Minggu lalu, salah satu media cetak ternama langganan tetangga saya menampilkan headline yang sangat menggelitik. Bukan hanya judulnya saja yang menarik, namun gambar yang dipajang di halaman terdepan juga menggugah minat saya pada bacaan koran yang telah lama padam.
Pada halaman depan koran tersebut, terpampang gambar ibu-ibu dengan dandanan mirip Bu Tejo yang kemarin viral itu: berjilbab rapi lengkap dengan make up, memakai perhiasan cicin dan gelang, terlihat juga jam keren di tangan kanannya yang menopangkan dagu pada jok sepeda motor Yamaha XSR.
Bahkan, di belakang ibu itu, tampak tiga mobil yang kinyis-kinyis, masih menggunakan plat berwarna putih dari dealer. Dibawah gambar tersebut, tertera judul dengan tulisan besar, “Desa Miliader dengan 180 Mobil Baru.”
Barangkali seperti saya, Anda pernah juga mendapati berita viral tentang satu desa yang warganya memborong mobil bersama-sama karena mendapat pencairan uang pembebasan lahan Pertamina. Yap, koran itu sedang membahas liputan akan berita viral yang sepotong-sepotong kita peroleh dari internet tadi.
Dikatakan dalam liputan tersebut, di Desa Sumurgeneng Tuban itu, ada paling tidak 180 mobil baru yang dibeli warga. Dan, ya, mobil bukan satu-satunya aset yang mereka belanjakan, melainkan ada juga sepeda motor sport, sepeda listrik, dan berbagai macam barang lainnya yang kemungkinan besar tak mereka miliki sebelumnya, seperti misalkan: baju under armour, kacamata rayban, hanphone cap apel kroak, dlsb.
Tulisan ini tidak sedang akan menyalahkan siapa-siapa. Kalau njenengan berpikir bahwa saya akan menyalahkan warga desa akan perilaku konsummsi yang mereka lakukan, maka buru-buru saya kabarkan bahwa dugaan itu keliru. Justru barangkali, saya termasuk dalam pihak-pihak yang setuju, atau setidaknya mewajarkan apa yang mereka lakukan.
Habis gimana lagi, wong itu uang-uang mereka, kenapa saya harus ruwet ngeman dan mempermasalahkan penggunaannya?
Saya jadi ingat beberapa tahun silam ketika masih tinggal di Jogja. Di desa tempat tinggal saya, seorang Bapak dengan tujuh anak, yang sehari-hari hanya bekerja sebagai tukang bangunan, bercerita bahwa ia pernah benar-benar terhimpit kemelaratan karena tidak ada job yang bisa dikerjakan.
Ia ceritakan, dalam keadaan tidak ada kemungkinan pendapatan sama sekali, sedang anak-anak dan isterinya harus makan, ia hanya bisa bersimpuh dengan do’a,
“Duh Gusti, niki saestu pun buntu, menawi saged, kulo nyuwun Njenengan pendhet mawon..”
“Ya Alloh, ini benar-benar sudah mentok, kalau diperkenankan, sudahlah, saya mati saja..”
Kira-kira bagaimana pemetaan kesadaran orang yang bisa berdo’a seperti itu? Apakah itu bentuk kebodohan dan ketidaksyukuran pada anugerah hidup dari Tuhan? Ataukah itu justru kesadaran akan ke-rendah-dirian di hadapan Tuhan? Kemelaratan benar-benar menindih kehidupan, sedang ia tahu bunuh diri hanya menjadi cara pintas menuju neraka.
Tapi terbukti bahwa Allah benar-benar Maha Baik dan Maha Kaya, Bapak itu tetap sehat walafiat dan hidup bertahun-tahun kemudian setelah do’a itu ia panjatkan. Bahkan anaknya juga tumbuh sehat dan tercukupi dengan baik, meskipun tetap tidak kemudian keluarga si Bapak bisa disebut kaya.
Barangkali Tuhan merasa di-fait accomply, karena dialektika do’a tadi bisa juga dimengerti bahwa sebenarnya hanya Allah lah tempat Bapak tadi bergantung. Jadi Tuhan merasa tidak enak kalau membiarkannya mati kelaparan, padahal Ia Maha Kaya dan si hamba sudah pasrah bongkokan padaNya.
Tapi himpitan kemiskinan memang benar-benar menyebalkan. Bapak Ibu saya yang PNS juga pernah berkelakar bersama kawan-kawan sesama guru ketika pernah ada wacana bahwa uang pensiunan akan di-rapel di depan sehingga nominalnya menjadi sangat besar. Sekitar 1 M per guru.
“Lha kelakon edan nek oleh duwit semono!”
“Ya asli bisa gila kalau dapat duit segitu!
Uang satu milyar, buat para guru itu justru bisa berpotensi bikin gila. Mereka yang sudah biasa hidup dengan gaji UMR Jogja yang nganu itu, tiba-tiba disuruh dapat duit satu milyar, kan bisa nggak kuat mental dan konslet jiwanya.
Buat para guru, tukang-tukang bangunan panggilan, tukang becak, petani, dan segala macam pekerjaan sebagian besar masyarakat kita, kemiskinan bukan lagi peroalan yang menyebabkan kesedihan dan kemurungan hidup. Kemelaratan adalah musuh bersama, yang justru sangat di-akrabi. Mereka tertawa, berkelakar, dan menertawakan kemiskinan meskipun dalam hatinya tersimpan dendam kesumat pada keadaan sulit itu.
Jadi kalau para warga Sumurgeneng membelanjakan uangnya untuk membeli barang-barang mewah, atau bahkan menjajakannya untuk skin care dan perawatan, saya rasa itu lumrah saja. Mereka sedang ‘balas dendam’ pada keadaan yang bertahun-tahun menghimpitnya.
Lha wong Anda yang cuma sehari puasa aja akan kalap kalau berbuka, semua menu Anda sikat. Lha ini orang bertahun-tahun puasa ekonomi, lantas berbuka mobil mosok tidak boleh? Kenapa Anda boleh sedang mereka tidak boleh?
Saya sih tidak berani melarang-larang orang berbuka, lha wong saya tidak tahu perjuangan pendekar-pendekar kehidupan menjalani puasa kemelaratan tadi. Masalah berbuka secara berlebihan, beli ini itu, dan segala soal materialisme, sudahlah akui saja, kita semua aslinya sama.