Ketika Presiden RI menandatangani keputusan untuk mengeksekusi mati pelaku pengeboman atau tindakan makar dan terorisme (sebut saja Fulan), maka hal tersebut adalah ikhtiar presiden atas nama negara untuk memutuskan perkara demi penegakan kebenaran dan keadilan. Si Fulan ditangkap dan diadili, lalu keputusan hukuman mati disahkan dan ditandatangani oleh presiden.
Mungkin saja si Fulan menyadari perbuatannya sebagai “kesalahan” sebelum menjalani hukuman mati. Tetapi mungkin juga tetap meyakini perbuatannya sebagai kebenaran, bahkan pada detik-detik terakhir pelaksanaan eksekusi. Tentu saja kebeneran yang sejati hanya ada dalam pengetahuan Tuhan. Hanya saja, jika niat-niat baik presiden terhadap keputusan demi menegakkan prinsip kebenaran dan keadilan, maka keputusan itu wajib baginya untuk bersikukuh pada keyakinannya.
Membatalkan keputusan itu karena rasa kasihan, atau bersikukuh pada keputusan itu karena rasa dengki dan dendam, keduanya adalah jalan menyimpang yang tidak dibenarkan dan tidak diridhoi Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dalam Al-Quran surah al-Hujurat ditegaskan prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara, laiknya kamar-kamar dalam satu rumah-tangga, yang tiap-tiap penghuni saling menjaga privasinya masing-masing. Semua manusia sama di mata Tuhan. Manusia yang paling unggul dan berkualitas ditakar dari derajat ketakwaannya, apapun suku dan bangsanya, bahkan apapun agamanya. Sebaliknya, manusia yang paling rendah derajatnya diukur dari rendahnya kualitas ketakwaannya, siapapun dia, apapun profesinya, bahkan dari mana pun dia berasal.
Sikap seorang yang bertakwa, ditekankan prinsip-prinsip kebaikan (ihsan), yang nampaknya berbeda – walaupun tak berseberangan – dengan prinsip kesalehan yang ditekankan masing-masing ajaran agama. Selagi manusia sebagai warga negara bersikap dan berperilaku baik, maka negara akan mendukung dan melindunginya, terlepas apapun agamanya, bahkan apapun ideologi yang diyakininya. Masing-masing agama punya aturan bahkan privasinya tersendiri. Selama penganut agama tidak melanggar prinsip-prinsip bernegara, dan menjaga tatanan hidup berbangsa, maka ia akan dilindungi oleh konstitusi negara.
Agama lebih menekankan kualitas kesalehan, sementara negara menegakkan prinsip-prinsip kebaikan dan keadilan. Menghormati dan menghargai ulama dan umara (pemimpin) diperintahkan oleh agama. Kecuali jika keduanya terbukti melakukan kesewenangan dan pelanggaran hukum, kita boleh menentang dan melawannya, meskipun dengan cara-cara yang baik dan proporsional.
Prinsip seorang penganut agama dengan hak-hak kewarganegaraan adalah dua hal yang berbeda. Jika kita konsisten menerapkan prinsip berbangsa secara nasionalis-religius, maka ketaatan pada perintah Tuhan harus mengatasi ketaatan kepada para nabi, ulama hingga pemimpin negara. Kita wajib meneladani pemimpin negara manakala sang pemimpin konsisten menjalankan aturan negara dan agama yang dianutnya. Untuk itu, prinsip ketakwaan dan berketuhanan Yang Maha Esa lebih diutamakan dalam dasar negara, garis besar haluan negara (GBHN) hingga ke dasa darma Pramuka di Indonesia.
Ukuran kesalehan seorang pemimpin merupakan privasi antara dirinya dengan Tuhannya. Karena bagaimanapun seorang negarawan berbeda dengan seorang ulama yang ahli ibadah (zuhud). Negarawan biasanya punya kapasitas sebagai “ahli ilmu” yang lebih banyak menguasai ketatanegaraan, sejarah kebangsaan, politik, ekonomi hingga budaya dan peradaban bangsa yang dipimpinnya, disertai dukungan para ulama yang kompeten di belakangnya.
Seorang penceramah dan pengkhotbah yang saleh, menguasai sejarah budaya dan peradaban Islam maupun Kristen, belum tentu memiliki kapasitas sebagai negarawan yang baik. Bolehlah dia menjadi pemimpin bagi jamaahnya, yang kadang mengkafirkan atau menyesatkan jamaah lainnya. Tetapi, tentu saja dia sama sekali tak punya kapasitas sebagai pemimpin negara yang harus melindungi semua jamaah dan semua agama dan ideologi. Bahkan, jika seseorang menjadi warga negara yang baik, apapun kepercayaannya (bahkan kafir sekalipun), selama ia tidak melanggar tatanan bermasyarakat, maka wajib bagi negara untuk melindunginya. Orang-orang semacam ini di zaman kenabian Muhammad disebut “dzimmi” yang berhak mendapat jaminan perlindungan oleh negara. “Barangsiapa menyakiti orang-orang dzimmi berarti dia telah menyakti saya,” demikian tegas Rasulullah.
Sebaliknya, se-taat apapun anda pada agama dan kepercayaan, jika anda tidak menjadi warga negara yang baik, serta melanggar tatanan berbangsa dan bermasyarakat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sanksi hukumnya. Namun, sekali lagi, penerapan hukuman itu tidak boleh berlandaskan sentimen amarah atau dendam kesumat, melainkan karena prinsip-prinsip kebenaran yang harus ditegakkan dengan seadil-adilnya. Perkara Anda akan masuk surga atau neraka, itu bukan urusan presiden sebagai manusia dan pemangku hukum bernegara. Sang kepala negara hanya menjalankan kewajiban dan aturan konstitusi yang telah disepakati bersama.
