“Mulutmu Harimaumu” begitu kurang lebih kalimat yang sering kita dengar. Kalimat ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga lisan agar tak menimbulkan musibah di belakang hari. Dalam agama, menjaga lisan adalah hal yang sangat penting. Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan hal itu. Salah satunya adalah Firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar” (QS. Al-Ahzab [33]: 70)
Lewat ayat ini, secara tegas Allah menyebut dua perintah: bertakwa dan berucap secara benar. Keduanya disebut secara berurutan. Bukankah perintah yang kedua sudah termasuk dari perintah yang pertama?
Disebutkannya perintah kedua (perintah berucap secara benar) menunjukkan betapa tingginya keutaman hal itu. Begitu kurang lebih al-Qasimi dalam Mahasin at-Takwil.
Ucapan yang harus dijaga tidak saja yang berhubungan dengan sesama manusia saja, namun juga yang berkaitan dengan Allah SWT (doa). Dia berjanji akan mengabulkan doa yang dipanjtakan hamba-hambaNya, asalkan syarat dan ketentuannya dipenuhi.
Karena pasti dikabulkan, maka hendaknya setiap kita berdoa dengan doa yang baik dan wajar-wajar saja. Kisah di bawah ini menunjukkan betapa Allah mengabulkan doa-doa itu, meski berupa hal yang kurang masuk akal.
Suatu ketika, untuk tujuan berperang, seorang pemuda bernama Ali bin Muhammad pergi ke satu daerah. Daerah itu bernama Mashishah. Di sana, di sebuah masjid, ia melihat ada seorang ulama (sebut saja Syekh Fulan) yang sedang mengisi kajian Islam.
Selepas kajian, Ali mendekati Syekh Fulan dan berkenalan. Setelah ngobrol ngalor ngidul, Syekh Fulan memberi Ali sebuah tawaran. “Sudikah kamu bergabung dalam kelompokku?”
Ali paham dengan isi dan konsekuensi dari tawaran itu. Yakni suatu saat jika kelompok Syekh Fulan akan berperang, maka Ali diharapkan untuk ikut juga. Ali merima tawaran itu. Oleh karenanya, Ali tak jadi ikut perang bersama kelompoknya yang pertama.
Ali senang bisa tinggal serumah bersama Syekh Fulan. Hal itu membuatnya bisa melihat apa saja yang dilakukan Syekh Fulan saban hari. Ali melihat betapa rajin Syekh Fulan mengerjakan shalat malam, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya.
Satu hari, pemimpin daerah tersebut mengumumkan akan mengadakan peperangan. Ada seribu relawan yang siap menjadi pasukan. Syekh Fulan adalah salah satunya. Begitu juga dengan Ali dan putra dari Syekh Fulan.
Singkat cerita, Allah menakdirkan kemenangan terhadap kelompok dimana Ali berada. Namun, sayang Syekh Fulan gugur dalam peperangan. Ia menjadi satu dari sekian banyak orang yang mati syahid. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Hingga tibalah waktu pemakaman. Namun, ketika jasad Syekh Fulan dimasukkan ke liang lahad, tiba-tiba bumi bergetar dan jasad Syekh Fulan terlempar ke luar sejauh sepuluh dzira’. Hal itu tentu membuat orang-orang yang ada di sana bertanya-tanya.
Kuburan baru pun digali. Hal yang sama terjadi lagi. Ketika jasad Syekh Fulan sudah berada di liang lahad dan siap untuk ditimbun tanah, bumi pun bergemuruh. Bahkan lebih kencang dari yang pertama. Jasad Syekh Fulan pun terlempar keluar lagi, bahkan lebih jauh dari sebelumnya.
Para pelayat pun menggali kuburan baru lagi. Namun, jasad Syekh Fulan mengalami hal yang sama lagi: terlempar dan seakan tanah tak mau menerima jasadnya. Apa apa gerangan?
Dalam kegentingan itu, tiba-tiba ada suara tanap rupa berkata, “Semasa hidup, lelaki ini selalu berdoa ingin dibangkitkan dari dalam perut binatang buas dan burung. Dan kini, Allah telah mengambulkan doanya. Oleh karenanya, tinggalkan saja jasad ulama ini!”
Para pelayat pun akhirnya membiarkan jasad Syekh Fulan dan meninggalkannya begitu saja. Wallahu a’lam.
Sumber Bacaan:
Al-Qasimi, Muhammad Jamaluddin. Mahasin al-Takwil. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1418.
Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.