Walaupun telah berhasil menjadi common words, atau ‘kata bersama,’ bagi keberagaman yang ada di Indonesia, namun Pancasila, di lain sisi, juga berhasil menjadi ideologi yang sedemikian cair. Makna Pancasila ikut berubah seiring berubahnya tatanan politik ataupun situasi sosiologis di suatu periode. Hal ini menyebabkan berubah-ubahnya juga pengertian tentang siapa yang layak dirangkul dan siapa yang perlu disisihkan.
Dinamika yang terjadi tidak lepas dari peran Pancasila yang multi-dimensi. Dari mulai sebagai semangat kultural, pandangan hidup bermasyarakat, prinsip pengambilan kebijakan, hingga sebagai inspirasi bagi pembuatan aturan hukum, dan lain-lain.
Masalah utama Pancasila timbul ketika ada hasrat kekeuasaan yang merasuk lewat salah satu, atau beberapa, dari dimensi-dimensi itu―yang kemudian dapat menyebabkan satu dimensi Pancasila yang sebenarnya mendasar, bisa diposisikan lebih inferior dibanding dimensi lain yang sebenarnya komplementer.
Melalui jalur inilah Pancasila dapat diretas dan digunakan untuk menyediakan alasan sistematis yang menunjang bagi kepentingan yang sebenarnya melukai kebaikan bersama.
Ini berbeda dengan, misalnya, prinsip Janteloven, sejenis common words yang berlaku di negara-negara Skandinavia. Isinya ada 10 butir: tidak menganggap diri lebih istimewa; tidak menganggap diri lebih baik; tidak menganggap diri lebih pintar; tidak menganggap diri sama baik; tidak menganggap diri lebih tau; tidak menganggap diri lebih penting dibanding orang lain; tidak menertawakan orang lain; jangan menganggap semua orang peduli padamu; jangan mengira kamu bisa mendikte orang lain.
Perbedaannya terletak pada dua hal. Pertama, Pancasila menggunakan diksi yang general. Sedangkan diksi Janteloven bercorak teknis. Kedua, Pancasila cenderung berorientasi pada pembentukan karakter eksternal (meskipun sejak dulu praktiknya sering kali diberi imbuhan penguatan karakter diri, namun riwayat sejarah dan berbagai analisa mentalitas justru menunjukkan hasil yang tak signifikan). Sedangkan Janteloven berorientasi pada pembentukan karakter individu.
Implikasinya, dari segi bahasa, Pancasila punya peluang pemaknaan yang jauh lebih bebas dibanding Janteloven. Sementara, dari segi kemasyarakatan, Janteloven lebih menekankan tentang pentingnya ketat terhadap diri sendiri. Sebaliknya, Pancasila lebih menekankan ketat terhadap orang lain, namun belum tentu ketat terhadap diri individu.
Perbedaan ini menjelaskan, salah satunya, mengapa di Indonesia mudah ditemukan individu yang tidak ketat terhadap diri sendiri namun berani menutupinya dengan puitika dan romantisme Pancasila. Sialnya, karakter ini mirip wabah musiman yang datang silih berganti tiap musim politik.
Di sini, bahasa dan mentalitas memainkan peran penting bagi proses peretasan Pancasila. Tulisannya Asvi Warman Adam, Sejarah, Nasionalisme dan Kekuasaan, yang terbit dalam bunga rampai Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (2006), misalnya menceritakan soal adanya trilogi cara pandang yang muncul di awal kemerdekaan Indonesia, yakni: masa lalu yang jaya, masa kini yang sulit, dan masa depan yang cerah.
Pada dasarnya, trilogi cara pandang itu adalah mentalitas populisme yang menyiratkan bahwa, kesengsaraan masa kini disebabkan oleh adanya sesuatu yang merusak kejayaan masa lalu, dan oleh karenanya harus dilawan agar masa depan cerah. Artinya, ada faktor X yang diantagonisasi. Mentalitas populisme mengedepankan logika romantisasi, feeling of crisis, dan fantasi optimistik.
Mentalitas selalu memengaruhi gaya bahasa dan komposisi kata yang digemari suatu masyarakat keseluruhan, ataupun salah satu dari institusinya: apakah akan lebih banyak menggunakan kata sifat, kata benda, kata kerja, kata keterangan atau kata kerja transitif?
Ambillah buku sejarah atau buku Pendidikan Kewarganegaraan milik anak sekolah, jenjang apapun. Mudah untuk menemukan, misalnya, bagaimana penjelasan soal ‘Pancasila’ ataupun ‘Indonesia’ disusun dari retorika pragmatik didaktik, atau gaya bahasa yang hanya menyoroti aspek yang dianggap penting oleh satu pihak tertentu demi tujuan doktrin (dalam hal ini khususnya adalah pihak yang berkuasa) yang menyudutkan pihak lain.
