Menolak Ilusi Sejarah Kejayaan Islam

Menolak Ilusi Sejarah Kejayaan Islam

Menolak Ilusi Sejarah Kejayaan Islam

Kaum muslim masa kini, di pelbagai belahan dunia, sering mendengungkan kejayaan-kejayaan Islam masa lampau. Kejayaan, dalam berbagai bidang keilmuan dan peradaban, merupakan fakta sejarah. Dari periode Nabi hingga masa Ibnu Shina, Islam mengalami fase dinamis yang menjadi catatan sejarah. Sejarah berlanjut hingga masa kini, yang berada pada era dunia digital.

Bagaimana kejayaan Islam dipahami pada masa kini? Membaca sejarah, tanpa perspektif kritis akan melenakan dan berbahaya. Beberapa kelompok salafi, membanggakan kejayaan Islam, tanpa mencoba membangun peradaban baru yang sesuai dengan kondisi zaman. Akibatnya, yang tampak adalah menghadirkan imajinasi, cintra fisik dan atribut dhahir pada masa lalu, yang dianggap sebagai lambang kejayaan. Padahal, yang dibutuhkan adalah mengambil api semangat Islam pada setiap zaman, untuk menerangi jiwa dan memompa spirit pada masa kini.

Dalam buku ini, Sejarah Islam yang Hilang (Bentang, 2016) Firas Alkhateeb mengungkap betapa Islam bukanlah agama yang merobohkan peradaban. Justru, melalui penghayatan akan nilai-nilai Islam, Rasul dan umatnya mengembangkan peradaban manusia. “Muhammad datang tak hanya untuk mengubah kepercayaan religius, tetapi juga masyarakat itu sendiri”. Risalah Islam yang dibawah Nabi Muhammad menjadi gerbang untuk membangun peradaban, terbukti dengan peristiwa sejarah yang disebut piagam madinah (madina charter).

Islam bukanlah agama yang hanya memikirkan teologi dan kehidupan setelah mati. Ayat-ayat yang turun awal juga mencela penyakit sosial yang merebak di Makkah. Dengan meningkatnya kemakmuran dari jalur perdagangan, terbentuklah perbedaan kelas sosial. Orang yang kaya akan memanfaatkan uangnya untuk mendanai lebih banyak kafilah sehingga menghasilkan lebih banyak uang. Sementara, orang miskin akan terus terpinggirkan, terlebih jika bukan anggota klan yang kuat (hal. 16). Hal ini terjadi di masa pra-Muhammad, yang kemudian menjadi koreksi pada misi dakwah Islam, terutama ketika Nabi membangun Yatsrib.

Tata politik dan sosial baru Nabi Muhammad di Madinah dikofidifikasi dalam naskah yang disebut Piagam Madinah. “Piagam ini merinci bahwa di bawah otoritas Nabi Muhammad, Madinah akan menjadi negara berdasar hukum Islam. Ummat akan menjadi suatu unit politik,” tulis Firas. Pada konsepsi Piagam Madinah, Nabi Muhammad berperan sebagai penengah utama, sebagai poros moderasi peradaban Islam di kota yang baru, setelah prosea hijrah dari Makkah. Di kota ini, Rasul dan pengikutnya—baik Muhajirin maupun Anshor—bersama membangun peradaban kemanusiaan.

Dalam Piagam Madinah, tercatat dengan jelas bagaimana Islam memberi ruang bagi komunitas agama lain, yang mau berdamai dan mengikuti aturan Nabi. “Kaum Yahudi, menjadi satu komunitas masyarakat bersama Muslim. Bagi Yahudi, agamanya, dan bagi Muslim, agamanya. Ini berlaku bagi kerabat dan diri mereka sendiri dengan pengecualian bagi siapapun yang bersalah atau berkhianat, karena ia membahayakan dirinya dan keluarganya,” (hal. 25).

Perspektif Kelompok Muslim

Di akhir buku ini, Firas Alkhaateb mengajukan pertanyaan: apa yang menyebabkan terjadinya kemenangan terakhir Eropa atas dunia Islam? Penulis buku ini mencoba melakukan penelusuran atas jawaban-jawaban cendekiawan muslim.

Pada kisaran abad ke 18 dan 20, para cendekiawan muslim akan mengisahkan dan berargumentasi pada kejayaan Islam masa lalu, sebagai dalil imajimer yang kokoh untuk membentengi keimanan. “Tak peduli di manapun berada, para cendekiawan ini memiliki kesamaan ide: kembali pada ajaran Islam itu penting demi kebangkitan Islam,” Namun, pendapat ini ditentang cendekiawan baru, yang terpengaruh dengan pandangan Barat, terutama ide sekularisasi dan nasionalisme.

Kelompok cendekiawan ini memandang penting rujukan pengetahuan dan pondasi peradaban Barat. Menurut mereka, Eropa telah meninggalkan abad kegelapan dan menjadi penakluk dunia sehingga mereka pasti telah melakukan hal yang tepat, demikian pola pikirnya. Para sarjana muslim yang berpikiran modern ini, berpendapat bahwa komunitas muslim haruslah memodernisasi diri dengan gagasan dan filsafat. Dua kelompok cendekiawan yang berpandangan kontradiktif, saling berkompetisi dalam merevitalisasi peradaban Islam, yang saling mempengaruhi komunitas muslim hingga kini.

Pada buku ini, Firas Alkhateeb menyampaikan pesan betapa membaca sejarah kejayaan Islam, pada masa lampau, haruslah dengan menggunakan perspektif kritis. Kejayaan Islam haruslah menjadi pengungkit semangat untuk membangun peradaban baru, dalam etika sosial dan pengetahuan, hingga menjadikan Islam masa kini sebagai agama yang menebar kedamaian, menghadirkan cinta, bukan tertutup tembok tebal kebencian dan amarah. []

Info Buku

Firas Alkhateeb  | Sejarah Islam yang Hilang
Penerbit: Bentang | Maret 2016
Tebal : viii+ 300 hal | ISBN : 978-602-291-129-6

 

*Munawir Aziz, peziarah dan peneliti, bergiat di Gerakan Islam Cinta (@MunawirAziz)