Sejarah selalu memiliki banyak versi, tak terkecuali sejarah Islamisasi di Indonesia. Andi Faisal Bakti dalam bukunya “Islam and Nation Formation in Indonesia” menyatakan bahwa proses islamisasi di Indonesia baru terjadi pada abad ke-13. Hal ini berbeda dengan pendapat Kennet W. Morgan yang menyatakan bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-7. metode dakwah
Pendapat Morgan tersebut didasarkan atas catatan Marcopolo yang hendak kembali ke Venezia pada tahun 692 M. Dalam catatan tersebut, Marcopolo memberitakan bahwa saat itu penduduk Perlak telah diislamkan oleh para pedagang yang disebut dengan kaum Saracen. Wan Husein Azmi menegaskan bahwa selama ini setidaknya ada tiga teori mengenai proses islamisasi di Indonesia, yaitu teori Arab, teori India dan teori Cina.
Teori Arab menegaskan bahwa Islam di wilayah Nusantara datang langsung dari Arab. Pandangan ini didasarkan atas sebuah alasan,yakni banyaknya penduduk Nusantra yang berpegang pada Madzhab Syafi’i sebagaimana di semenanjung Arab.
Sepertihalnya namanya, teori India menegaskan bahwa Islam di Nusantara datang dari India. Teori ini digelontorkan oleh C. Snouch Hurgronje, juga didukung oleh beberapa ahli seperti Gonda, Van Ronkel, Marrison, R.A Kern, dan Van Nieuwinhuize.
Sedangkan teori Cina menengaskan bahwa Islam di Nusanatra merupakan Islam yang datang dari Cina. Teori ini dikemukakan oleh seorang saintis dari Spayol, Emanuel Godinho de Eradie.
Terlepas dari semua itu, rupanya ada versi lain dari proses islamisasi yang selama ini terabaikan. Tidak seperti teori-teori sebelumnya yang dirumuskan oleh para akademisi, versi ini justru datang dari seorang Kiai Jawa, K.H. Bisri Musthofa, yang merupakan ayah Gus Mus, Mustafa Bisir. Versi ini beliau paparkan dalam kitabnya yang berjudul Tārīkh al-Auliā’.
Dilihat dari judulnya, tentu kitab tersebut akan banyak bercerita mengenai kisah para Wali dalam melakukan penyebaran Islam di Nusantara. Dalam kitab itu, Kiai Bisri mengaskan bahwa Islam tidak datang ke Nusantara melalui jalur perdaangan. Kedatangan Islam ke Nusantara sepenuhnya adalah karena misi tablig atau penyebaran agama Islam.
Lebih menarik dari itu, Kiai Bisri menyatakan penyebaran Islam saat itu tidak dilakukan dengan kekerasan, ekspansi, maupun perang. Islam berkembang pesat di Nusantra justru karena ia datang dengan wajah ramah dan sopan. Hal tersebut dapat kita lihat dalam ringkasan kisah di ini.
Cerita dimulai pada periode pasca meninggalnya Nabi pada tanggal 8 Juni 633 M. Saat itu para sahabat dan tabi’in masih terus merawat misi tablig Nabi Muhammad untuk menyebarkan agama Islam. Begitu tulis K.H. Bisri Musthofa dalam awal bab 11 dari kitab tersebut.
Hal itu ditandai dengan banyaknya muballig yang berkelana untuk menyebarkan Islam ke berbagai penjuru dunia, tak terkecuali Nusantara. Para muballig berdakwah ke Indonesia merupakan para ulama ulung, semisal Maulana Ibrahim Asmaraqandi, Raden Rahmat (Sunan Ampel), Maulana Ishaq, dan lain lain. Mereka lah yang suatu saat ini kita kenal dengan gelar Wali Sanga.
Lebih lanjut Kiai bisri menegaskan, bahwa tujuan kedatangan para Wali tersebut ke Nusantara adalah murni untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Jika di antaranya ada yang yang berdagang atau dalam bentuk laina, itu semata-mata dilakukan karena motif penyamaran.
