Jarak lokasi tenda jamaah haji asal Indonesia di Mina Jadid dengan tempat lontar jamarot tergolong jauh. Rata-rata di atas 5 km bahkan ada yang mencapai 7 km. Kondisi ini tentu dirasakan berat bagi jamaah haji terutama dari golongan resiko tinggi (resti). Apalagi mereka juga harus berhadapan dengan alam dan berjejalnya jamaah haji dari seluruh dunia. Untuk menyiasati masalah itu, tak sedikit jamaah haji yang memilih nafar awal (sampai tanggal 12 Dzul Hijjah) dengan cara meringkas waktu lontar jamarat untuk tanggal 11 sekaligus 12 Dzul Hijjah. Prakteknya mereka datang ke jamarat tengah malam tanggal 12 Dzul Hijjah dan melakukan lontar secara bergantian untuk tanggal 11 dan 12 Dzul Hijjah. Dengan cara ini mereka bisa menghemat waktu dan tenaga karena sebelum masuk waktu subuh mereka sudah menyelesaikan seluruh ritual haji di Mina. Hanya saja masalahnya apakah praktik lontar jamarat semacam itu dibolehkan menurut hukum Islam? Ketentuan umum waktu lontar jamarat khusus di hari-hari tasyriq (ayyamut-tasyriq: 11, 12, 13 Dzul Hijjah) adalah dimulai setelah tergelincirnya matahari sampai tengah malam. Bahkan menurut mazhab Syafii boleh sampai menjelang terbit fajar. Hal ini berbeda dengan ketentuan waktu lontar jumrah aqabah pada tanggal 10 Dzul Hijjah (yaumun-nahr) di mana boleh dimulai dari sebelum terbit fajar hingga malam berikutnya. Bahkan menurut mazhab Syafii bagi yang berhalangan melontar jumrah aqabah pada tanggal 10 Dzul Hijjah boleh dilakukan di tanggal berikutnya selama waktu tasyriq. Keterlambatan ini tidak dikenai sanksi dam maupun kafarat apapun. Alasannya selama masa mabit di Mina dihitung satu paket manasik. (lih. Kitab al-Idhah fi Manasik al-Hajj wa al-Umrah 366-367). Berdasarkan ketentuan waktu lontar jamarat di atas tampaknya ada “kesalahan” pemahaman jamaah haji yang meringkas pelaksanaan lontar jamarat untuk tanggal 11 sekaligus 12 Dzul Hijjah dengan cara dikerjakan sebelum waktu terbit fajar pada malam 12. Mereka menganggap sama waktu lontar jumrah aqabah di yaumun-nahr dengan lontar jamarat di ayyamut-tasyriq. Padahal berbeda! Mayoritas mazhab fiqh (Maliki, Syafii, Hanbali) berpendapat waktu dimulainya lontar jamarat di tanggal 11, 12 dan 13 Dzul Hijjah adalah sesudah tergelincirnya matahari. Hanya Abu Hanifah yang membolehkan lontar jamarat khusus tanggal 13 Dzul Hijjah (bagi jamaah haji yang memilih nafar tsani) sebelum tergelincirnya matahari, tetapi pendapat beliau ini dikritik pengikutnya sendiri seperti Abu Yusuf sebab dianggap tidak memiliki dasar yang kuat. Dengan demikian praktik meringkas lontar jamarat yang dilakukan sekaligus pada malam 12 Dzul Hijjah oleh jamaah haji yang memilih nafar awwal adalah tidak dibolehkan. Mereka yang melakukan praktik seperti itu berarti dikenai sanksi membayar dam. Wallahu a’lam |