Istilah Maqashid as-Syari’ah (tujuan-tujuan syariat) begitu populer di kalangan intelektual muslim. Menurut Kiai Husein Muhammad, istilah itu pertama kali dipopulerkan oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam karyanya yang berjudul al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul. Dalam karyanya itu, Al-Ghazali bukan menyebut dengan istilah Maqashid as-Syari’ah, melainkan al-Kulliyat al-Khamsah yang dipahami sebagai “Lima Hak Dasar Universal”.
Lima hak dasar universal itu mencakup lima perlindungan, antara lain: hifzh ad-Din (perlindungan agama/ keyakinan), hifzh an-nafs (perlindungan jiwa), hifzh al-‘aql (perlindungan akal), hifzh an-nasl (perlindungan keturunan), dan hifzh al-mal (perlindungan harta). Bagaimana urutan kelima hak dasar universal itu?
Pertanyaan itu pernah diajukan oleh Kiai Husein Muhammad kepada Kiai Ali Yafie saat berkesempatan untuk berbincang dengannya. Perbincangan itu ia abadikan dalam salah satu bagian bukunya yang berjudul Dialog dengan Kiai Ali Yafie. Lantas, apa jawaban yang diberikan oleh Rais ‘Aam PBNU periode 1991-1992 kepada Kiai Husein?
“Hifzh an-Nafs (perlindungan jiwa) itu urutan pertama,” jawab Kiai Ali Yafie.
Perlindungan jiwa juga dapat dipahami bahwa setiap orang memiliki hak hidup. Agama melindungi hak hidup yang terwujud dalam larangan untuk merenggut nyawa orang lain tanpa alasan yang dibenarkan.
Setelah menerima jawaban itu, Kiai Husein kembali bertanya, “Kenapa bukan Hifzh ad-Din yang didahulukan? Bukankah ini sangat mendasar?” Al-Ghazali sebagai penggagas al-Kulliyat al-Khams sendiri meletakkan Hifz ad-Din di urutan pertama. Namun, Kiai Ali Yafie memiliki pandangan yang berbeda.
“Ya, karena orang yang beragama itu harus orang hidup,” jawab Kiai Ali Yafie. Kiai Husein, dalam bukunya, mengaku bahwa jawaban itu membuatnya tertawa kecil sebagai tanda senang. Sekaligus membuatnya semakin penasaran dan lanjut bertanya.
“Jadi, Hifzh ad-Din diletakkan di mana, Kiai?” tanya Kiai Husein. Kiai Ali Yafie menjawab, “terakhir.”
Dengan menempatkan perlindungan agama di urutan terakhir, bukan berarti Ketua MUI periode 1998-2000 itu menganggap remeh kedudukan agama. Ada alasan kuat yang mendasari pendapat Kiai Ali Yafie itu, yang kemudian ia utarakan kepada Kiai Husein.
“Agama melindungi semua hak itu,” jawaban singkat namun luar biasa, hingga membuat Kiai Husein yang mendengar menjadi terpana.
Menurut Kiai Husein, tidak banyak ulama yang mengemukakan pendapat seperti itu, yakni meletakkan Hifzh ad-Din di urutan terakhir. Al-Ghazali sendiri menempatkannya di urutan yang pertama. Itu juga yang kemudian membuat Kiai Husein bertanya lebih lanjut kepada Kiai Ali Yafie.
“Lalu mengapa Imam Abu Hamid al-Ghazali menempatkan perlindungan atas agama atau keyakinan ini pada urutan pertama,” Tanya Kiai Husein. Kiai Ali Yafie menjawab dengan yakin, “(Karena) konteksnya menghendaki demikian.”
Begitulah sekelumit perbincangan antara Kiai Husein Muhammad dengan Kiai Ali Yafie yang terjadi sekitar tahun 2020 itu. Meski jawaban-jawaban yang dilontarkan tidak bertele-tele, namun cukup untuk menunjukkan kedalaman ilmu yang dimiliki oleh Kiai Ali Yafie. Bahkan, dengan kecermatannya melihat situasi dan kondisi sosial yang paling aktual, ia menambahkan satu prinsip lain di luar al-Kulliyat al-Khamsah, yaitu Hifzh al-Bi`ah (perlindungan atau pemeliharaan lingkungan).
Tak ayal, kepergiannya menghadap Sang Ilahi menyisakan duka yang mendalam. Akan tetapi, secara pribadi, penulis yakin bahwa pemikiran dan kontribusinya akan selalu abadi dan menjadi amal jariyah baginya. Lahul Fatihah. [NH]