Suatu hari Umar meradang, pasalnya ia baru saja mendengar bacaan Al-Quran yang belum pernah ia dengar sama sekali. Saat itu Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surat al-Furqan dengan bacaan yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW kepadanya.
Ketika itu Hisyam bin Hakim membaca surat al-Furqan dengan bacaan yang berbeda pada saat melakukan shalat. Saking marahnya, Umar sempat akan menginterupsi bacaan shalatnya tersebut, namun Umar mencoba untuk bersabar hingga si Hisyam menyelesaikan shalatnya.
Hisyam mulai sampai pada tahiyat terakhir. Sebentar lagi ia sampai pada salamnya. Umar masih menunggunya selesai. Mukanya merah, nampaknya ia sungguh-sungguh marah kepada Hisyam. Tanganya mengepal, sementara selendangnya sudah ia siapkan.
Ketika Hisyam selesai salam, Umar tidak menyia-nyiakannya. Umar tak bisa lagi sabar menunggu hingga Hisyam menyelesaikan bacaan wirid dan doanya. Umar sontak mengalungkan selendangnya ke leher Hisyam dan menariknya erat-erat seraya mengancam.
Umar tak bisa mengendalikan kemarahannya. Ia menganggap bacaan yang dibaca oleh Hisyam sangat fatal. Hisyam dianggap membuat-buat bacaan baru dalam Al-Quran.
“Wahai Hisyam, dari mana kau dapatkan bacaan surat yang telah ku dengarkan barusan?” Tanya Umar sembari mengancam.
“Aku mendapatkannya dari Rasulullah SAW, wahai Umar. Rasulullah SAW sendiri yang mengajarkan bacaan itu kepadaku,” bantah Hisyam.
“Bohong!!” Sergah Umar.
Umar melanjutkan, “Rasul SAW tidak pernah mengajarkan bacaan itu kepadaku.”
Tak puas dengan pengakuan Hisyam, Umar kemudian menggelandangnya untuk menghadap Rasul SAW. Sampai di hadapan Rasul SAW, Umar masih menggenggam selendang yang masih dikalungkan di leher Hisyam dengan erat.
Hisyam nampak tercekat lehernya. Ia tak mampu berkata-kata. Namun Umar langsung melapor kepada Rasul SAW tanpa membiarkan Hisyam membela diri.
“Ini wahai Rasul, orang ini membaca Al-Quran dengan bacaan yang tidak pernah engkau ajarkan kepadaku,” dakwa Umar.
Dengan lemah lembut, Rasul memerintahkan Umar untuk melepas ikatannya, “Lepaskan dia wahai Umar, biarkan dia berbicara!”
Karena itu perintah Rasul, orang yang sangat ia hormati, Umar melepaskan ikatannya di leher Hisyam.
“Ada apa, ada apa? Apa yang membuat kalian berdua ribut?” Rasul SAW dengan sabar bertanya.
Umar masih mengulang perkataannya tadi, bahkan hampir mirip, tidak ada yang berbeda. Sementara Hisyam juga membalas dakwaan Umar. Keduanya saling berdebat. Rasul menatap keduanya.
Dengan menghela nafas sebentar, Rasul kemudian menghentikan perdebatan keduanya dengan pertanyaan yang mengayomi, “Coba kalian berdua secara bergiliran membacakan surat yang sama yang aku ajarkan kepada kalian!”
Hisyam memulai bacaannya, Rasul kemudian berkata, “Memang seperti ini ayat itu diturunkan.”
Hisyam sangat percaya diri. Ia menyangka bahwa Rasul akan membelanya. Tak selang beberapa lama, Umar pun memulai bacaanya. Tidak ada yang berbeda dari jawaban Rasul SAW, ia masih menjawab dengan jawaban yang sama, “Memang seperti ini ayat itu diturunkan.”
Kepercayaan diri Hisyam seketika luntur, ternyata kebenaran yang ia anggap mutlak tidak sepenuhnya mutlak. Masih ada kebenaran lain yang juga dimiliki oleh lawan debatnya, Umar bin Khattab.
“Sesungguhnya Al-Quran diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah huruf yang paling mudah menurutmu!” Imbuh Rasul SAW.
Kisah ini bisa ditemukan dalam beberapa kitab hadis yang diakui kesahihannya, salah satunya ditulis dalam kitab Sahih Bukhari, dalam bab Unzila al-Quran ‘ala Sab’ati Ahruf.
Kisah ini menyiratkan bahwa terkadang kebenaran yang dianggap mutlak hingga diperdebatkan dengan mati-matian terkadang hanyalah anggapan kita semata, masih ada kebenaran lain yang juga dimiliki oleh lawan debat kita.
Sementara bagi penonton, atau orang yang menyaksikan debat, bisa mengambil pelajaran dari sikap Rasul SAW ketika menyaksikan perdebatan itu. Rasul tidak lantas membela Umar, padahal Umar adalah sahabat dekat beliau. Rasul menjadi pendengar yang baik, dengan santun dan teduh.
Rasul membiarkan keduanya mengeluarkan argumentasinya masing-masing, argumentasi yang dianggap paling benar. Hisyam dan Umar pun kembali dengan senyum merekah, tidak ada permusuhan di antara mereka.
Begitulah semestinya seorang penonton debat, jangan memvonis dan mencela salah satu dari dua orang yang sedang berdebat. Belajarlah dari Rasul SAW! Sehingga kedua orang yang sedang berdebat bisa pulang dengan damai tanpa ada permusuhan dan pertikaian.
Wallahu A’lam.