Sebagai orang tua yang memiliki anak kecil, tentu salah satu kekhawatiran adalah kurang tersedianya media hiburan pendidikan ramah anak, terutama media animasi. Kebanyakan tayangan animasi pada tema-tema dewasa seperti percintaan, perkelahian, dan sebagainya yang tentu saja tidak pantas ditonton oleh anak-anak.
Jangankan mencari tayangan animasi made in dalam negeri, mencari buatan luar negeri pun masih harus dipilah-pilih dengan seksama. Banyak yang tampilan luarnya seolah ramah anak, padahal setelah ditonton secara seksama masih mengandung unsur-unsur dewasa tersebut. Namun, kekhawatiran saya sedikit menemukan harapan begitu melihat serial animasi Nussa-Rara.
Cerita dua bocah kakak beradik yang awalnya muncul di youtube lalu kemudian ditayangkan kembali di salah satu tivi swasta saat Ramadhan ini, cukup bisa menjadi pilihan media pembelajaran anak. Grafis animasi yang memukau dengan pesan moral yang padat dan sederhana, membuat saya kadang tidak percaya ini dibuat oleh studio dalam negeri.
Tentu ini menjadi kegembiraan bagi saya dan juga orang tua lainnya di Indonesia. Ada animasi buatan negeri sendiri yang keren, menghibur, dan sarat pesan edukasi serta agama untuk anak-anak kami.
Hanya saja, kegembiraan saya ini kemudian terusik oleh salah satu tulisan Supriyansah bertajuk Sisi Lain Nussa-Rara, Melihat Islam Kaku Diajarkan via Televis Kita. Tulisan itu dengan serampangan menilai animasi Nussa ini sebagai media pembelajaran islam yang kaku.
Setelah membaca dengan seksama artikel tersebut, saya agak geleng-geleng kepala. Argumen-argumen yang dipaparkan justru malah menunjukkan kekakuan Islam si penulis. Untuk itu, saya akan mengulas beberapa keanehan argumen penulis yang kontrakdiktif.
Di awal tulisan, penulis mempertanyakan kenapa malah Nussa yang dipilih sebagai tayangan saat sahur dan berbuka di antara tayangan-tayangan menarik lainnya? Pertanyaan ini tentu akan menghasilkan pertanyaan lainnya, memangnya tayangan seperti apa yang diinginkan penulis di dua waktu tersebut untuk anak? Acara talkshow joget-joget, sinetron yang penuh drama, atau diary kehidupan mewah artis seperti pada stasiun televisi lainnya?
Lalu penulis juga sempat menggugat misi peluncuran Nussa yang menyasar kehadiran pendidikan nilai pada anak-anak, sekaligus bisa menjadi ajang belajar bagi orang tua. Gugatan ini diiringi dengan opini penulis yang entah bersumber dari mana, berusaha menuduh Nussa ingin menggeser imaji anak-anak Indonesia soal nilai kehidupan.
Penulis juga menambahkan, tim kreatif Nussa dituduh ingin menggantikan beberapa cerita lokal yang telah eksis seperti kisah “Kancil” yang dianggap menyamakan cerdik dan licik atau cerita “Jaka Tarub dan 7 Bidadari” yang ada unsur sensualnya. Narasi penulis ini berbahaya.
Sepanjang saya menonton Nussa, tidak pernah secara eksplisit atau implisit animasi ini menyinggung cerita-cerita rakyat yang disebutkan di atas, apalagi berkeinginan untuk menggantinya. Perlu dipertanyakan dari mana kesimpulan tuduhan penulis tersebut?
Selain itu, hal utama yang janggal dalam tulisan ini adalah judgement sepihak penulis yang menyebut Nussa menghadirkan islam yang kaku dan mengabaikan keragaman hukum fikih dalam ajaran Islam. Untuk mendukung hal tersebut, penulis menjabarkan beberapa argumennya yang dangkal.
