Mereka Memang Semangat Ibadah Minus Ilmu, Lalu Kita Mau Apa?

Mereka Memang Semangat Ibadah Minus Ilmu, Lalu Kita Mau Apa?

Mereka Memang Semangat Ibadah Minus Ilmu, Lalu Kita Mau Apa?

Sebagian para alim di medsos, dengan kewarasan nalarnya, terus-terusan mengkritik ‘kebodohan’ yang dipertontonkan oleh sebahagian kita yang hanya mengedepankan semangat ibadah minus ilmu dalam situasi menghadapi wabah penyakit saat ini.

Secara tidak langsung, kritikan beliau-beliau semacam itu sebenarnya telah menyebar-luaskan kebodohan itu sendiri. Celakanya, sebahagian pembaca hanya membaca apa yg dishare untuk dikritik. Mereka tidak fokus pada isi kritikan yang ingin disampaikan. Sehingga bukan kritikan beliau yang alim itu yang ditangkap, malah sebaliknya.

Saya jadi teringat, sebenarnya apa yang dianggap sebagai sebuah ‘kebodohan’ saat ini (semangat ibadah minus ilmu), nyatanya pernah juga dialami oleh sahabat Nabi, bahkan sahabat senior.

Beruntungnya para sahabat itu, sebab yang menghadapi mereka adalah sosok yang berjiwa rahmah (sayang dan peduli). Rahmah yang tidak hanya pada kata-kata, tapi juga pada sikap yang bijak. Sehingga ‘kebodohan’ yang mereka lakukan itu cepat berubah menjadi kecerdasan. Bukan malah membuat mereka jadi berbuat konyol.

Apa buktinya?

Salah satunya apa yang terjadi pada sayyidina Muadz. Beliau suatu ketika menjadi imam shalat bagi kaumnya, di masa Rasulullah. Dengan semangatnya beribadah, beliau kemudian membaca ayat panjang. Yaitu membaca surat Al-Baqarah.

Salah seorang sahabat yang menjadi makmumnya memiliki urusan pekerjaan yang membuatnya tidak memungkinkan untuk shalat berlama-lama, sehingga ia pun berinisiatif untuk memisahkan diri dari shalat jamaah, dan segera menyudahi shalat secara sendiri.

Makmum yang lain yang melihat peristiwa itu menyimpulkan bahwa orang yang memisahkan diri itu adalah sosok munafik. Kesimpulan ini pun kemudian menjadi buah bibir, sehingga membuat pelakunya merasa tidak nyaman, sebab dituduh sebagai munafik.

Karena tidak kuat dengan tuduhan itu, ia mengadukan masalahnya kepada Rasulullah dan menceritakan kronologis kenapa ia memisahkan diri dari shalat jamaah, hingga ia dianggap munafik.

Menyikapi kenyataan ini, dengan tegas Rasulullah memperingati  Muadz dengan mengatakan:

يا معاذ أفتان أنت أفتان أنت؟

“Apakah kau tukang buat masalah, wahai Muadz?”

Pertanyaan keras ini beliau ucapkan tidak hanya sekali, tanda ketegasan beliau.

Hei…! Rasulullah ngomong tegas begitu kepada siapa? Kepada Muadz, sahabat sekaligus murid  yang beliau sudah tahu bahwa muridnya itu akan mematuhi omongan beliau. Peringatan keras seperti ini akan sangat berkesan bagi murid beliau tersebut.

Lha, anda memberi peringatan kepada siapa? Punya kedekatan emosional tidak, kenal saja tidak. Seenaknya ngata-ngatain dan memojokkan orang. Jangankan untuk membuat mereka sadar, malah semakin bebal.

Coba bayangkan, seorang sekaliber Muadz saja, yang memiliki posisi yang sangat istimewa di sisi Rasulullah; sosok yang kemudian oleh Rasulullah terang-terangan diizinkan untuk berijtihad dan memutuskan hukum sendiri, ternyata pernah melakukan tindakan yang saat ini kita katakan sebagai “kebodohan”.

Itu beliau. Siapa kita? Apa tidak mungkin kita berpotensi melakukan tindakan yang lebih konyol? Tentu, sangat mungkin. Paling tidak, di masa lalu, kita mungkin pernah lebih bodoh dan konyol dari mereka yang sekarang kita sebut bodoh dan konyol. Dan mereka yang saat ini terlihat bodoh dan konyol, ke depan bisa jadi lebih ‘waras’ daripada yang mengatakannya bodoh.