Masih terngiang di ingatan saya suara datarnya Pak Eggi Sudjana ketika menyebut bahwa hanya agama Islam yang bisa diakomodir oleh Pancasila sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Jika saya mendengar ucapan itu lima tahun yang lalu, niscaya hati ini akan bersorak sorai mendukung penuh perkataan beliau. Bahkan jika pengacara itu nyalon presiden, sudah pasti dukungan akan saya berikan kepadanya.
Saya masih ingat lima tahun yang lalu bertanya kepada seorang dosen: “Pak, bagaimana mungkin Indonesia tidak menjadi negara Islam jika sila pertama saja berbunyi Ketuhanan yang Maha Esa? Bukankah esa itu berarti tunggal, satu, sementara agama yang Tuhannya satu ya cuma Islam?”
Saya menyampaikan beberapa hal persis apa yang disampaikan Pak Eggi Sudjana, seperti konsep trinitas dalam Nasrani. Bedanya, saya menyampaikan itu di forum akademik, sementara Pak Eggi di hadapan para wartawan. Kebetulan pula saya bukan seorang tokoh sementara Pak Eggi adalah advokat pujaan tujuh juta umat. Maka pun ketika ada beberapa orang yang melaporkan Pak Eggi atas dugaan penistaan agama, ada 1000 advokat dari gerombolannya yang siap membela (Netralnews 8 Oktober 2017).
Pada saat itu, saya diminta untuk mengesampingkan latar belakang saya sebagai seorang muslim. Oleh sang dosen, saya diminta untuk mempelajari cara pandang agama lain tentang konsep ketuhanan terlebih dahulu, baru berkomentar soal sila pertama. Beruntung bagi saya, di kampus ada mata kuliah Studi Agama-Agama yang membuat saya bersinggungan dengan banyak ajaran agama lain.
Di situlah titik balik perbedaan cara pandang saya terhadap sila pertama Pancasila. Arti ‘esa’ memang tunggal, tetapi tunggal dalam memahami konsep ketuhanan bukanlah sebuah konsep matematika yang pasti dan bisa diuji dan hasilnya sama oleh semua orang. Di situlah letak kesaktian sila pertama Pancasila yang bisa mengakomodir berbagai kepentingan. Apalagi kata ‘esa’ masih diperdebatkan. Ada yang mengartikan sebagai tunggal, ada yang mengartikan kata ini diambil dari kata ‘isa’ yang berarti kuasa. Yang Maha Esa berarti Dzat Yang Maha Kuasa. Masing-masing agama tentu memiliki konsep tentang Dzat yang Mahakuasa ini.
Memahami sila pertama tidak bisa lepas dari proses sejarah dirumuskannya Pancasila oleh para pahlawan. Sila ini pertama kali dicetuskan oleh presiden Sukarno. Pada waktu itu, sang proklamator mengatakan bahwa semua orang hendaknya bertuhan dan menjalankan agama sesuai ajaran masing-masing (detik, 1 Juni 2016). Saat masih bernama Piagam Jakarta, bunyi sila tersebut adalah ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Redaksi ini kemudian diubah menjadi teks seperti sekarang ini oleh para perumus, di antaranya para ulama seperti Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama) dan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah).
Karenanya, saya tidak pernah menyalahkan jika ada sebagian orang masih memiliki pemikiran seperti Pak Eggi tersebut. Faktornya bisa bermacam-macam, mulai dari ketidaktahuan atau memiliki pandangan yang eksklusif dan memaksakan kebenaran kepada orang lain. Saya pun pernah memiliki pemikiran serupa lima tahun yang lalu.
Jika ada di antara pembaca yang masih memiliki pandangan demikian, ada baiknya melakukan hal yang pernah saya lakukan, yaitu mempelajari bagaimana umat beragama lain memandang Tuhan. Insyaallah, jika diniatkan untuk belajar, tidak akan ada iman yang tergoyahkan, justru semakin menambah keimanan itu sendiri.
Sebagai orang Islam, saya tetap memandang bahwa pandangan agama saya tentang konsep ketuhanan adalah yang paling benar. Tetapi sebagai orang Indonesia, saya tidak akan membenarkan adanya klaim tunggal atas penafsiran sila pertama Pancasila, apalagi mengatasnamakan agama yang saya anut. Saya setuju dengan seruan Bung Karno pada pidato rumusan Pancasila, yaitu Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.
Memonopoli sila pertama berimplikasi pada kegaduhan-kegaduhan di tengah masyarakat. Padahal, jika melihat bentuk negara yang baik adalah melihat negara Madinah di masa Rasulullah SAW. Sang utusan Allah tidak pernah memaksakan bahwa Islam lah yang harus dijadikan pedoman kepada penduduk Madinah. Sebaliknya, ia mengajak perwakilan dari berbagai suku dan agama untuk merumuskan konstitusi bersama bernama Piagam Madinah, konstitusi pertama yang tertulis di dalam sejarah umat manusia.
Kisah Madinah ini sebenarnya sangat mirip di saat awal negara Indonesia akan dibentuk. Para ulama dan tokoh dari berbagai latar belakang berkumpul untuk merumuskan dasar negara yang disepakati bersama, kemudian lahirlah Pancasila dan UUD 1945. Entah mengapa sejarah perjuangan itu justru tengah diusik dan dibenturkan dengan pemahaman-pemahaman yang dangkal dan sempit. Barangkali sudah tidak ada pilihan lagi: mari kita belajar lagi dari sejarah bangsa ini berdiri. Wallahua’lam.
Sarjoko Wahid, penulis adalah pegiat aktif di Islami Institute Yogyakarta. Bisa disapa lewat akun twitter @sarjokooo