Menjawab Tuduhan Bid’ah pada Praktik Orang Jawa

Menjawab Tuduhan Bid’ah pada Praktik Orang Jawa

Menjawab Tuduhan Bid’ah pada Praktik Orang Jawa
Ustaz Khalid Basalaman (Source: khalidbasalamah.com)

Pada galibnya, muslim awam akan selalu tertarik (amat sangat gandrung, malahan) pada faedah-faedah yang bersifat instan. Apalagi cara mendapatkannya pun gampang. Seperti memperbanyak rapalan-rapalan dan azimat, tanpa mau kerja, tapi berharap punya pendapatan layaknya orang kaya. Atau mendatangi wali meminta suwuk (mantra) sekurang-kurangnya demi kemudahan hidup lantaran di tiap ucapannya terdapat barokah berkemampuan magis yang mampu merobohkan tembok langit di atas sana.

Contoh sederhana di atas adalah secuil dari segudang permasalahan yang dikritisi secara keras oleh ustaz-ustaz cingkrang berjenggot lebat karena merasa berkewajiban untuk menjaga kemurnian syariat.

Nah, lantaran yang kerap memproduksi “iming-imingan instan” ini adalah lingkaran tashawuf-haqiqot, maka tuduhan biang kerok segala khurafat yang hampir-hampir saja mendekati sesat tadi sontak tertuju pada mursyid thoriqot.

Sembari melarang umat Islam untuk mengikuti ajaran tashawuf, hal yang patut diapresiasi dari ustaz-ustaz cingkrang berjenggot lebat ini adalah memberikan alternatif yang menurut mereka lebih bisa dipertanggungjawabkan kehalalannya oleh kacamata syariat, selain praktik khurafat ala tashawuf yang sudah dicontohkan tadi.

Semisal hizib dan suwuk yang dianggap mampu mendatangkan rejeki diganti dengan Shalat Dluha sekurang-kurangnya dua rakaat di pagi hari. Barokah dari wali tak perlu dicari, namun biasakan membaca Alam Nasyroh setiap kelar shalat lima waktu sekurang-kurangnya sebelas kali. Atau contoh paling mutakhir jika ada yang kerasukan jin maka tidak perlu memanggil kiai. Cukup dengan ruqyah, Akhi!

Seperti yang pernah ditayangkan di tivi: seseorang kerusupan jin kafir lantas di-ruqyah sedemikian rupa dengan ayat-ayat Quran “yang membara” sampai si Jin itu tak betah bersemayan di tubuh si korban yang tak berdaya. Sudah dibakar dengan ayat Quran, dipaksa-paksa masuk Islam, pula.

Meskipun pada hakikinya sama, namun Shalat Dluha, Alam Nasyroh, dan ruqyah tadi jauh lebih halal karena menurut mereka dalam syariat tuntunannya sudah ada. Bukankah mengada-ada dalam Syariat adalah bid’ah, dan bid’ah itu sesat, sementara sesat itu masuk neraka, Sodara-Sodara?

Kenapa ustaz-ustaz bercelana cingkrang dan berjenggot lebat itu cenderung kaku? Karena bawaan fikih memang mengajak manusia untuk berperilaku lurus melalui perintah-perintah dan banyaknya larangan-larangan. Bahkan hakikat daripada iman terletak pada sejauh mana seseorang menjauhi larangan. Jadi tak perlu kaget jika dalam tradisi hukum Islam lebih ditekankan pada melarang-larang daripada menganjurkan.

Al-Hallaj di jaman kekhalifahan Abbasiyah, sekadar memberi contoh praktisi sufi jaman klasik, karena mengajarkan ucapan yang terlarang akhirnya dihukum mati berdasarkan ulama fikih. Syaikh Siti Jenar pun bernasib sama, karena menyebarkan ilmu terlarang akhirnya berujung pada dipenggalnya kepala mendiang berdasarkan perintah para Walisongo yang telah mengeluarkan fatwa fikih.

