Salah satu ciri dari pelajar atau santri adalah kebiasaannya dalam menyatat pelajaran yang diberikan oleh guru di kelas. Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama berupa surat Al-Alaq ayat 1-5. Iqra’ menjadi perintah Tuhan yang pertama yang diberikan kepada Muhammad. Membaca menjadi tanda perubahan peradaban manusia menuju yang lebih baik. imam as-syafii hadis
Di ayat keempat dari surat Al-Alaq berbunyi Alladzi ‘allama bil qolam, yang memiliki terjemahan “Yang mengajar manusia dengan perantara qalam (pena)”. Ayat keempat ini menjadi dasar bahwa setelah membaca diikat dengan menulis, agar apa yang dibaca tidak hilang begitu saja.
Menulis dan mencatatat pelajaran menjadi ciri suatu pelajar, meski di era kemajuan teknologi informasi ini mencatat tidak harus menggunakan pena dan kertas, tetapi juga menggunakan gadget. Dahulu, pergi ke manapun santri selalu membawa kertas dan pena untuk mencatat hal-hal baru yang didapatkannya.
Mengenai kebiasaan mencatat, ada cerita unik dari dua dari 4 imam madzab besar, yakni Imam Maliki dan muridnya Imam as-Syafii. cerita ini diceritakan oleh Imam Ahmad bin Hasan al-‘Athosi dalam kitab al Manhaj al-Sawi Syarh Ushul Thariqah al-Saadah Aal Ba‘Alawi karangan al-‘Allaamah al-Muhaqqiq al-Faqih al-‘Abid az-Zahid al-Murabbi ila Allah as-Sayyid al-Habib Zayn bin Ibrahim bin Sumaith Ba’Alawi al-Husyaini.
Diceritakan bahwa Imam Mailik memiliki majelis pengajian Kitab Mawattha’ yang diselenggarakan di Madinah. Setiap Imam Malik menggelar pengajian tersebut, orang berbondong-bondong mendatangi majelis tersebut.
Ada yang unik dari majelis tersebut, hampir seluruh jama’ah membawa kertas dan pena. Tentunya kedua benda tersebut digunakan untuk mencatat Kitab Muwattha’ yang dibacakan oleh Imam Malik.
Suatu hari Imam Malik memebacakan 18 hadis dalam majelis tersebut. Ketika Imam Malik mendiktikan hadis, para jamaah mencatatnya. Ada salah seorang jamaah yang duduk di belakang kerumunan lainnya melakukan hal yang berbeda. Ketika yang lain mencatat hadis di atas kertas dengan pena, orang tersebut tampak memainkan tangan di atas punggung telapak tangannya.
Setelah pengajian tersebut selesai, dipanggillah orang tersebut. Kemudian Imam Malik berkata kepadanya, “Aku melihatmu memainkan tanganmu di atas punggung telapak tanganmu.”
Orang tersebut berkata, “Saya tidak melakukan demikian, ketika Tuan membacakan hadis, saya mencatatnya di atas punggung telapak tangan saya. Jika Tuan berkenan, saya akan membacakan ulang apa yang telah Tuan baca tadi kepada jama’ah”.
Imam malik menyetujui perkataan orang tersebut. Seketika itu juga, ia membaca ulang 18 hadis dari kitab yang dibacakan Imam Malik kepada jama’ahnya tadi, orang tersebut membaca hadist layaknya hadis yang sudah dihafalkan dengan baik.
Kemudian diketahui bahwa orang tersebut adalah Muhammad Idris bin al ‘Abbas bin Ustman bin Syafi’I bin as-Saib bin Ubayd bin ‘Abdul Manaf bin Qushay atau dikenal dengan Imam Syafi’i. Imam Syafi’I kemudian menjadi murid dari Imam Malik.
Di kemudian hari Imam Syafi’i juga menjadi ulama besar yang karyanya menjadi rujukan hokum umat Islam di banyak negara. Atas kehendak Allah, Imam Syafi’i mampu membacakan tulisan hadisnya yang ditulis di atas punggung telapak tangannya. Bagi sebagian orang tentu hal tesebut mustahil dilakukan.
Dari kisah dua imam besar tersebut kita mendapat pelajaran pentingnya mencatat pelajaran yang telah diberikan oleh guru-guru kita. Walaupun demikian, kisah Imam Syafi’i tidak bisa dijadikan dasar kita tidak membawa pena dan kertas ketika belajar karena mencontoh Imam Syafi’i. Apa yang dianugerahkan Allah kepada Imam Syafi’i adalah keistimewaan yang tidak selalu bisa dimiliki oleh orang lain. imam as-syafii hadis
Wallahu ‘alamu bi showab. (AN)