Melampaui semua itu, satu hal yang patut dicatat dan diteladani adalah cara berdakwah para Wali tersebut. Metode dakwah yang digunakan adalah dengan cara praktis dan strategis. Tidak hanya itu, mereka juga menyebarkan Islam dengan ramah dan santun. Justeru karena inilah Islam dapat diterima oleh masyarakat Nusantara secara masif.
Metode dakwah yang praktis dan strategis tersebut dibuktikan dengan pilihan para Wali untuk langsung mendatangi para raja dan adipati. Hal ini dilakukan dengan harapan bahwa saat para Raja dan adipati telah bersedia memeluk Islam, maka para rakyat dengan sendirinya akan mengikuti. Metode dakwah semacam itu juga tak jarang diiringi dengan usaha batiniyah, yaitu bertapa dan tirakat.
Hal lain yang lebih penting untuk diperhatikan dan diteladani adalah sikap dan perilaku para Wali itu sendiri dalam menyebarkan Islam. Para Wali selalu mengedepankan sikap ramah dan santun. Para raja atau adipati, pertama-tama diajak untuk berdialog. Jika para Raja dan Adipati mengehendaki, maka diajak untuk memeluk Islam, jika tidak maka para Wali akan membiarkannya.
“Para Muballigh lan para Penganjur ora pada angganggu marang para ratu lan adipati. Yen kersa, ya diaturi manjing agama Islam. Yen ora kersa, iya uwis (para muballig dan para dai tidak memaksa para adhipati, jika mereka berkenan memeluk Islam, ya diajak masuk Islam, jika tidak berkenan, ya, tidak masalah,” begitu tulis Kiai Bisri.
Tidak hanya itu, dalam melakukan dakwah, para Wali juga sangat menghargai keyakinan dan kepercayaan orang Nusantara sendiri. Mereka tidak pernah memaksakan kekehendak kepada orang lain untuk memeluk Islam. Hal ini dapat kita simak dalam kisah dialog Sunan Ampel dengan Raden Kertawijawa berikut:
“Kacarita; Nalika Panjênêngane Sunan Ngampél nyuguhake agama Islam marang Ratu Kertawijaya Majapahit, sang Prabu mangsuli dhawuh: Sak bênêre, yén ingsun rasa-rasakake, agama Islam iku bagus bangêt. Nanging bae, kapêksa ingsun ora bisa ninggalakên agama kang wus ingsun pêluk wiwit timur mula, lan kang wus dirungkêbi dening eyang ingsun”.
(Diceritakan, ketika Sunan Ampel menyuguhkan agama Islam kepada Raja Kertawaijaya Majapahit, sang prabu balik berkata: Sebenarnya, jika saya rasakan, agama islam itu merupakan agama yang sangat baik. Hanya saja, terpaksa aku tidak bisa meninggalkan agama yang sudah saya peluk sejak kecil, juga agama yang sudah dilestarikan oleh nenek moyangku)”
Jawaban semacam itu sama sekali tidak membuat Sunan Ampel putus asa. Ia tetap menghormati keputusan Raden Kertawijaya. Dalam pikiran Sunan Ampel, dakwah tidak harus dilakukan dengan seketika, apalagi dengan carankeras. Meskipun sang Raja belum bersedia memeluk Islam, Sunan Ampel memiliki harapan lain, yaitu suatu saat nanti keturunan para raja dan rakyatnya akan bersedia memeluk Islam.
Itulah secuil kisah yang dikirim oleh Kiai Bisri Musthofa melalui kitab Tārīkh al-Auliā’. Semua itu, setidaknya bisa menggambarkan bagaimana para Wali menjalankan misi dakwah dengan ramah dan santun. Juga justru karena cara dakwah semacam itulah, agama Islam dapat diterima dan berkembang di Nusantara. Inilah cara berdakwah yang seharusnya selalu dilestarikan. Islam dihadirkan dengan ramah dan santun, bukan dengan berteriak-teriak, apalagi membawa pentungan. (AN)
Wallahu a’lam.