Yang disayangkan dari ustaz-ustaz ini adalah prasangka buruk yang berlebihan pada Tarekat, seperti yang diwakili Dr. Khalid Basalamah, bahwa maqomat Tarekat (level atau tingkatan) yang paling atas berdampak pada klaim pembebasan seorang muslim dari taklif ibadah (diperkenankan untuk melanggar shalat dan puasa, misalnya). Bahwa Syariat dan Tarekat memiliki tradisi pertentangan hingga meriwayatkan sejarah mengenaskan, itu memang benar. Namun jangan alpa juga bahwa antara keduanya justru berdialektika terus-terusan.

Syaikh Abu Bakr Shata, pengarang kitab Kifayat Al-Atqiya` yang populer dikaji pesantren-pesantren Indonesia sebagai “katekismus Islam” paling awal untuk mengawali hidup sufi para santri, memberikan metodologinya:

fa syari’atun kasafinatin wa thariqatun // ka al-bahri tsumma haqiqatun durrun ghala

(syariat itu perahu, tareqat adalah lautnya, dan hakikat [Jawa: kasunyatan] adalah mutiaranya di dalamnya)

Di seluruh pesantren di Indonesia tidak berlaku madzhab anti-nomian, dimana Hakikat dapat dicapai tanpa harus melalui Syariat. Hakikat tidak dihasilkan secara ujug-ujug dan melompat. Peringatan Syaikh Juned Al-Baghdadi seringkali diulang-ulang kepada santri, karena tashawuf bukanlah perkara enteng bagi pelajar agama sekalipun, bahwa untuk sampai pada Hakikat ada aturan yang harus kumanthil di hati:

Sesiapa bersyariat tanpa mengindahkan haqiqot maka akan menjadi fasiq, sementara berhaqiqot tanpa memerhatikan syariat maka akan menjadi zindiq (semacam kondisi kafir namun tak sadar atas kekafirannya).

Manusia yang telah mencapai Hakikat, dalam tradisi mistik Islam, disebut ‘Abid (Hamba Kinasih). Tidaklah masuk di logika seseorang bakal dikasihi Tuhan dengan cara melanggar perintah-Nya seperti shalat dan puasa. Dan karena sudah menjadi kekasih-Nya, terserah Dia mau memberlakukan hamba-Nya seperti apa; kadang diserupakan secara harafiah seperti orang dekil, atau menghiasinya dengan keramat-keramat yang khariq al-‘adah (tingkah esoteris yang tidak bisa diverifikasi secara obyektif).

Imam Ghazali dalam Minhaj Al-‘Abidin mengulas bahwa ketika ‘Abid dianggap Allah lulus menghadapi ujian-ujian yang telah dipersiapkan untuknya maka Dia akan menganugerahi 40 macam karunia. 20 karunia bakal diberikan di akhirat, sementara sisanya diberikan di dunia. Salah satu karunia yang diberikan di dunia adalah barokah di dalam ucapannya.

Karunia inilah yang sampai pada masyarakat awam dikenal dengan nama suwuk, hizib, azimat, rajah, dan shigat yang daya magisnya sudah teruji dari generasi ke generasi. Kenapa masyarakat awam sangat mudah meyakini dan memilih langkah ini? Karena umumnya mereka bukanlah kaum perenung yang menikmati kehidupan kontemplatif (Vita Contemplativa).

Pada akhirnya masyarakat awam adalah pencari faedah-faedah instan, yang masuk ke dalam Tarekat hanya untuk mencari kehangatan spiritual dan romantisme religius dalam peribadatan. Sumpeknya hidup mendorong mereka untuk menyepi bersama Tuhannya lewat candu bernama kekhusyukan.

Benar-benar khusyuk. Sampai-sampai jika anaknya menangis terus-terusan, ia cukup merapalkan Suwuk Munthoh (ijazah dari Gus Yahya Cholil Staquf dari ayahnya, Kiai Cholil Bisri) di telinga si anak:

Bismillahirrahmanirrahim. Thole, Thole, jabang bayi kedaden sangking banyune peli, cup meneng, cup meneng, cup meneng. La ilaha illallah Muhammadurrasulullah.

Seketika anaknya diam. Dan dia melanjutkan meditasi.