Pada hari pemakamannya di Jombang, Pak Presiden SBY ketika itu menyebut Gus Dur sebagai “bapak pluralisme”. Pemerintah mungkin ingin menyederhanakan “wacana Gus Dur” hanya pada urusan ini, dalam bahasa yang agak konspiratif menyederhanakan adalah melokalisir: seputar pembelaan terhadap hak-hak minoritas terutama terkait agama dan kepercayaan. Putri-putrinya juga hampir selalu menceritakan “Bapak” hanya terkait hal ini. Perayaan-perayaan di hari haulnya juga tidak jauh dari urusan ini juga.
Bagi orang yang suka berumit-rumit, sesungguhnya Gus Dur tidaklah sederhana. Wacana Gus Dur sangatlah kompleks, baik terkait pemikirannya sebagai pribadi (bersandingan dengan pemikir-lain di Indonesia dan mancanegara) maupun sebagai pemimpin organisasi besar NU; baik sebagai pemikir maupun sebagai seorang politikus. Kadang-kadang NU adalah sebuah ormas Islam, kadang-kadang ia adalah sebuah institusi politik, diakui atau tidak.
Riwayat yang mutawatir menyebutkan, sewaktu kecil Gus Dur sudah membaca buku Das Kapital Karl Mark. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hasil bacaan Gus Dur ini, siapa partner diskusinya dan seterusnya. Yang jelas buku itu menjadi sangat “anti kemapanan” jika dibaca oleh anak pemimpin NU yang secara politik berhadapan dengan PKI pada tahun 50-60an.
Gus Dur juga mengenalkan para santri dengan penulis buku ekonomi-politik dari bermacam-macam aliran seperti Moral Economy of Peasant James Scott, The Mystery of Capital Hernando de Soto, dan Dual Economy JH Boeke. Bahkan Max Weber serta keturunannya Clifford Geertz yang lekat sebagai pemikir budaya (antropologi) dikenalkan oleh Gus Dur sebagai pemikir ekonomi. Tidak banyak santri yang membaca buku Agricultural Involution, Involusi Pertanian, dibandingkan “Santri Abangan dan Priyayi.”
Namun wacana ekonomi Gus Dur sangat minim dalam tulisan-tulisannya (mungkin saya tidak tahu), meskipun karir intelektualnya di Indonesia banyak ditopang oleh Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Gus Dur juga seorang pemikir budaya dalam pengertian yang sederhana: musik, film, dan sastra. Tidak banyak kiai pesantren yang bisa menjelaskan detil persaingan para pujangga Arab di seputaran Ka’bah pra-Islam. Pengelanaan Gus Dur tidak hanya di Jazirah Arab tetapi juga ke Eropa. Banyak kiai diam-diam suka musik, meskipun kitab kuning mengharamkannya, tapi Gus Dur bahkan bisa menjelaskan alasannnya disertai detil macam musik classic. Tidak heran kalau kemudian ia percaya diri duduk di Dewan Kesenian Jakarta.
Gus Dur menyarankan para santri membaca Aera Eropa karangan Jan Romein tentang sejarah peradaban Eropa sampai menjadi dominan pada abad terakhir ini. Berikutnya ia mengenalkan sebuah konsep studi kawasan, sampai gagasannya mengenai sebuah “poros baru” yang akan diterapkannya ketika menjabat presiden. Banyak orang percaya, gagasan Gus Dur sering mendahului zamannya dan suatu saat akan terjadi.
Berikutnya, “dari dalam pesantren” Gus Dur mewacanakan “pesantren sebagai sub kultur” berhadapan dengan kultur dominan yang layak mendapatkan semacam rekognisi. Wacana ini tidak kalah viralnya dengan pribumisasi Islam yang juga digelontorkan Gus Dur dan sangat membantu orang NU/pesantren mendefinisikan jati diri keislamannya.
Gus Dur adalah juga seorang kiai. Saat pertama mengaji pasaran di Pesantren Ciganjur, ia mengajak santri membaca kitab gramatika Arab dasar yang berjudul “Qatrun Nada wa Ballus Shoda”. Rupanya kitab kecil ini sangat bermakna bagi Gus Dur sampai diabadikab menjadi bagian nama putrinya yang pertama.
Namun pada bulan Ramadhan itu sebenarnya Gus Dur tidak hanya ingin menjadi guru ilmu nahwu. Dimulai dari kalimat provokatif, “Allah memenangkan Adam dari Syeitan dengan mengajarkannya kata-kata” (wa allama adamal asma’), Gus Dur membicarakan tentang pentingnya sebuah “diskursus” dalam menguasai dunia. Ia juga menceritakan diskusinya dengan Cak Nur, sampai Hassan Hanafi dan Samuel Huntington.
Rumit. Pada suatu ketika Gus Dur mencari-cari makam keramat orang-orang dulu untuk diziarahi bersama warga NU, namun pada saat yang bersamaan ia membaca buku-buku sejarah babon dan menyusun sebuah proyek sejarah baru yang disebuatnya sebagai sebuah “sejarah spekulatif”.
Demikian Gus Dur sebagai seorang pemikir. Iya. Rumit bukan?
Sebagai pemimpin NU, wacana Gus Dur tidak selalu apa adanya. Di satu sisi ia ketika itu berhadapan dengan sebuah rezim, dan sisi lain merepresentasikan gerbong besar NU/pesantren dan berupaya mengerakkan gerbong ini untuk maju ke depan. Di satu sisi, ia adalah seorang pemikir yang gaul, namun di sisi lain ia adalah cucu dari seorang ahli hadits bernama KH Hasyim Asy”ari. Ini menjadi kerumitan tersendiri.
Karya besar Gus Dur melalui NU adalah rumusan Deklarasi Hubungan Islam dengan Pancasila. Meskipum tahun 1980an itu banyak kiai-kiai kharismatik, tapi dengan kemampuan mengorganisir NU yang luar biasa keren, susah untuk mengatakan bahwa keputusan-keputusan besar NU ketika itu tidak diinginkan oleh Gus Dur sendiri.
Disebut karya besar karena era *NKRI Harga Mati dan Pancasila Jaya* ini menandai sebuah babakan sejarah NU yang lebih kelihatan nasionalisnya dari pada Islamnya. Gus Dur juga memopulerkan Istilah “darus salam” yang dalam rumusan NU sebelumnya (1936) berbunyi “darul Islam”.
Namun rumitnya juga pada tahun 1983-1984 ketika memimpin permusyawaratan NU itu, Gus Dur juga yang membawa draft yang kelak dinamai “kompilasi hukum Islam (KHI) untuk distempel oleh para kiai. KHI ini berkaitan dengan urusan Kementerian Agama dan Pengadilan Agama yang menjadi konsern NU sebagai organisasi Islam pascakegagalan penerapan “Piagam Jakarta”. Sebelumnya NU menggolkan UU Perkawinan 1974 lewat duet KH Bisri Syansuri dan KH Masjkur.
Nah, setelah merumitkan “wacana Gus Dur” seperti itulah kita baru pantas menghibur diri dengan mengatakan “gitu ajak kog repot!” atau mengoleksi humor-humor Gus Dur; atau main dukung-mendukung جوكوي دوا فريودي.
Selamat haul Gus Dur ke-9! Allahummagfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu anhu. Lahul fatihah!