijasanaannya bagi kebaikan publik luas.
Dengan sendirinya, metode-metode tersebut mengelimir pandangan-pandangan, fatwa-fatwa, yang kurang otoritatif dalam segala kacamatanya. Boleh saja ia otoritatif secara analitis dan literatur, tetapi kita mengerti bahwa maslahat kehidupan masyarakat lebih utama untuk dirawat, termasuk menghindarkan ontran-ontran, ketimbang sekadar kemegahan analisis dan menterengnya literatur.
Pun niscaya metode-metode tersebut menempatkan orang pada porsinya. Yang ahli akan menjadi si ahli, yang kurang ya menjadi tahu diri, dan yang awam tentulah menjadi muqallid hakiki.
Lagi pula, bukankah menjadi pengikut, muqallid, bukan suatu aib, ya? Dan malah bukankah memaksakan diri menjadi mufti dalam keterbatasan kompetensi alim dan soleh adalah keburukan, ya?
Jika Anda termasuk orang yang bagian kedua, mari bersegera merenungkan bahwa hadis tentang ijtihad yang dinyatakan berpahala dua bila benar dan berpahala satu bila salah, itu hanya berlaku pada mujtahid, bukan semua orang. Itu artinya melibatkan secara utama ihwal kompetensi alim dan soleh.
Mengapa begitu?
Sebab pandangan dan fatwa hukum dari orang yang di luar kompetensi mujtahid niscaya garing secara otoritas keilmuan dan hanya mungkin bisa diproduksi oleh orang yang tidak takut kepada Allah. Garing dimaksud adalah sempitnya perspektif. Bayangkan, bila suatu realitas masyarakat difatwa oleh orang yang tahunya hanya satu hadis, maka hadita tersebutlah yang akan dipaksakannya untuk melandasi realitas tersebut.
Padahal jelas saja satu hadis acap tak bisa berdiri sendiri. Belum lagi bila berhadapan dengan tema ayat-ayat Al-Qur’an, Asbabun Nuzul, ‘Urf, Mashlahah Mursalah, dan lain sebagainya. Ia akan babak belur. Contoh dari babak belurnya suatu fatwa ialah jauh dari cahaya kebijaksanaan. Berciri menekan, memaksa, menindas, hitam putih belaka. Pokoknya! Bagaimana mungkin hidup muslim justru menjadi pelik penuh masalah tatkala dinisbatkan kepada hukum Islam itu sendiri?
Ihwal rohaninya ialah rasa takut kepada Allah. Ini akan mensterilkan seseorang dari hawa nafsunya. Entah nafsu faksional, politik, partai, pilpres, ekonomi, bisnis, syahwat, dan lain sebagainya. Bagaimana mungkin suatu ayat ditafsir dengan target menggolkan kepentingan politiknya belaka? Di kemanakan Mata Allah Swt yang selalu mengawasinya tanpa jeda? Kok masih berani melakukannya?
Sampai di sini, kiranya sangat mendesak bagi semua kita untuk mendahulukan akhlak andap asor di hadapan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW. Ini sumber utamanya adalah iman yang haq hanya kepada Allah SWT dan cinta Rasul-Nya. Kemudian ekspresinya mestilah disokong oleh kompetensi kealiman yang lengkap. Plus menyediakan diri selalu untuk ditashih, dikoreksi, dikritik bahkan oleh pihak lain secara terbuka. Semata demi kemajuan kualitas pandangan dan fatwa itu sendiri. Bukan selain-lainnya.
Pada tataran kita, kaum awam, mari mencermati pandangan-pandangan dan fatwa-fatwa hukum Islam apa pun secara seksama. Mari berkritis. Mari berkonfirmasi kepada orang yang dipercaya lebih ahli dari diri kita. Semata untuk mendapatkan informasi dan perspektif yang lebih luas dalam mamandang suatu pendapat, pikiran, dan fatwa hukum yang hadir ke meja rumah kita.
Jangan sampai kita seturut menjadi bagian dari umbaran fatwa yang memecah-belah umat Islam sendiri. Kita semua mesti berwaspada pada fatwa-fatwa kewanen, tanpa landasan kealiman dan kesolehan yang mu’tabar, yang niscaya hanya membawa madharat, kekacauan, dan perpecahan.
Wallahu A’lam.