Satu hari, Al-Utbah pergi ke sebuah pasar di kota Basrah. Di sana ia melihat ada seorang perempuan yang cantik menawan. Parasnya indah sekali. Perempuan itu sedang bercengkrama bersama seorang lelaki tua yang kasar kepadanya.
Setiap lelaki tua itu berkata, perempuan itu selalu tersenyum. Tak menampakkan rasa sedih sama sekali. Penasaran dengan apa yang dilihat, ‘Utbah mencoba bertanya langsung kepada si perempuan.
“Lelaki tua ini memiliki hubungan apa dengan denganmu?” tanya al-Utbah.
“Dia suamiku,” jawab perempuan tersebut.
Al-Utbah tak percaya dengan jawaban itu. Ia berkata, “Bagaimana mungkin ini. Kamu bisa bersabar hidup bersamanya. Dia sangat jelek dan kasar. Sementara kamu adalah wanita yang sangat cantik dan indah? Sungguh aneh bin ajaib.”
Perempuan itu menjelaskan kepada al-Utbah. Suaminya bisa jadi bersyukur mendapatkan istri macam dia. Namun di sisi yang lain, dia juga bisa bersabar karena mendapatkan pasangan seperti suaminya terserbut.
Perempuan itu lantas berargumen bahwa orang yang sanggup bersyukur dan bersabar adalah termasuk penghuni surga. Ia juga mengatakan, “Tidaklah aku meridlai terhadap apa yang telah Allah SWT tetapkan bagiku?”
Penjelasan perempuan itu membuat al-Utbah diam seribu bahasa. Ia pun lantas pergi meninggalkan perempuan itu.
Kisah ini termaktub dalam kitab al-Nawadir. Dengan jelas, kisah ini menyebutkan bahwa syukur dan sabar adalah sifat calon penduduk surga. Kedua sifat itu, disebutkan Al-Qur’an secara bersamaan pada empat ayat. salah satunya adalah ayat berikut ini:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مُوسَى بِآيَاتِنَا أَنْ أَخْرِجْ قَوْمَكَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَذَكِّرْهُمْ بِأَيَّامِ اللَّهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus Musa dengan membawa tanda-tanda (kekuasaan) Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya), “Keluarkanlah kaummu dari kegelapan kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah. “Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur” (QS. Ibrahim [14]: 5)
Kedua kata itu, merupakan shighat mubalaghah, yakni isim fa’il (subyek) yang memiliki makna lebih. M. Quraish Shihab ketika menafsirkan ayat ini menjelaskan bahwa shabbar memiliki arti orang yang sangat banyak bersabar. Sedangkan syakur adalah orang yang banyak syukurnya.
Satu dari sekian penjelasan yang dikutip dan dipaparkan M. Quraish Shihab tentang sabar adalah pembagian sabar versi para kaum sufi. Mereka membagi sabar itu menjadi tiga. Pertama, mutashabir (sabar fillah, sabar dan diiringi sedih), shabir (sabar fillah dan lillah, yakni tidak sedih namun bisa jadi berkeluh kesah), dan shabbar (sabar fillah, lillah, billah. Mereka yang disabarkan oleh Allah). Istilah sabar yang terakhir inilah yang digunakan Allah dalam ayat ini. Makna shabbar adalah keadaan yang ketika mendapat musibah, maka seseorang tidak bersedih dan tidak mengeluh sama sekali.
Sedangkan untuk bersyukur, bisa dilakukan dengan dua hal. Yakni mengucapkan puji syukur dengan ketulusan hati dan mempergunakan nikmat itu untuk hal-hal yang diridlai Allah SWT. Begitu kurang lebih penjelasan dalam Al-Qur’an dan Tafsirnya terbitan Departemen Agama RI.
Walhasil, sabar dan syukur adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Mereka yang memiliki keduanya adalah orang yang istimewa, calon penghuni surga, sebagaimana disebutkan perempuan berparas cantik dalam kisah di atas. Semoga kita bisa menjadi orang yang tidak saja bersabar, namun banyak sabarnya. Tidak saja syukur namun juga banyak bersyukur. Amin.
Sumber:
al-Qalyubi, Ahmad Shihabuddin bin Salamah. al-Nawadir. Jeddah: al-Haramain, t.th.
Al-Zuhaili, Wahbah bin Musthafa. Tafsir al-Munir. Damaskus: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418.
RI, Departemen Agama. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen Agama RI, 2008.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Tangerang: Lentera Hati, 2009.