Penyajian tersebut menyebabkan, sering kali, sejarah Indonesia ataupun pendidikan kewarganegaraan disajikan lewat apologetika yang tersusun dari kombinasi antara kata benda, kata sifat, kata kerja definitif (contoh: adalah, ialah, merupakan), asosiasi metaforis (contoh: bagaikan, seperti), dan logika patriot-militeristik (contoh: berkorban demi, telah menggugurkan, berjuang, melawan, tak ada X maka tak ada Indonesia, dll)―yang pada derajat tertentu sering kali minim analisa, kritik, evaluasi diri, pengakuan dan pemaafan.
Nasionalisme kita pada giliriannya berkubang pada nasionalisme kulit, yang memilah-milih mana yang indah dan tidak untuk dijadikan ‘emblem.’ Bukan berhenti pada nasionalisme substantif yang komitmen terhadap kebenaran. Mendiang Gus Dur adalah salah satu contoh korbannya. Sebagai ikon bangsa, namanya selalu disebut dan dipuja. Namun ketika beliau punya kedekatan intelektual dengan wacana kiri dan meminta maaf kepada korban 65, tauladan ini belum tentu dihayati oleh publik ataupun elit politik.
Di masa Orde Baru, mentalitas populisme beserta politik bahasa menjadi instrumen penting bagi Pak Harto dalam meretas Pancasila. Di awal kekuasaan, ada komunisme yang diantagonisasi. Nasibnya naas, dan hingga kini kisahnya dikomodifikasi sebagai ‘hantu’ musiman penyebab krisis.
Sejak tragedi itu, Orde Baru melakukan eufimisme perbendaharaan kata. Dalam wacana sosial dan politik misalnya, kata ‘kelas’ diubah menjadi ‘golongan,’ kata ‘ditangkap secara sepihak’ diubah menjadi ‘diamankan,’ ‘buruh’ menjadi ‘karyawan’, dan ‘orang miskin’ menjadi ‘golongan berpenghasilan rendah’ agar gerakan atau wacana yang bertentangan dengan kehendak rezim dapat lebih mudah diidentifikasi dan dieliminasi.
Eufimisme tidak hanya berperan sebagai penghalus realita yang wujudnya mungkin dianggap punya potensi mengusik stabilitas rezim ataupun kepentingan. Lebih dari itu, eufimisme berperan sebagai pengakuan tentang bentuk realita apa yang dianggap ada dan tidak ada. Melalui modus eufimisme, kuasa ideologi menjadi hakim penentu realita.
Di era pandemi, eufimisme juga dimainkan di banyak tempat. Anggapan bahwa Indonesia berhasil meretas pandemi melalui percepatan digital; stiker KRL yang berbunyi “IMAN, AMAN, IMUN”; atau slogan HUT DKI Jakarta yang mulanya “Jakarta Tangguh” (493th/2020) menjadi “Jakarta Bangkit” (494th/2021), adalah beberapa eufimisme yang terlalu berkilau ketimbang gelapnya kenyataan soal meroketnya ketimpangan ekonomi, terparalisisnya pendidikan, belum optimalnya penegakkan prokes, kasus per-hari yang terus naik, dan inkonsistennya kebijakan penanganan pandemi.
Ini adalah ketidak-adilan dalam berbahasa yang lahir dari mentalitas totalitarian. Kesamaan antara romantisasi, feeling of crisis dan fantasi optimistik adalah, ketiganya sama-sama diikat oleh ketercerabutan dari kenyataan. Artinya, ada gairah halusinasi yang sedemikian kental dan dipelihara sejak lama sampai-sampai toxic-optimism menjadi ‘norma’ ideal dalam membahasakan Pancasila dan membahasakan kenyataan hidup. Mungkin ini adalah salah satu alasan, kenapa trilogi masa lalu yang jaya, masa kini yang sulit, masa depan yang cerah sering menjadi cara pandang favorit, meski pada akhirnya, yang terjadi adalah krisis berkepanjangan.
Meskipun Pancasila adalah bentuk yang sangat ideal, namun kalau ia diartikulasikan tanpa tanggung jawab berbahasa dan dibingkai dengan mentalitas populisme, kenyataan hidup dan perilaku akan tetap tak ideal, atau bahkan justru dapat mengingkari Pancasila itu sendiri walau buah bibirnya sangat Pancasilais.