Ketika Presiden Jokowi mengajukan nama Komjen Tito Karnavian sebagai calon tunggal Kapolri mendatang, saya merasa lega. Ia seorang perwira polisi dengan karir cemerlang, pengalaman segudang dan deretan prestasi yang membuat orang tercengang. Matang di detasemen khusus antiteror dan doktor dengan kajian khusus terorisme dan radikalisasi Islam, diharapkan bisa mewujudkan Indonesia sebagai negara demokrasi dengan hukum yang tegak.
Saya yakin, penunjukan itu bukan tanpa alasan. Sebagai jenderal muda, justru Tito akan punya waktu panjang menjadi pengendali kepolisian. Jika diasumsikan menjabat Kapolri hingga pensiun, ia punya waktu enam tahun untuk melakukan pembenahan institusi dan personil. Asal tahu saja, banyak perwira-perwira muda di kepolisian yang prihatin dengan nama buruk korps akibat ulah segeintir oknum.
Saya pernah punya kenalan polisi (mungkin sekarang sudah brigjen), yang semasa kuliah di PTIK, konon membuat skripsi tentang praktik sogok-menyogok untuk kenaikan pangkat dan memperoleh jabatan. Data-data semacam itu, saya kira sangat banyak di lembaga pendidikan kepolisian, namun tersimpan di almari sebagai arsip karya tulis. Hanya orang-orang dengan profesionalisme seperti Tito-lah yang mau membacanya, meski ia pun tahu itu bukan rahasia lagi di kalangan mereka.
Ketika Presiden Jokowi mengemukakan alasan penunjukan Tito untuk melakukan pembenahan profesionalisme Polri dan kembali memberikan rasa aman dan mewujudkan ketertiban masyarakat, maka klop sudah. Pak Jokowi yang saya kenal adalah orang yang berpikiran jauh ke depan, meski sekarang banyak dikritik karena dianggap lamban dan seolah tutup mata terhadap perilaku orang-orang dari beragam organisasi kemasyarakatan Islam yang setiap saat menebar kebencian, melakukan intimidasi terhadap kelompok minoritas dan sebagainya.
Saya yakin, sebagaimana Tito Karnavian, Pak Jokowi juga sering mendengar ucapan orang-orang yang mengintimidasi penyelenggaraan diskusi, pemutaran film dan sebagainya, dengan kalimat” “Kalau Anda tak mau dibina, ya kami binasakan.” Atas nama (kelompok) agama, mereka melakukan aksi-aksi polisional dan represi layaknya militer, sementara aparat (polisi dan tentara) lebih banyak bersedekap atau malah ikut-ikutan mendesak pihak terintimidasi untuk mengalah.
Seorang Tito pasti tahu, petinggi-petinggi ormas bernama Front Pembela Islam (FPI) di level pusat hingga daerah ‘bersahabat’ dengan ‘pihak’ mana saja dan seringkali diperalat atau berkolaborasi dengan siapa saja untuk kepentingan apa. Tanpa figur tegas dan cerdas seperti Tito Karnavian, saya yakin akan sulit menegakkan hukum di Indonesia.
Adalah peristiwa sangat memalukan ketika acara buka bersama yang melibatkan kerjasama antarumat beragama yang dilakukan istri mantan presiden, diintimidasi oleh sekelompok orang beratribut ormas Islam, namun polisi sebagai penanggung jawab keamanan dan ketertiban masyarakat hanya diam saja. Tak heran jika seorang seniman asal Ngawi, Bramantyo Prijosusilo sampai membuat petisi, menuntut Kapolda Jateng dan Kapolri menyatakan tidak mampu menjamin keamanan Ibu Sinta Nuriyah.
Saya yakin, Pak Jokowi dan Pak Tito malu, sebagaimana para anggota Polri yang belum terkontaminasi aneka kepentingan atasan. Mereka pun pasti malu, karena keberadaannya yang dijamin konstitusi dan punya perangkat untuk menekan kelompok-kelompok ekstremis pengganggu ketertiban, namun dipaksa mengalah, mundur demi entah.
Sebagai orang yang dikenali sebagai pendukung Presiden Jokowi, sering saya mendapat sindiran dan pertanyaan mengenai sikap Pak Jokowi. Tentu saja, saya kesulitan menjawab, apalagi memuaskan mereka. Kalau saya bilang Pak Jokowi sedang merancang strategi untuk mengatasi masalah ini, saya yakin hanya akan ditertawai oleh mereka, sebab yang dituntutnya adalah bukti.
Semoga, dengan penunjukan Komjen Tito Karnavian sebagai Kapolri berlangsung lancar, meski saya tidak yakin bakal mulus-mulus saja. Banyak politikus di DPR yang mencari banyak alasan demi menolak Tito Karnavian. Ada yang berdalih terlalu muda dan melompati beberapa angkatan, dan sebagainya. Tapi satu hal yang saya yakini, mereka pun sudah terkontaminasi, sehingga Tito akan dianggap sebagai ancaman atas kepentingan mereka.
Saya berharap, Komjen Tito Karnavian kelak membawa perubahan dalam perbaikan tatanan hukum dan mengembalikan marwah kepolisian ke tempat yang seharusnya, sebagai penegak hukum dan penjaga ketertiban masyarakat sipil. Pemisahan Polri dari ABRI oleh Presiden Abdurrahman Wahid adalah semata-mata untuk itu, agar polisi tidak berwatak militeristik sebagaimana terlihat pada masa Orde Baru.
Saya yakin, di bawah Tito Karnavian, pejabat-pejabat Polri di daerah tidak leluasa lagi memberi ruang kepada kelompok-kelompok intoleran seperti FPI dan laskar-laskar sejenis, dalam melakukan intimidasi kepada kelompok lain. Jika itu terjadi, saya yakin Indonesia lekas maju, dan masyarakatnya hidup tentram di tengah beragam perbedaan latar belakang.[]