Pertama, Nussa dalam episode berjudul “Bukan mahram” diceritakan tidak bersalaman dengan orang asing yang datang ke rumahnya. Setelah dijelaskan, tamu tersebut adalah tantenya atau adik ibunya, baru Nussa mau bersalaman. Hal sama pun juga ada di episode berjudul “Toleransi” di mana Rara digambarkan enggan bersalaman juga dengan orang lain yang ia bantu di tengah jalan.
Tentu ini jelas menunjukkan kekakuan Islam bagi penulis. Memangnya kenapa jika Nussa dan Rara punya keyakinan fikih untuk tidak bersalaman dengan orang lain? Tentu dari cerita ini, anak bisa belajar bahwa memang dalam dunia keislaman ada yang punya keyakinan fikih seperti itu.
Saya walaupun bukan yang anti salaman dengan bukan mahram—karena keyakinan fikih saya—tidak lantas kemudian alergi dengan orang yang enggan bersalaman sesuai fikih yang mereka anut.
Lalu jika dicermati secara seksama, di episode “Toleransi”, orang lain yang ditolong tersebut juga secara cepat menyesuaikan dengan Rara yang menelungkupkan tangan sebagai pengganti salaman. Hal ini bisa jadi pembelajaran bagi anak bagaimana segera bersikap menyesuaikan jika ada yang berkeyakinan tidak salaman. Lagi pula masalah salam-menyalam ini saya pikir hanyalah salah satu masalah kecabangan fikih yang tidak perlu terlalu dipersoalkan, apalagi sampai didebatkan dalam ranah animasi.
Kedua, penulis mempermasalahkan tampilan Nussa Rara sebagai simbol formalistik. Jika yang dimaksud adalah baju gamis dan kopiah Nussa atau Jilbab Rara, tentu sekali lagi, ini menunjukkan ketidakluwesan penulis dalam memahami keanekaragaman pakaian muslim atau muslimah. Lagi pula, Nussa dan Rara, kenapa lantas penulis resah?
Perlu dipahami setiap karakter kartun tentu punya ciri khas bajunya tersendiri. Jika ini dipermasalahkan, harusnya penulis juga menanyakan Ninja Hatori yang berpakaian kerudung lengkap di tengah kota atau Donald Bebek yang tidak pernah pakai celana.
Selain itu, penulis juga membandingkan Nussa dengan serial Upin-Ipin. Ini tentu lucu, membandingkan dua animasi berbeda genre. Ibarat membandingkan apel dan kedondong, tidak nyambung dong!. Nussa bergenre Pendidikan sedangkan Upin-Ipin komedi. Tentu cerita yang dibangun keduanya berbeda.
Jika pun penulis tetap ngotot mengagung-agungkan serial dua tuyul kembar tersebut karena menghargai perbedaan multi etnis dan agama, Nussa pun demikian. Dalam episode “Toleransi” Nussa dan Rara membantu seorang Non-Islam di tengah jalan, serta mendonasikan barang-barang kesayangannya untuk Ci Mey Mey sekeluarga yang sedang kena Musibah.
Lalu, di episode “Kak Nussa!!”, Nussa dan Rara juga diajarkan oleh Ummanya sopan santun ke berbagai tetangga mereka yang multi etnis. Namun, Supriansyahh, bahkan selain memuji serial negeri jiran tersebut, penulis itu malah kembali menuduh tim kreatif Nussa hanya mengikuti selera keIslaman kelas menengah Indonesia untuk mendulang untung bisnis.
Lho, ini menjadi pertanyaan saya yang paling besar, memangnya tidak boleh anak bangsa berbisnis di negeri sendirinya? Jangan sampai kita lebih suka orang lain yang cuan di tanah air kita dari pada saudara sebangsanya sendiri. Maka bisa jadi bukan Nussa yang mendangkalkan pemahaman kebangsaan kita, tapi malah justru penulis sendiri yang sedang mereduksi produk terbaik negeri ini.
Akhir kata, untuk Nussa terima kasih sudah menemani pembelajaran anak saya dan semoga bisa terus berlanjut hingga seterusnya.