Ngaji Kitab Karya Ibn Rajab al-Hanbali: Ar-Radd ‘ala Man Ittaba’ Ghayr al-Mazahib al-Arba’ah
Imam Ibn Rajab al Hanbali (wafat tahun 1393 Masehi) — sekitar 625 tahun yang lalu. Beliau seorang ulama besar, ahli Hadits, tafsir, fiqh dan sejarah. Dalam bidang Aqidah beliau mengikuti Asy’ariyah dan dalam fiqh mengikuti mazhab Hanbali. Berkelana dalam menuntut ilmu dari Baghdad ke Yerusalem, Mekkah, Damaskus, dan Mesir.
Sebagai ahli Hadits tersohor, beliau menulis kitab Fathul Bari yang men-syarah (menjelaskan) hadits dalam kitab Sahih Bukhari. Namun sayang, belum tuntas beliau menulis kitab tersebut, Allah sudah memanggilnya kembali ke hadirat ilahi. Sekitar dua dekade berikutnya Imam Ibn Hajar menulis kitab yang men-syarah hadits yang tercantum dalam kitab Sahih Bukhari.
Sebagai penghormatan kepada Ibn Rajab, maka Ibn Hajar menulis judul kitabnya Fathul Bari, sama seperti yang ditulis oleh Ibn Rajab (dan belum selesai). Ini luar biasa karena kita tahu Ibn Hajar itu bermazhab Syafi’i tapi tetap menghormati Ibn Rajab yang bermazhab Hanbali.
Posisi Ibn Rajab ini unik. Sebagai murid Ibn Qayyim al-Jauziyah, dia punya sanad ke Ibn Taimiyah, namun sebagai pemuka mazhab Hanbali dia membela keberadaan mazhab, dan menolak mereka yang anti dengan mazhab dalam Islam. Padahal kita tahu nama lain yang punya sanad dengan Ibn Taimiyah, yaitu Muhamamd bin Abdul Wahab memiliki pandangan yang berbeda soal mazhab ini.
Gerakan kembali ke al-Qur’an dan Hadits, yang seolah menafikan mazhab 4 dalam bidang fiqh, menimbulkan berbagai persoalan selepas Ibn Rajab wafat. Gerakan anti taqlid, anti mazhab, dan ajakan untuk memahami al-Qur’an dan Hadits secara langsung tanpa melalui para ulama mazhab menjadi meluas dengan tumbuhnya gerakan Wahabi.
Mari kita simak point-point penting bagaimana Ibn Rajab membela keberadaan 4 mazhab. Beliau menulis kitabnya dengan metode tanya jawab untuk meluruskan kesalahpahaman mereka yang menolak mazhab 4 dalam Islam.
Mari kita mulai ngaji kitab karya beliau dengan mengirimkan al-Fatihah kepada beliau. Lahul Fatihah….
Ibn Rajab memulai kitabnya, setelah menyampaikan tahmid dan salam, dengan menulis:
فقد بلغني إنكار بعض الناسقد بلغني إنكار بعض الناس على إنكاري على بعض من ينتسب الى مذهب الإمام احمد وغيره من مذاهب الأئمة المشهورين في هذا الزمان الخروج عن مذاهبهم في مسائل وزعم أن ذلك لا ينكر على من فعله ، وأن من فعله قد يكون مجتهداً متبعاً للحق الذي ظهر له أو مقلداً لمجتهد آخر . فلا ينكر ذلك عليه
“Telah sampai kepadaku sebagian pihak yang mengingkari penolakanku terhadap mereka yang mengikuti mazhab Imam Ahmad dan mazhab yang masyhur lainnya namun pandangan mereka telah keluar atau berbeda dengan mazhab-mazhab itu. Sebagian pihak itu merasa aku tak perlu menentang mereka karena boleh jadi mereka (yang berbeda dari mazhab 4 itu) juga sudah mencapai level Mujtahid atau mereka mengikuti Mujtahid yang lain (di luar mazhab 4) –dan karenanya tak perlu sikap mereka itu aku persoalkan.
