Suatu ketika, dalam obrolan yang biasa saja, saya bertanya kepada teman saya seorang muslim, “Bro, menurutmu, apakah aku yang Kristen ini termasuk kafir?”
Teman saya terdiam sejenak. Ia tampak berpikir dan tidak langsung menjawab. Saya merasa was-was, jangan-jangan dia tersinggung. Saya pun hampir menarik kembali pertanyaan saya jika memang terlalu sensitif untuk dijawab, untunglah teman saya akhirnya membuka mulut.
“Kafir itu, Bro, sebenernya nggak jelek artinya. Lu tau kan dalam bahasa Inggris ada kata ‘cover’? Artinya kan menutup. Kafir itu artinya mirip-mirip, menutup. Orang kafir berarti orang yang menutup diri alias belum menerima suatu ajaran tertentu.
Jangankan lu yang Kristen, Bro. Sesama Islam aja bisa dikatakan kafir. Taruhlah suatu aliran Islam. Kan nggak semua tuh orang Muslim meyakini ajarannya. Nah dia itu juga bisa dikatakan kafir. Kafir terhadap ajaran dari aliran tersebut,” paparnya.
Saya masih belum puas. Ia memberi contoh lain, “Lu tau kan aturan lalu lintas? Kalau lampu merah, kendaraan mesti berhenti. Nah kan sering tuh ada pengendara yang nyerobot, nekat jalan terus meskipun lampu udah merah. Nah orang seperti itu bisa disebut kafir juga, kafir terhadap aturan lalu lintas.”
Melihat saya yang tampak belum puas, dia bertanya balik, “Sebenarnya masalahnya apa sih Bro dengan kata ‘kafir’?” .
Saya berusaha jujur padanya, “Kafir kan kesannya jelek, Bro. Seolah-olah orang yang dikatakan kafir itu manusia yang paling rendah derajatnya di antara manusia lainnya.”
Dia tersenyum. “Kalo gitu, masalahnya ada pada pemaknaan kita tentang ‘kafir’. Seperti udah kubilang, kafir itu sama sekali gak berarti negatif. Wajar kan kalau ada orang yang setuju sama suatu hal, tapi juga ada yang nggak setuju? Yang gak setuju itulah orang kafir.”
Saya menganggukkan kepala. Rupanya masalahnya ada pada ketakutan saya dianggap atau disebut kafir. Kafir sendiri sebenarnya bermakna netral, tidak positif, tidak pula negatif.
Hanya saja, kata ini sudah berubah maknanya menjadi negatif. Bahkan dengan melabeli orang dengan cap ‘kafir’, ada yang merasa berhak untuk memperlakukannya semau mereka sendiri.
“Satu yang pasti Bro, mau lu kafir kek, mau lu kagak kek, yang penting adalah Islam nggak mengajarkan penganutnya untuk memusuhi, menyakiti, apalagi memerangi sesama.
Islam mengajarkanku untuk mencintai sesama, apa pun agamanya. Jadi, walaupun elu dikata kafir, bodo amat. Elu tetap sahabat gue.”
Kami tertawa terbahak-bahak. Saya tidak bisa melupakan kata-kata sahabat saya itu. Ah, alangkah indahnya bila semua orang bisa tertawa bersama seperti kami.