Jika anda melewati pasar atau pusat perbelanjaan di bulan Ramadhan kemarin, khususnya di minggu akhir bulan tersebut maka tidaklah sulit bagi kita untuk melihat kemacetan dan antrian luar biasa panjang di sekitar kasir untuk membayar belanjaan.
Pemandangan seperti di atas selalu berulang di bulan Ramadhan. Nafsu berbelanja selalu menggebu-gebu dan tertanam di dalam alam pikiran kita. Bagi masyarakat yang tinggal di kota, hampir di setiap sudut selalu selalu melihat iklan maupun baliho. Mulai dari ajakan untuk belanja sampai ajakan untuk ibadah.
Pertanyaan besarnya kemudian, apakah kita sebagai manusia bisa memiliki pilihan yang bebas? Atau malah terjebak pada otak yang kita sudah tersistem dengan pilihan-pilihan yang tak bisa lepas dari apa yang ada dalam pikiran kita? Jika kita mau lebih serius bertanya, apakah handphone yang kita pegang selama ini kita beli atas dasar keperluan atau cuma ingin memenuhi hasrat kita saja?
Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya sering muncul dalam pikiran saya, namun saat melihat salah satu iklan biro perjalanan umrah saat saya berhenti di salah satu perempatan lampu merah di kota saya, Banjarmasin, pikiran ini kembali menyeruak di kepala saya dan kembali bertanya “apakah hasrat ingin ke tanah suci harus menceburkan diri ke dalam lembah hutang”. iklan yang saya lihat tersebut adalah biro agen perjalanan yang menyediakan jasa dana talangan untuk orang-orang yang ingin berangkat ke tanah suci.
Saya melihat iklan yang bernuansa reliji ini sebab menjual perjalanan relijius ke tanah suci, adalah media yang sangat efektif untuk mengajak masyarakat yang sangat ingin berangkat ke Makkah-Madinah. Namun saya melihat inilah apa yang disebut oleh Roland Barthes dengan “mitos” dan proses signifikansinya dalam kajian semiotika.
Sebagaimana banyak diketahui, teori semiotika diawali oleh seorang pemikir bernama Ferdinand De Saussure, yang mana melalui pembedaan sistem tanda: signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Konsep ini melihat bahwa makna akan muncul ketika ada relasi bersifat asosiasi atau in absentia antara ‘yang ditandai’ (signified) dan ‘yang menandai’ (signifier).
Namun Roland Barthes mengungkapkan bahwa jika kita ingin melihat ideologi yang tersembunyi dalam sebuah teks atau iklan, maka teori tentang mitos dan signifkansinya adalah alat yang sangat tepat. Disinilah pentingnya kita membaca teori ini, karena ini bukan cuma makna yang muncul tapi makna yang tersembunyi bisa kita lihat.
Dalam pemahaman Roland Barthes (selanjutnya akan ditulis Barthes), mitos adalah alat komunikasi yang menyampaikan. Mitos adalah sebuah bentuk tuturan karena itu semua dapat dianggap sebagai mitos, asalkan ditampilkan dalam sebuah wacana. Kita bisa mengambil contoh ini dengan menyembut salah satu jenis mobil misalnya “Alphard”, maka makna yang dibawa adalah sebuah mobil mewah dan menyimbolkan kekayaan yang memilikinya atau jika kita menyebut “Haji” adalah sebuah gelar prestisius, walau ini adalah sebuah warisan dari pemerintah kolonial Belanda.
Dalam teori mitos, makna yang ditimbulkan dalam sebuah tampilan yang sederhana, tidak lengkap, sehingga bentuk mengundang konsep. Inilah yang dimaksudkan bahwa mitos adalah sistem ideografis murni, yakni sebuah gambar sederhana yang membawa makna dan konsep yang dibawanya.
Jika kita lihat iklan biro perjalanan umrah, maka akan banyak memainkan mitos. Misalnya selalu memasukkan dua hal yaitu Umrah itu penting dan umrah itu murah dan mudah. Ini sering sekali terlihat dalam iklan-iklan biro-biro perjalanan umrah dan haji plus. Iklan yang dimaksud di sini bukan hanya iklan di media cetak tapi juga media televisi.