Maka Ibn Rajab memulai jawabannya dengan mengurai sejarah berbagai macam Qiraat (cara membaca al-Qur’an). Nabi Muhammad mengajarkan al-Qur’an dengan cara yang mudah sesuai tujuh macam cara pembacaan seperti yang terdapat dalam hadits terkenal dari Ubay bin Ka’ab dalam hal ini. Perbedaan cara membaca itu kemudian menyebar keluar dari jazirah Arab hingga saat Umat Islam menunaikan ibadah haji terdengarlah berbagai macam pembacaan al-Qur’an yang berbeda satu sama lain.
فأجمع أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم في عهد عثمان علي جمع الأمة على حرفٍ واحد ، خشية أن تختلف هذه الأمة في كتابها كما اختلفت الأمم قبلهم في كتبهم ، ورأوا أن المصلحة تقضي ذلك .
وحرقوا ما عدا هذا الحرف الواحد من المصاحف ، وكان هذا من محاسن أمير المؤمنين عثمان- رضي الله عنه- التي حمده عليها علي وحذيفة وأعيان الصحابة .
Kondisi ini mengkhawatirkan sehingga pada masa Khalifah Utsman disepakati untuk menstandarisasi model pembacaan al-Qur’an. Kemaslahatan diutamakan dan mereka membakar kumpulan mushaf lain yang berbeda saat itu. Langkah Khalifah Utsman ini didukung oleh Ali, Huzaifah, dan para sahabat utama lainnya.
Langkah Ibn Rajab menjawab masalah mengikuti 4 mazhab ini dengan menceritakan ulang kisah standarisasi mushaf Utsmani ini sangat menarik. Beliau membangun argumen dengan menggiring bahwa standarisasi Mushaf saja diperlukan,tentu begitu pula halnya dengan standarisasi pendapat dalam fiqh.
Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, seperti dituliskan sendiri oleh Ibn Rajab dalam kitabnya ini:
فإن قال أحمق متكلف : كيف يحصر الناس في أقوال علماء متعينين ويمنع من الاجتهاد أو من تقليد غير أولئك من أئمة الدين .
Bagaimana masyarakat dibatasi hanya pada pendapat tertentu saja, dan dicegah untuk berijtihad atau untuk mengikuti pendapat lainnya?
قيل له : كما جمع الصحابة- رضي الله عنهم – الناس من القراءة بغيره في سائر البلدان ؛ لما رأوا أن المصلحة لا تتم إلا بذلك ، وأن الناس إذا تركوا يقرؤون على حروف شتى وقعوا في أعظم المهالك
Ibn Rajab menjawab bahwa persis seperti yang dilakukan oleh para sahabat Nabi yang mengumpulkan masyarakat di setiap negeri dan memberitahu mereka untuk mengikuti model pembacaan saja di Mushaf Utsmani, dan mencegah mereka membaca dengan cara lain karena itu bertentangan dengan kemaslahatan.
Begitu juga dalam masalah fiqh ini, kalau masyarakat tidak dibatasi untuk mengikuti opini dari Imam mazhab tertentu saja, maka akan menimbulkan kerusakan dalam agama ini. Setiap orang nanti bisa mengklaim diri mereka sebagai mujtahid. Bahaya banget kan?
Timbul pertanyaan lagi: Bisa saja keempat mazhab itu sepakat pada hal-hal yang jauh dari kebenaran? Kenapa kita harus mengikuti mereka?
Ibn Rajab dengan tegas menolak ini. Allah tidak akan membiarkan umat ini bersepakat atas kesesatan. Ada Hadits Nabi yang mendukung pernyataan ini. Tapi kalaupun kita berasumsi bahwa bisa jadi Mujtahid sekaliber Imam Syafi’i atau Imam Ahmad bin Hanbal juga melakukan kesalahan, maka menurut Ibn Rajab kemungkinan ini kecil sekali dan ‘kesalahan’ semacam itu hanya diketahui oleh mereka yang levelnya sudah Mujtahid, dan bukan oleh orang awam. Maka orang awam tetap wajib taqlid kepada Imam Mazhab.
فأما المسائل التي يحتاج المسلمون إليها عموماً فلا يجوز أن يعتقد أن الأئمة المقتدى بهم في الإسلام في هذه الإعصار المستطالة اجتمعوا فيها على الخطأ ؛ فإن هذا قدح في هذه الأمة قد أعاذها الله منه
Adapun persoalan penting yang dibutuhkan umat Islam adalah tidak dibenarkannya untuk beranggapan bahwa para Imam mazhab, yang selama ini telah diikuti umat sekian lamanya, telah sepakat akan sebuah kesalahan. Anggapan ini sebuah hal yang jelek akan umat ini dimana Allah telah melindungi kita dari hal semacam itu.
