Bulan Desember merupakan bulannya Gus Dur. Meskipun beliau telah tiada, namun pemikiran dan gagasannya senantiasa menghiasi demokrasi bangsa ini. Menjadi warisan yang amat berharga dalam perkembangan kebangsaan, toleransi, demokrasi, dan pluralisme. Tak diragukan lagi sikap kenegarawanan sekaligus keagamawanannya. Menjadi pelopor terbukanya khazanah Islam bumi nusantara di mata masyarakat internasional.
Meskipun pemikiran dan prilakunya sering dianggap kontroversial. Belakangan ini justru terbukti dan dikenang oleh sejarah. Seperti kebijakannya membubarkan Departemen Sosial dan Departemen Penerangan, mengubah keangkeran istana negara dengan menerima tamu umum, menjalin relasi ke Israel, sering bepergian keluar negeri saat menjabat sebagai presiden, membela etnis Tionghoa dan Ahmadiyah serta kaum tertindas lainnya. Gus Dur melakukan itu semua demi keutuhan NKRI. Pemikirannya yang melampui zaman, sehingga orang awam sulit untuk mencernanya. Politik kebangsaanya tak perlu diragukan lagi. Ibarat lokomotive ia kepalanya, dibelakangnya gerbong berisi generasi selanjutnya dan anak-ank muda yang siap meneruskan pemikiran dan gagasan Gus Dur.
Agama, Negara, Toleranai dan Pribumisasi Islam
Pemikiran dan gagasannya merupakan harta yang tak ternilai bagi bangsa ini. Contoh kecil dalam beragama Gus dur mengajarkan untuk tak egois. Menurutnya semua agama benar menurut pemeluknya. Klaim sepihak terhadap pembenaran agama justru akan menyebabkan perselisihan dan perpecahan. Tidak heran bila saat ini terjadi konflik dan pristiwa saling serang di Timur Tengah.
Dalam relasi antara agama dan negara, Gus Dur menawarkan konsep tentang Islam secara kultural. Walaupun sebenarnya konsep ini sudah ada di kalangan pesantren. Keberadaan Gus Dur menjembantani dan memopulerkan kembali. Islam di sini berada di tengah antara sekuleristik dan fundamelistik. Tidak perlu disyariahkan resmi menjadi hukum positif negara. Selama tiap-tiap umat Islam dapat melakukan ritual keagamaannya secara kaffah, maka penerapan syariah Islam sebagai dasar negara tidak perlu.
Gus Dur dan toleransi nampaknya dua kata yang amat sulit dipisahkan. Ia berkawan dan bersahabat dengan lintas manusia. Baik agama, suku, ras dan etnis. Tak memandang siapa yang lebih unggul daripada yang lain berdasarkan agama, suku dan etnisnya. Melihat realitas yang begitu beragam dan plural, gus dur adalah orang yang nomor satu menggelorakan pluralisme. Mencari titik persamaan dari pangkal perbedaan. Justru karena semakin tinggi ilmu seseorang maka toleransinya harus makin tinggi
Saat menjabat sebagai presiden, Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14/1967 produk rezim Orde Baru yang mendiskriminasikan orang-orang Tionghoa di Indonesia. Lalu, beliau menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 19/2001 tertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur. Baru pada era kepemimpinan Presiden Megawati, mulai tahun 2003 Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional (Munawir Aziz)
Ini menjadi cerminan sosok Gus Dur yang selalu membela minoritas. Memiliki visi dan misi yang kuat terhadap lintas kemanusiaan. Tak takut dicaci maki karena kekontroversialannya dalam mengambil kebijakan dan berpikir.
Sementara itu, pribumisasi Islam yang digagas Gus Dur sangat sesuai pada konteks Indonesia. Menurut Gus Dur, metodologi pribumisasi islam yang ditawarkan sesungguhnya sederhana, yakni dengan menggunakan ushul fiqh dan qaidah fiqhiyah seperti al-adah muhakkamah (adat istiadat bisa menjadi hukum) dan al-muhafazatu bi qadimis ash-shalih wal-ahdzu bil jadid al-ashlah (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).
Pribumisasi islam tidak bertentangan dengan budaya bangsa. Ia hanya berakomodasi dan berakulturasi dengan budaya dan kearifan lokal. Kedatangannya tidak merombak total adat istiadat. Islam agama ramah dan rahmatan lil alamin.
Lewat kata mutiaranya beliau yang populer: Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya arab. Bukan untuk aku jadi ana, sampeyan jadi antum, sedulur jadi akhi. Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, tapi bukan budaya arabnya. Gus Dur mencoba memahamkan bagaimana konsep pribumisasi Islam. Pribumisasi Islam tidak bertentangan dengan pancasila. Berbeda dengan purifikasi islam. Pribumisasi Islam setara dengan demokrasi, HAM dan persamaan hak dimata hukum.
Sudah sepantasnya bagi generasi selanjutnya khususnya pemuda merawat dan mengembangkan pemikiran-pemikiran Gus Dur. Menziarahi kembali pemikiran, gagasan dan keluasan ilmu Gus Dur untuk diintegrasikan dalam konteks kekinian. Mengkaji, menelaah dan merekonstruksi kembali pemikirannya. Karena banyak sekali teks-teks Gus Dur yang waktu itu tak terpahami, baru setelah beberapa tahun belakangan ini justru banyak dikaji diman-nana hingga ke ranah internasional. Gus Dur tidak hanya milik golongan, agama dan etnis tertentu saja, melainkan bapak dari semuanya. Sudah saatnya memanen apa yang telah Gus Dur semai waktu itu. Bangkitlah pemuda!