Ada beberapa hal yang menarik jika memasuki bulan Rajab. Bukan hanya perdebatan yang seringkali mewarnai khazanah intelektual Islam terkait ritual dan amalan-amalan yang ada di dalamnya. Lebih dari itu adalah peristiwa besar yang sempat menggoncang dunia arab saat itu dan misterinya masih menjadi polemik dan perdebatan sengit di kalangan para pakar astronomi di seluruh dunia. Posisi bulan Rajab yang menempati urutan ke tujuh dalam kalender hijriah serta menjadi bagian dari bulan-bulan haram, menjadikannya terasa istimewa dalam pandangan umat Islam.
Secara etimologis, Rajab berasal dari kata Bahasa Arab “Rajabun” artinya pengagungan, dikatakan demikian, karena Allah. mengagungkan bulan ini sebagai bulan-bulan yang diharamkan di dalamnya segala bentuk aktivitas yang mengerucut pada peperangan. Sedangkan menurut terminologinya bulan Rajab adalah bulan ke tujuh dari bulan-bulan tahun hijriah, berada di antara bulan Jumadil Tsani dan Sya’ban.
Perdebatan Panjang Seputar Ritual di Bulan Rajab
Jika sudah memasuki bulan Rajab, maka nuansa pedebatan pun pasti dirasa oleh sebagian orang, tidak hanya dalam halaqah-halaqah ilmiah dan di media-media cetak, bagi mereka yang secara aktif mengikuti perkembangan informasi di media sosial, iklim ini dirasa begitu akrab dengan hadirnya beberapa status dan catatan seputar pro dan kontra amalan-amalan di bulan Rajab yang mewarnai timeline pada akun-akun tertentu.
Sebenarnya, jika ditelisik pada akar permasalahannya, boleh dibilang letak perdebatan mereka tidak keluar dari pembahasan lama. Artinya adalah wilayah yang dipersoalkan merupakan permasalahan-permasalahan klasik (Classic Discourses), yaitu terkait ritual yang seringkali dilakukan oleh sebagian orang Islam di bulan Rajab semisal puasa, zakat, dan ritual-ritual lainnya.
Dewasa ini kita sering lupa dan cenderung tidak bisa mengontrol diri hingga terjerumus ke dalam perdebatan-perdebatan kusir yang berujung pada pertikaian dan perpecahan. Oleh karena itu, menurut perspektif penulis, pedebatan masalah seputar ritual pada Bulan Rajab hanyalah bagian daripada masalah-masalah furu’iyah (al-Masail al-Ijtihadiyah) yang tidak menutup keniscayaan untuk melahirkan perbedaan pandangan.
Sepertinya, sikap toleran yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia secara umum terlebih umat Islam secara khusus perlahan-lahan mulai tampak luntur seiring dengan perkembangan zaman. Konsep Tepo Seliro yang dulu menjadi falsafah hidup warga Indonesia, terlebih umat Islam serta sangat dijunjung tinggi oleh siapapun, kini sudah tinggal kenangan. Hal ini bisa dilihat dari klaim yang dilontarkan oleh kelompok yang sangat kontra dengan amalan-amalan khusus di bulan Rajab.
Tudingannya pun tidak sekadar pada wilayah sindirian, ungkapan dan sematan, serta tudingan negatif acapkali menjadi bumbu perdebatan ini. Tidak hanya kelompok yang kontra, bagi mereka yang berada di kelompok yang pro pun demikian. Dengan berbagai macam argumentasi untuk menangkis serangan yang ditujukan kepadanya, terkadang mereka mencari pembenaran walaupun cenderung dipaksakan.
Sejauh yang penulis pahami, antara kubu yang pro dan kubu yang kontra terhadap amalan-amalan khusus di bulan Rajab sebenarnaya disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah perbedaan sikap dalam memahami teks yang ada di al-Qur’an maupun al-Hadis. Kemudian selanjutnya adalah perbedaan pandangan terhadap teks yang bersifat musytarak atau lafadz pada kalimat yang berpotensi memiliki makna yang bermacam-macam.
Sehingga dengan demikian, melahirkan paradigma berfikir dan kongklusi yang berbeda-beda. Untuk itu, sebagai jalan tengah untuk keluar dari kubangan perseteruan abadi ini, penulis memberikan sebuah opsi alternatif yaitu dengan memahami teks yang ada di al-Qur’an dan al-Hadis secara holistik dan tidak memahaminya secara parsial. [bersambung]
Mohammad Khoiron adalah Penulis adalah Pegiat Islamic Studies dan Sosiologi Agama. Twitter: @MohKhoiron