Namun tampilan iklan di televisi senantiasa lebih atraktif dalam melibatkan tanda dan kode. Setiap bagian iklan pun menjadi ”tanda” atau signs, yang secara mendasar berarti sesuatu yang memproduksi makna. Tanda berfungsi mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan) serangkaian konsep, gagasan atau perasaan sedemikian rupa yang memungkinkan seorang penonton untuk men-decode atau menginterpretasikan maknanya. Misalnya dalam iklan umrah, diperlihatkan betapa indahnya perjalanan di tanah suci dengan memperlihatkan bagian-bagian hotel mewah dengan segala fasilitasnya dan para jemaah yang sedang melaksanakan ibadah, sehingga penonton iklan tersebut bisa membayangkan bagaimana perjalanan dia di sana nantinya.
Jika kita ingin melihat lebih dalam dari sebuah tanda, maka harus juga melihat tanda tersebut dalam kacamata teori Ideologi. Karena menurut Van Zoest yang dikutip oleh dalam buku Meretas Ranah adalah “ideologi adalah keterkaitan sejumlah asumsi yang memungkinkan penggunaan tanda”. pernyataan dari Van Zoest ini sebenarnya didasarkan bahwa ideologi adalah bagian dari kebudayaan, sehingga jika ingin melihat ideologi maka harus melihat kebudayaan dari sebuah kelompok.
Jadi kalau Roland Barthes mengatakan mengungkap apa dibalik tanda itu mesti memakai teori mitos dan signifikansinya, nah dalam kasus ini saya akan memakai pemikiran Herbert Marcuse, disebabkan bukan cuma masalah ideologi namun dalam kemodernan seperti sekarang ini masyarakatlah yang membuat kehidupan mereka dalam kepalsuan dan penuh akan tanda.
Dalam buku One-Dimensional Man, Herbert Marcuse menjelaskan hal ideologi dalam sebuah tanda ini lebih dalam lagi, “Rakyat mengenali diri mereka sendiri di dalam komoditas-komoditas; mereka menemukan jiwa mereka di dalam otomobil mereka,” yang berarti kapitalisme mendegradasi manusia hingga menjadi komoditas-komoditas yang mereka ciptakan, memberikan komoditas sifat penting yang lebih dari diri sendiri. Dalam pemikiran ini Marcuse melihat bahwa manusia sudah mulai mengalami kehidupan yang terdegradasi dalam kehidupan yang mereka ciptakan sendiri. Kaitannya dengan persoalan iklan ini, sering dalam iklan selalu mengeksploitasi kehidupan yang hampir tidak terjadi di dunia nyata, yang ada hanyalah sebuah ilusi.
Kemudian Marcuse menjelaskan bahwa kekuatan baru yang berkoalisi menanamkan sebuah perspektif yang baru dalam kehidupan dan mentalitas masyarakat. Ia melihat gejala ini terjadi pada tatanan masyarakat yang ia sebut dengan masyarakat pasca dominasi, yang mana ia beri tanda dengan terhapusnya sistem kelas-kelas sosial, namun kesamarataan dan kesejajaran akan dipublikasi secara besar-besaran dan dimonopoli oleh penguasa. Saya pernah melihat sebuah iklan biro perjalanan umrah, mencantumkan sebuah anekdot “semua orang bisa berangkat umrah”, namun yang ada hanyalah tawaran sistem pemberangkatan umrah dengan sistem MLM.
Marcuse mencoba mengeksplorasi bahwa dalam kehidupan yang sudah sangat modern ini, kita malah mengalami degradasi yang tak terhindarkan. Contoh yang paling dekat adalah dalam sebuah mall atau tempat kebugaran, maka tidak sedikit sosok cantik dan ganteng yang dipajang di depan toko tersebut. Bagi Marcuse ini sudah masuk dalam kategori perdagangan manusia, karena baginya kita hanya dianggap sebuah komoditas yang dijual sama dengan barang yang dia jual di toko tersebut dan mereka tak bisa berbuat apa-apa soal itu.
Inilah yang saya sebutkan dalam judul, bahwa iklan reliji sudah sangat terdegradasi. Mereka (para pengiklan) hanya menjual kesalehan demi mendapatkan untung yang cukup menggiurkan. Terjadilah perselingkuhan antara pengiklan dengan hasrat belanja dari manusia. Mungkinkah ini dimasukkan dalam menjual agama, yang dalam kitab suci umat Islam mendapatkan ancaman yang sangat pedih? Ya entahlah, yang jelas ini banyak orang yang melakukannya.
Supriansyah, penulis bisa disapa di akun twitter @supribanjar