Penolakan jenazah terduga pasien Covid-19 di beberapa daerah menambah daftar panjang kepiluan pandemi Corona. Ini sekurang-kurangnya membuktikan bahwa tingkat asupan informasi yang mereka dapat tidak berbanding lurus dengan tingkat literasi yang ada.
Lihat saja derasnya sebaran link dan pesan berantai tentang informasi seputar Covid-19 yang secara sporadis bin acak melintasi WAG dan lini masa media sosial, tampaknya semakin memperburuk situasi ini. Alhasil, kesimpang-siuran informasi itu menyebabkan orang jadi merasa “anti” terhadap para korban terjangkit virus Corona, bahkan terhadap mereka yang telah mangkat.
Sedikitnya telah terdapat dua kasus yang memaksa mobil Ambulans putar balik akibat ditolak oleh warga setempat.
Di Makasar, misalnya, mobil Ambulans yang membawa jenazah menuju Pemakaman Pannara, Makassar, Sulawesi Selatan, tiba-tiba dihadang warga (31/03). Warga mencurigai jenazah itu meninggal karena virus Corona.
Di hari yang sama, sejumlah warga di bilangan Banyumas mencegat Ambulans warna putih bertulisan ‘Pemerintah Provinsi Jawa Tengah RSUD Prof Dr Margono Soekarjo Purwokerto.
Seperti diberitakan detikcom, Kepala Desa Karang Tengah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Karyoto membenarkan peristiwa yang sempat viral di media sosial tersebut. Karyoto menjelaskan alasan utama warga menolak pemakaman jenazah pada Selasa (31/03) adalah karena warga merasa telah dibohongi oleh petugas.
Kedua situasi di atas tampaknya cukup kontras dengan apa yang terjadi di hari-hari sebelumnya tentang potret sebuah keluarga yang membawa secara paksa jenazah pasien dalam pengawasan (PDP) Corona yang meninggal dunia di RS Bahteramas, Kendari, Sulawesi Tenggara. Dalam video yang viral beredar di media sosial itu, pihak keluarga juga terlihat membuka bungkus plastik jenazah dari pihak RS.
Betapapun, ketiga kasus di atas tidak bisa dibenarkan, kendatipun pada kasus Banyuwangi cukup beralasan. Menolak jenazah itu sepenuhnya keliru. Ditinjau dari sudut pandang apapun, penolakan jenazah akan tetap keliru, kecuali kalau itu adalah mayat suspect T-Virus. Sebaliknya, memaksa memulangkan jenazah yang berstatus positif terjangkit virus menular juga kelewat konyol.
Kalo dari guideline WHO untuk memandikan atau merapikan jenazah sebaiknya menggunakan APD.Keluarga tdk blh memegang jenazah. Jenazah kemudian bisa dikremasi atau dikuburkan. Tidak disebutkan kebutuhan untuk memisahkan pemakaman dgn pemakaman warga. Sumber: https://t.co/BeUmM0pAga
— Shela Putri Sundawa (@oxfara) April 1, 2020
Maka, tepat sekali kalau F Budi Hardiman dalam sebuah artikel yang terbit di Harian Kompas (27/03) menyebut bilamana pandemi Covid-19 bukan saja merupakan fenomena medis, melainkan juga telah menjadi media darling.
Lebih jauh, dampak psikologis sosialnya memungkinkan dentuman yang lebih dahsyat daripada dampak medisnya. Laksana radikalisme religius yang menyelinap di dalam instansi-instansi pemerintahan, demikian menurut Hardiman, makhluk renik ini juga menciptakan kecurigaan timbal-balik di antara kita.
Dan, ya, kiwari, segala hal yang sedianya bisa menghangatkan dan menyatukan kita seperti jabat tangan, cipika-cipiki, serta tepuk bahu, nasibnya tidak lebih baik dari tragedi penolakan jenazah di atas. Ringkasnya, perasaan primordial manusia menjadi tiran keseharian karena orang kelewat parno terhahadap sesama orang dan barang.
Di titik inilah kebijaksanaan semua kita sejatinya sedang diuji. Jika Yuval Noah Harari mengatakan bahwa “keputusan individu dan para pemerintah beberapa minggu ke depan mungkin akan membentuk bagaimana dunia di tahun-tahun mendatang,” maka di tengah masa krisis semacam ini pula, watak dan karakter sebuah bangsa akan menyatakan jati-dirinya.
Indonesia memang merupakan bangsa yang besar. Masyarakatnya pun beragam. Terang saja bila ia menyimpan watak dan karakter yang beragam pula.
Masalahnya, apakah laku ala-ala penolakan jenazah itu bisa disebut merupakan watak dan karakter dasar bangsa Indonesia yang mencerminkan sebuah kepongahan sikap?
Jawabannya: bisa iya, bisa tidak.
“Iya”, karena tidak hanya akibat Covid-19, melainkan akibat beda pilihan politik saja kita, sesama anak bangsa, juga bisa saling menolak jenazah, dalam skala yang berbeda. Belum lagi kalau beda iman, jenazah non-muslim, misalnya, penolakannya bisa lebih gambreng dari jenazah pasien positif virus Corona.
Sementara, “tidak” karena masih banyak orang baik dan peduli di antara kita. Buktinya, ada begitu banyak dokter dan tenaga kesehatan kita lainnya yang berada di garda depan, kendati minus senjata, bahkan kudu menggadai peruntungan dengan maut, semata untuk menolong mereka yang terpapar Covid-19.
Selain itu, solidaritas kepedulian sosial yang diselebrasikan lewat aksi donasi oleh berbagai pihak juga menunjukan bahwa kewarasan bangsa Indonesia masih belum sepenuhnya terkikis. Dan, kebaikan demi kebaikan itu semua dilakukan dengan sadar karena panggilan kemanusiaan, alih-alih ekslusivitas keimanan d/a regional.
Akhir kalam, kalau boleh mengutip sebuah hadis Nabi, maka ini memang penting saya utarakan: bahwa Sahabat Anas bin Malik menutur jika Nabi Muhammad Saw pernah menyabda bilamana “meninggal akibat sebuah wabah merupakan kesyahidan bagi setiap Muslim,” (HR Bukhari).
Maka, tidakkah kita merasa malu sebagai masyarakat yang seringkali mengklaim sebagai komunitas Muslim terbesar di dunia, sementara di saat yang sama justru ramai-ramai merayakan penolakan terhadap mereka yang telah disinyalir oleh Nabi Saw sebagai mendapat derajat syahid?
Mari kita saling tahu & jaga perasaan. Apakah anda menolak pemakaman jenazah yg positif covid19? Kalau alm/almh keluarga kita bgmn perasaan kita? pic.twitter.com/3ZHfPVcMya
— Ganjar Pranowo (@ganjarpranowo) April 1, 2020
BACA JUGA Jenazah Pasien Covid-19 Tidak Boleh Ditolak, Ikuti Panduan Ini Ketika Mengurus Jenazah ATAU Artikel-artikel Menarik lainnya