Azadi, yang berarti kebebasan, sebuah bundaran sekaligus ikon kota Tehran hari Selasa (11/2/2020) menjadi saksi peristiwa penting yang menarik perhatian banyak orang, termasuk warga pendatang seperti saya.
Sejak pagi hari jutaan orang tua, anak muda, remaja hingga anak-anak berkumpul membawa bendera meneriakkan yel-yel dan spanduk serta plakat berbahasa Farsi. Padahal cuaca begitu dingin menusuk. Tadi malam salju mengguyur kota Tehran di pertengahan musim dingin ini.
Televisi nasional Iran menayangkan jutaan orang di berbagai daerah memperingati hari kemenangan Revolusi Islam ke-41 yang terjadi 22 Bahman, menurut penanggalan Persia. Oleh karena itu, disebut pawai 22 Bahman. Peristiwa serupa juga terjadi di berbagai daerah di Iran yang tengah diguyur salju lebat, seperti Ardabil. Ketika mengunjungi kota ini akhir musim panas tahun lalu, saya sudah merasa kedinginan, apalagi musim dingin.
Media internasional semacam Reuters menyebut peserta pawai hari Selasa di Tehran dihadiri puluhan ribu orang. Tapi saya perkirakan jauh lebih besar dari itu. Jarak antara Universitas Tehran dan Bundaran Azadi lumayan jauh. Tapi Selasa pagi hingga siang dipadati begitu banyak orang. Bahkan kerumunan orang meluber hingga arah menuju bundaran Ferdows. Foto udara yang ditayangkan televisi nasional Iran dengan jelas memperlihatkan kerumunan orang yang berpawai di tengah musim dingin yang menusuk.
Sebagian media internasional menyebut aksi pawai jutaan orang ini berjalan lewat mobilisasi pemerintah Iran. Tapi saya agak meragukannya, sebab massa dengan jumlah sebesar itu, bagaimana pengerahannya dan apa motifnya. Jika motifnya ekonomi, seperti pasukan nasi bungkus maupun uang, jauh lebih tidak logis lagi. Jika sekolah dimobilisasi untuk datang, saya tidak melihat pengerahan massa sampai demikian.
Sebagian sekolah seperti SMP anak saya justru sedang liburan study tour ke Isfahan. Saya juga menanyakan kondisi sekolah anak-anak kolega saja, baik di kampus maupun kantor, semua mengatakan tidak ada instruksi wajib dari sekolah untuk ikut pawai hari Selasa, kecuali sekadar anjuran biasa. Tampaknya, ada aspek lain yang melatarbelakangi kehadiran masyarakat Iran dalam pawai akbar itu.
Pertama, motif ideologis masih menjadi penopang utama kehadiran massa dalam peristiwa besar seperti pawai kemenangan revolusi ke-41 kemarin.
Barangkali teori Kharisma Weber masih cukup relevan untuk membaca dinamika Iran saat ini. Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Khamenei beberapa hari lalu menyampaikan pidato, yang salah satunya menyerukan partisipasi rakyat dalam pawai memperingati kemenangan revolusi Islam Iran ke-41. Bagi banyak orang di negara ini, pernyataannya jauh lebih didengar dari pada presiden, meskipun ada juga yang tidak menyukainya.
Kedua, ulama masih memiliki posisi penting di tengah masyarakat Iran. Meskipun pamornya mulai menurun, bahkan mengalami peyorasi di kota besar seperti Tehran, tapi suaranya masih didengar dan jadi panutan masyarakat di daerah. Ada jaringan kuat antara posisi pemimpin tertinggi Iran dengan para ulama di seluruh penjuru negara yang dengan mudah menanamkan pemahaman ideologis yang terus-menerus dirawat dan dijaga secara berkesinambungan.
Ketiga, konsep musuh bersama seperti AS dan Israel menjadi narasi penting yang selalu akan hadir dalam setiap momentum penting dan sensitif di negara ini. Tidak heran jika pawai hari kemenangan revolusi Islam ke-41 juga menampilkan aksi pembakaran bendera AS dan Israel.
Iran akan terus merawat simbol-simbol pentingnya, termasuk peringatan kematian tokoh penting seperti Qassem Soleimani yang saat ini memasuki peringatan ke-40 hari. Konsep merawat simbol memiliki sejarah panjang yang jauh melampaui sejarah masuknya Islam ke negeri Persia.
Tokoh-tokoh pahlawan besar yang abadi seperti Rostam, hingga kini masih terus berkumandang dalam narasi sastra dari buku klasik seperti Shahnameh hingga kartun animasi yang canggih. Di era Islam, epik kepahlawanan seperti Sayidina Husein di Karbala, menjadi simbol yang terawat dan tertanam dalam kehidupan sosial masyarakat Iran. Salah kayu bakar ideologi yang membakar terjadinya Revolusi di Iran mengambil spirit dari epik Karbala. Mereka menyebutnya sebagai “Hamaseh Hoseini”.
Terlepas kita setuju atau tidak dengan ideologi yang mereka yakini, tapi kemampuan mereka mengkapitalisasi simbol budaya nasionalnya layak dikagumi. Mulai dari tokoh-tokoh sebelum Islam hingga pemikir Muslim seperti Ibnu Sina, Umar Khayam, Al-Biruni hingga Imam Khomeini, dan bertambah lagi Qassem Soleimani terus menerus diziarahi dalam banyak bentuk. Ini pelajaran penting yang mungkin kita sering lupakan. Sebagai gambaran pentingnya sebuah simbol, Iran menembakkan sejumlah rudalnya ke pangkalan AS di Irak bertepatan dengan pemakaman Qassem Soleimani.
Orang-orang Iran hidup dengan simbol yang terus dirawat untuk kepentingan nasionalnya, termasuk menjaga spirit Revolusi Islam. Mereka menghidupi sejarahnya dan dari sana menggali simbol-simbol besar yang terus dirawat seperti pawai nasional kemarin. Pawai adalah kapital sosial sebagai kekuatan lunak Iran. Negara ini dirawat dengan pawai yang melestarikan simbol-simbol budaya nasionalnya. Jutaan orang turun ke jalan untuk menjaga kelestarian simbol-simbol itu. Saya kira, pernyataan Sukarno, “Jangan lupakan sejarah”, menemukan relevansinya.
Lalu pertanyaannya, bagaimana kita memanfaatkan khazanah simbolik sejarah nasional kita sendiri untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia?