Oktober 2018 lalu, terdapat peristiwa yang menyita perhatian kaum muslim di Indonesia. Saat perayaan Hari Santri Nasional di Garut, terdapat oknum yang mengibarkan bendera bertuliskan kalimat tauhid. Bendera tersebut telah digunakan oleh Hizbut Tahrir di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Akan tetapi, Hizbut Tahrir Indonesia telah dibubarkan oleh pemerintah. Barisan Ansor Serbaguna (Banser) sebagai pasukan keamanan saat perayaan Hari Santri Nasional di Garut tersebut, menganggap pengibaran bendera tersebut sebagai perilaku yang di luar konteks. Bahkan, menganggap sebagai pengibaran bendera organisasi yang telah dilarang oleh pemerintah. Maka dari itu, Banser mengambil tindakan dengan membakar bendera tersebut.
Pembakaran tersebut menuai kontroversi. Ada yang mencaci maki Banser, bahkan sampai ada mobilisasi massa menyerang Banser dan Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang menaungi Banser. Padahal, jika ditinjau dari segi hukum, pembakaran kalimat yang merupakan bagian dari kalimat Allah dan ayat Alquran tidak sampai membuat pembakarnya berdosa atau keluar dari Islam. Akan tetapi, upaya mengkonstruksi Banser dan Nahdlatul Ulama sebagai pihak yang anti-Islam gencar dilakukan pasca peristiwa pembakaran bendera tauhid tersebut.
Pasca pembakaran bendera tauhid tersebut, kelompok ekstrem-radikal (ekstrem-radikal tidak harus sampai pada tingkat melakukan perilaku teror dan agresi fisik, ekstrem-radikal bisa berwujud sederhana, misalkan pemikiran) selalu menggunakan bendera tauhid di setiap kesempatan, misalkan memajang kalimat tauhid pada foto-fotonya di media sosial, sampai dengan menggunakan bendera tauhid di setiap kegiatan keagamaan. Menarik menganalisis fenomena euforia kalimat tauhid tersebut. Banyak sekali keunikan yang terjadi, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Keunikan yang sederhana adalah adanya upaya konstruksi bahwa kelompok Nahdlatul Ulama telah menista Islam.
Di sisi lain, sikap kelompok ekstrem-radikal yang selalu menggunakan kalimat tauhid di berbagai kesempatan tertangkap kamera juga menista kalimat tauhid tersebut, misalkan meletakkan bendera tauhid di tanah dan dekat kaki, menduduki bendera tauhid, meletakkan bendera tauhid di bawah dirinya, dan sebagainya.
Analisis yang kompleks melibatkan adanya upaya eksploitasi dan konstruksi kalimat dan bendera tauhid tersebut. Eksploitasi ini terlihat dari sikap gemar menggunakan simbol tauhid dan mewujudkannya ke dalam berbagai aksesoris, misalkan topi, kaos, sampai dengan bendera. Eksploitasi ini kemudian berdampak pada upaya memperkaya diri atas nama agama. Bentuk eksploitasi yang lain adalah, menggunakan simbol tauhid di berbagai kesempatan, misalkan kegiatan keagamaan.
Di balik eksploitasi ini, ada upaya mengkonstruksi ulang bahwa simbol tauhid berupa bendera tauhid merupakan bendera yang telah menjadi simbol Nabi Muhammad SAW. Meskipun demikian, hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW menggunakan bendera tauhid berwarna hitam dan putih tersebut sangat terbuka untuk dikaji ulang dan diperdebatkan.
Sehingga, banyak ahli yang menganalisis bahwa hadits tersebut kualitasnya lemah karena terdapat perawi yang dinilai pembohong dan munkar, sampai dengan analisis bahwa penggunaan bendera tersebut dalam konteks perang sehingga jika digunakan pada daerah yang damai sama halnya perilaku tersebut mengajak pada peperangan. Di sisi lain, di berbagai kitab disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah memiliki bendera khusus.
Upaya mengkonstruksi ulang bahwa bendera tauhid adalah bendera Nabi ini kemudian akan dilanjutkan dengan konstruksi bahwa bendera tauhid adalah simbol umat Islam. Perilaku ini diperkuat dengan menggunakan simbol tauhid di berbagai kegiatan keagamaan. Akibat dari upaya kontruksi ini, masyarakat awam akan menganggap bahwa bendera tersebut memang merupakan simbol Islam. Dampaknya jika konstruksi ini berhasil adalah adanya sikap penyangkalan apabila diperlihatkan data ilmiah bahwa dalil tentang bendera dan simbol tauhid tersebut masih perlu dikaji kualitas dan konteksnya. Dengan demikian, akan ada upaya penerimaan pada masyarakat awam terhadap bendera tauhid tersebut.
Menarik menelusuri faktor dari upaya konstruksi bendera tauhid tersebut. Apabila mencermati karakteristik kelompok yang getol menyuarakan dan menggunakan bendera tauhid adalah kelompok ekstrem-radikal atau yang terkait dengannya. Rekam jejak mereka sejatinya sudah terbukti selalu membuat kegaduhan bahkan menyebabkan instabilitas di berbagai daerah. Konstruksi bendera tauhid sebagai simbol Islam dan kemudian dieksploitasi di setiap kegiatan keagamaan yang diadakan oleh mereka bertujuan untuk mengaburkan karakteristik ekstrem mereka.
Di saat yang bersamaan, mereka ingin mengkonstruksikan bahwa mereka adalah kelompok yang mewakili dan merepresentasikan Islam yang sebenarnya. Konsekuensi dari upaya konstruksi ini adalah adanya anggapan siapapun yang tidak sepakat dengan bendera tauhid dianggap sebagai kelompok yang tidak suka dan keluar dari Islam. Di sisi lain, ketika disajikan data faktual mengenai rekam jejak yang buruk tentang kelompok tersebut, maka masyarakat tidak akan mempercayainya karena karakteristik dasar mereka sudah terlanjur tidak terlihat oleh masyarakat akibat pengaburan tersebut.
Ketika upaya konstruksi ini berhasil pada titik puncak, maka kelompok ekstrem-radikal atau yang terkait dengannya akan dengan mudah menginjeksikan pemikiran dan gagasan mereka, terutama tentang sistem pemerintahan dan negara serta karakteristik pemimpin. Ya, bisa ditebak bahwa gerakan semacam ini tidak pernah murni untuk tujuan agama, hampir bisa dipastikan arahnya akan ke politik untuk menempatkan kelompoknya di posisi penting dalam suatu sistem dan daerah.
Maka dari itu, mewaspadai penggunaan kalimat tauhid sebagai simbol bukan berarti memusuhi Islam. Kalimat tauhid memang sakral dan suci. Akan tetapi, jika sudah digunakan oleh manusia yang di dalamnya mengandung nafsu, maka kalimat tauhid tersebut rentan disalahgunakan.
Kita seharusnya belajar dari peristiwa pengangkatan Alquran oleh pasukan Muawiyah ibn Abu Sufyan di perang Shiffin. Penggunaan simbol Islam tersebut belakangan diketahui merupakan siasat licik dari Muawiyah untuk mengalahkan Sayyidina Ali ibn Abu Thalib.
Kita juga seharusnya belajar bahwa penggunaan bendera tauhid tidak selalu berujung pada kedamaian dan kebenaran. Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan bendera tauhid oleh ISIS yang brutal dan sama sekali tidak Islami serta penggunaan bendera tauhid oleh Hizbut Tahrir Indonesia yang ingin mendirikan khilafah dan menggulingkan Indonesia yang diperjuangkan oleh para pahlawan dan ulama.