فإن قيل : نحن نسلم منع عموم الناس من سلوك طريق الاجتهاد ؛ لما يفضي ذلك أعظم الفساد . لكن لا نسلم منع تقليد إمام متبع من أئمة المجتهدين غير هؤلاء الأئمة المشهورين
Selanjutnya ditanyakan lagi: kami sudah menyetujui penjelasan anda bahwa tidak semua orang layak melakukan ijtihad karena bila terjadi demikian hal ini merupakan kesalahan yang besar, tetapi kami masih belum bisa menerima penjelasan anda untuk hanya taqlid pada Imam Mazhab yang sudah masyhur dan tidak boleh pada lainnya?
قيل : قد نبهنا على علة المنع من ذلك وهو أن مذاهب غير هؤلاء لم تشتهر ولم تنضبط ، فربما نسب إليهم ما لم يقولوه أو فهم عنهم ما لم يريدوه ، وليس لمذاهبهم من يذب عنها وينبه على ما يقع من الخلل فيها بخلاف هذه المذاهب المشهورة
Ibn Rajab memberi jawaban yang menarik. Mazhab yang tidak masyhur (di sini beliau merujuk kepada mazhab di luar mazhab empat yang sudah terkenal itu) boleh jadi tidak melewati proses dialektika dimana pendapat ulama tersebut sudah dibahas dan didiskusikan dengan luas oleh para ulama yang lain dan juga oleh murid-murid mereka melintasi berbagai generasi. Karena itu sukar bagi kita memverikasi pendapatnya apakah memang benar mereka yang di luar 4 mazhab itu pernah berpendapat demikian atau jangan-jangan hanya diatributkan saja pendapat tersebut kepada mereka.
Sampai di sini, Ibn Rajab menekankan proses ilmiah munculnya sebuah mazhab. Tidak begitu saja seorang Imam Abu Hanifah atau Imam Malik mengeluarkan pendapat. Fatwa mereka telah diuji dalam lintasan sejarah keilmuan berabad-abad lamanya. Proses ini umumnya tidak terjadi pada mazhab yang tidak masyhur, bahkan sudah punah pengikutnya, atau pendapat jaman now dari orang yang mengaku-ngaku sudah selevel dengan Mujtahid.
Perlu saya tambahkan ada sejumlah mazhab yang kini masih bisa kita baca sejumlah pendapatnya yang berserakan di berbagai catatan kitab fiqh, tapi murid dan pengikutnya sudah tidak ada lagi. Misalnya Mazhab Auza’i, Tsauri, Laitsi, dan lainnya.
Nah, pendapat mereka yang sudah terekam dan tercatat dalam kitab fiqh saja belum tentu layak kita jadikan rujukan karena sudah punah pengikutnya, bagaimana pula dengan Ustaz A atau Da’i B atau tokoh C yang modalnya hanya ‘menyampaikan dengan satu ayat’ tapi sudah berani menyalah-nyalahkan para Imam Mazhab?
Atas nama proses dialektika ilmiah sepanjang sejarah keilmuan fiqh inilah Ibn Rajab dengan tegas berpendapat bahwa yang wajib kita iikuti adalah salah satu dari empat mazhab yang sudah masyhur (ternama), bukan yang lain.
Sebagai pemuka mazhab Hanbali, dalam lembaran berikutnya Ibn Rajab menjelaskan mengenai keutamaan Imam Ahmad bin Hanbal. Ini dilakukan untuk menjelaskan kepada pembaca bahwa sosok Imam Mazhab itu bukan sembarang tokoh, yang kemudian seenaknya pendapatnya kita tolak, seolah-olah pendapat mereka keliru dan bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits sahih. Atau seperti disinggung sebelumnya, seolah generasi now dengan entengnya menyalah-nyalahkan pendapat 4 Imam mazhab dan malah mengikuti pendapat Ustaz atau Da’i yang tidak jelas otoritas keilmuannya dalam panggung sejarah umat.
