Tersebutlah kisah seorang ustadz bernama Felix Siauw, pujaan remaja Islam di negeri entah-berantah. Jangan persoalkan namanya yang tidak terkesan islami atau kearab-araban, karena pengetahuannya sangat mumpuni untuk menjadi kyai televisi. Jangan pula hubungkan ia dengan Juan Felix Tampubolon, pengacara keluarga cendana kenamaan.
Di negeri entah-berantah, perkara mengucapkan selamat natal jauh lebih besar ketimbang kemajuan ilmu pengetahuan. Boleh-tidaknya seorang muslim mengucapkan selamat natal diperdebatkan dengan leher lebih menegang daripada urusan sistem pendidikan. Pemicu sama dari tahun ke tahun, ulah majlis ulamanya yang melarang ucapan selamat natal dan, penguatnya adalah ustadz-ustadz seperti Felix Siauw. Ustadz generasi baru yang tertawa dengan “wkwkwk” di media sosial. Ustadz gaul, pejuang khilafah islamiyah.
Perdebatan ini sebenarnya perdebatan klasik, –menjurus klise- di negara entah berantah. Tapi ya mereka yang duduk di majlis ulama, dan spesies Felix Siauw itu seringkali iseng untuk membesar-besarkannnya. Cenderung usil.
Sebelum memasuki perdebatan teologis yang mengerutkan dahi, ada baiknya persoalan ini lebih dulu kita dekati dengan kacamata kehidupan sehari-hari. Kehidupan yang dihayati orang-orang entah-berantah, hidup berdampingan antar-pemeluk agama; jika satu orang merayakan lebaran agamanya, penganut agama lain ikut senang dengan mengucapkan selamat, kadang-kadang dengan bonus jamuan khusus. Indah dan menggembirakan. Pertemanan semakin rekat, perbedaan keyakinan sama-sekali tidak merusak hubungan sosial. Kecurigaan dan kebencian sirna.
Tiba-tiba datanglah fatwa itu. Tersebarlah seruan dan ajaran Felix Siauw itu. Banyak orang lalu takut hanya untuk sekadar mengucapkan selamat. Seakan-akan ucapan selamat itu dosanya lebih besar daripada korupsi. Tentu banyak yang acuh, namun implikasinya jelas: konfrontasi, bukan dialog; cibiran atau minimal pandangan sinis, bukan toleransi.
Negeri entah-berantah adalah negeri yang subur. Sejak ribuan tahun lalu, beraneka keyakinan dan ajaran masuk, diterima, ditolak, disesuaikan atau berkembang. Bahkan yang menebar permusuhan dan kebencian pun bisa hidup. Begitu pula ajaran Felix. Tidak sedikit anak muda yang manggut-manggut atas hujjah-nya.
Menurut Felix, mengucapkan selamat natal sama dengan mengiyakan Yesus sebagai Tuhan, seperti yang diyakini umat kristiani. Ini perkara akidah, katanya. Dalam Islam, Isa atau Yesus selamanya adalah seorang nabi, ulul azmi, nabi yang utama, tidak boleh dinaikkan pangkatnya menyatu dengan entitas (ke)Tuhan(an). Maka menurutnya, memberi selamat atas kelahirannya, seperti yang dirayakan pemeluk kristen, berpotensi menggeser akidah seorang muslim. Mengucapkan selamat dianggap murtad, seperti sudah dibaptis. Haram hukumnya.
Tapi bagaimana mungkin? Seorang mahasiswa tingkat akhir yang mengucapkan selamat wisuda kepada kawannya apakah otomatis ia juga telah diwisuda? Enak sekali. Mengucapkan selamat hari lahir Ratu Inggris, kepada kawan Inggris atau langsung kepada Ratu, tidak serta merta menjadikan kita warga negara Inggris atau pengikut Sang Ratu. Atau, karena natal bersifat perayaan, seorang pendukung Chelsea yang mengucapkan selamat merayakan kemenangan Arsenal tidak otomatis menjadi Gunners.
Prof. Quraish Shihab tak urung angkat bicara. Dalam artikelnya, Selamat Natal dalam Al-quran, beliau memaparkan dengan jernih, kelahiran Isa dalam Al-quran bahkan memang diberkati. Umat Islam, yang memuliakannya sebagai nabi, bahkan dianjurkan mengirim ucapan selamat. Soal akidah, panjang lebar Quraish menjelaskan, dengan kesimpulan: “Tidak juga salah mereka yang membolehkannya (mengucapkan selamat natal), selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.”
***
Karena terus-menerus mencela fatwa MUI dan Felix, saya sempat dituduh mengharuskan ucapan selamat natal. Sesat pikir lain yang harus dihadapi.
Saya punya seorang kawan yang dalam hidupnya tidak pernah punya teman kristen. Kawan ini tentu saja tak perlu dan tak harus mencari-cari teman kristen untuk mengucapkan selamat. Tentu ada jutaan orang lainnya seperti kawan ini. Tapi karena kesal, saya jawab saja; karena MUI memfatwakan haram, maka mengucapkan selamat natal menjadi harus. Ini soal pergaulan sosial. Ini soal kerukunan, keutuhan kita sebagai bangsa. Pemahaman-pemahaman yang, betatapun kecil potensinya, meruncingkan perbedaan keyakinan, hanya akan menyuburkan kebencian. Dan orang-orang yang melakukan tindak kekerasan tidak bertanggung jawab akan memiliki cukup pembenaran.
Lihatlah, berapa gereja yang pernah dibom sat perayaan natal. Lihat pula bagaimana jemaat GKI Yasmin dan HKBP Philadelphia tak bisa merayakan natal di gereja mereka yang sah karena disegel orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sebelum bicara pemerintah yang lalai, apakah MUI atau Felix Siauw peduli? Mungkin mereka hanya akan peduli jika suatu saat nanti umat Islam tak bisa merayakan idul fitri.
Di belahan bumi lain, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, tidak hanya mengucapkan selamat natal, bahkan ikut menghadiri misa di Bethlehem. Abbas rutin melakukannya setiap tahun. Saya hanya bisa membayangkan, bagaimana perasaan Felix Siauw. Felix yang seringkali bersuara lantang membela Palestina, harus melihat pemimpin Palestina berbeda pendapat tajam dengannya. Semoga dia tidak patah hati dan tak pernah lelah membela kemanusiaan. Semoga Felix tetap bisa tertawa dengan “wkwkwk” dan selamanya yakin, solusi setiap masalah anak Adam adalah Khilafah Islamiyah.
Salam sejahtera semoga tercurah kepada Isa, pada hari Natalnya, hari wafat dan hari kebangkitannya nanti. Selamat Natal, MUI… Selamat Natal, Felix Siauw…