فهذه نصيحة لك أيها الطالب لمذهب هذا الإمام أؤديها إليك خالصة لوجه الله تعالى ؛ فإنه لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه .
Maka tibalah Ibn Rajab memasuki bagian akhir pembahasan, yaitu dengan penuh cinta memberi nasehat kepada mereka yang tengah belajar memahami Islam. Ini nasehat beliau:
إياك ثم إياك أن تحدث نفسك أنك قد اطلعت على ما لم يطلع عليه الإمام ، ووصلت من الفهم إلى ما لم يصل إليه هذا الذي ظهر فضل فهمه على من بعده من أولي الإفهام .
ولتكن همتك كلها مجموعة على فهم ما أشار إليه من الكتاب والسنة على الوجه الذي سبق شرحه .ثم بعد ذلك : ليكن همك في فهم كلام هذا الإمام في جميع مسائل العلم ، لا مسائل الإسلام
Jangan kalian berpikir barang sedikitpun bahwa apa yang tengah kalian pelajari itu adalah sesuatu yang para Imam mazhab tidak ketahui atau tidak pahami, atau kalian sudah mencapai pemahaman tentang al-Qur’an dan Sunnah yang seolah mereka belum mencapainya.
Berusahalah dengan keras untuk memahami perkataan para Imam Mazhab mengenai semua bahasan keilmuan, dan tidak hanya terbatas pada masalah keislaman.
فإن أنت قبلت هذه النصيحة وسلكت الطريقة الصحيحة ، فلتكن همتك : حفظ ألفاظ الكتاب والسنة ، ثم الوقوف على معانيها بما قال سلف الأمة وأئمتها
، ثم حفظ كلام الصحابة والتابعين وفتاويهم وكلامهم أئمة الأمصار ، وعرفت كلام الإمام أحمد وضبطه بحروفه ومعانيه والاجتهاد على فهمه ومعرفته . وأنت إذا بلغت من هذه الغاية ك فلا تظن في نفسك أنك بلغت النهاية ، وإنما أنت طالب متعلم من جملة الطلبة المتعلمين . ولو كنت بعد معرفتك ما عرفت موجودا في زمن الإمام أحمد ، ما كنت حينئذ معدوداً من جملة الطالبين فإن حدثت نفسك بعد ذلك أنك قد انتهيت أو وصلت إلى وصل إليه السلف فبئس ما رأيت
Ibn Rajab menegaskan: Jika kalian menerima nasihat ini dan mengikuti jalan yang benar maka hafalkanlah teks al-Qur’an dan Sunnah, kemudian pelajari maknanya sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh generasi terdahulu dan para imam. Hafalkan dan pelajari ucapan para Sahabat, Tabi’in dan fatwa serta kalam para Imam.
Jika kalian sudah sampai pada capaian ini, jangan mengira kalian sudah sampai pada puncak keilmuan. Sungguh, kalian itu masih pada tahap sebagai pembelajar diantara para pembelajar lainnya. Bahkan seandainya kalian hidup pada masa Imam Ahmad, belum tentu kalian dianggap layak sebagai muridnya.
Masya Allah….kalimat terakhir ini sungguh sangat menohok.
Demikian catatan saya hasil mengaji kepada salah seorang ulama besar, Ibn Rajab al-Hanbali, lewat kitab ringkas yang ditulisnya, yang berjudul Ar-Radd ‘ala man ittaba’ ghayr al-mazahib al-arba’ah.
Kalau dimasa beliau menulis kitab ini saja (lebih dari 600 tahun silam) sudah banyak orang yang sok tahu dan sok alim sehingga berani menolak dan menyalah-nyalahkan Imam Mazhab 4 yang sangat termasyhur namanya dalam dunia keilmuan Islam, apalagi pada jaman now saat ini.
Semoga Allah melimpahkan rahmat, barokah, dan maghfirahNya kepada para Imam Mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad), para murid mereka, para ulama, para masyayikh, termasuk pengarang Kitab yang tengah kita bahas ini, Ibn Rajab al-Hanbali, dan semoga Allah melimpahkan rahasia, keutamaan dan keilmuan mereka kepada kita semua yang tengah mengaji kitab ini. Lahumul Fatihah…
Tabik,
Nadirsyah Hosen