Beberapa dekade lalu, para penganut ajaran sekte Kristiani (Branch Davidian) yang dipimpin David Koresh merasa dirinya tak bersalah. Mereka menganggap dirinya telah mengamalkan ajaran Yesus perihal kekacauan akhir zaman, hingga menimbun persenjataan tanpa seizin pemerintah AS. Ketika terbongkar dari beberapa pengikut jemaat yang menyaksikan langsung adanya pelanggaran HAM dalam pelaksanaan ritual, maka hasil penyelidikan kepolisian Texas, juga menemukan adanya kebenaran atas pelanggaran tersebut. Di tengah penyerbuan aparat kepolisian, 91 jemaat melakukan pembakaran secara massal, berikut anak-anak, kaum wanita dan kaum lansia. Padahal, ketiga kategori warga negara tersebut, mestinya mendapat priorotas utama yang memperoleh jaminan perlindungan dan keamanan oleh pihak negara.
Untuk itu, hukum negara, khususnya di Indonesia, menghendaki agar anda menjadi jamaah yang baik, apapun aliran agamanya, dan siapapun pemimpinnya. Mungkin saja seorang pemimpin jamaah menampik keterlibatannya, ketika seorang jamaah melakukan aksi anarki dan keonaran yang merugikan pihak lain. Tetapi, materi-materi ceramah yang bersifat “memprovokasi” dan mendesain pola pikir jamaah hingga melakukan tindakan keonaran yang merugikan dan mengorbankan pihak lain, harus menjadi tanggung jawab aparat negara untuk memberi perhatian khusus, serta membela pihak yang terkorbankan. Meskipun tetap harus berpijak pada koridor bahwa, “Kebencian kita kepada suatu kaum, tidak boleh membuat kita berlaku tidak adil kepada kaum tersebut.” (al-Maidah: 8).
Di tengah masyarakat yang masih konservatif dalam pandangan beragama, Bung Karno pernah memberi amanat di hadapan kaum muda Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Istana Negara Bogor pada 18 Desember 1965. Beliau menekankan agar generasi muda hendaknya menjadi penganut agama yang baik, terlepas apakah beragama Islam, Kristen, Hindu, Budha maupun Kong Hu Cu. Bagi yang beragama Islam ditekankan agar menjadi muslim yang baik, demikian pula bagi yang beragama Kristen agar menjadi penganut Kristen yang baik, dan seterusnya. Pernyataan itu lumrah bagi seorang negarawan, meskipun seorang penceramah maupun pengkhotbah akan cenderung berdalih: “Pokoknya kalian harus menjadi penganut agama kami, dan jangan menjadi penganut agama lainnya. Sebab, dengan demikian Anda adalah kafir dan melangkah di jalan kesesatan.”
Negarawan sekelas Bung Karno akan konsisten dan istiqomah menjalankan fungsi dan tugas manusia selaku “khalifah”. Karena dari kodratnya memang diciptakan berbeda-beda, dalam komunitas dan keanekaragaman hayati, baik fauna maupun flora yang harus dilestarikan dan dilindungi olah peran sang khalifah. Manusia boleh memanfaatkannya untuk kehidupan dan kemaslahatan tetapi tidak boleh mengeksploitasinya secara berlebihan. Manusia juga diciptakan beragam suku-bangsa dan warna kulit yang berbeda. Dicukupkan bagi mereka rizki dan kebutuhan hidupnya secara adil dan merata, dalam takaran yang sama, meski kuantitasnya berbeda-beda.
Alih-alih sosok manusia sebagai hamba yang terpilih, binatang melata di kedalaman bumi juga sudah ditakar dan dicukupkan rizkinya oleh Sang Pencipta. Bahkan, sehelai daun kering yang jatuh di kegelapan malam, tak lepas dari pengamatan dan pengaturan-Nya.
Memang sengaja ada yang dilebihkan secara materi, tetapi itu hanya nilai kuantitas rizki yang tampak secara kasatmata. Tak boleh manusia saling iri, dengki, hingga menghasut untuk mengambil hak sesamanya. Karena hanya Tuhan Yang Berwenang melebihkan dan mengurangi hak milik bagi hamba-hamba yang diciptakan-Nya.
Untuk itu, agama diturunkan melalui para utusan (rasul) demi menyelenggarakan kebaikan dan perbaikan. Diniscayakan nafsu hewani bersemayam dalam diri manusia, hingga cenderung memiliki hasrat berlebihan (obsesif), tetapi juga diperingatkan agar waspada dengan durasi waktu yang terbatas, rasa sakit, lemah hingga ajal kematian yang setiap saat bisa menjemput tanpa pilih kasih.
Mungkin Anda bisa menumpuk-numpuk harta, merencanakan masa tua yang indah bersama keluarga sambil hidup laiknya di taman-taman surgawi. Akan tetapi, dengan begitu anda telah mati sebelum waktunya. Berhenti bercita-cita, juga berhenti untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
Setiap agama yang baik akan menekankan konsep sabar dan syukur untuk mengatasi segala problematika hidup. Baik dalam kemakmuran maupun kekurangan, dalam kelapangan maupun kesempitan, kaya-miskin, sehat-sakit, suka maupun duka. Kita belum tergolong beriman dengan baik, manakala belum sanggup menghadapi kesempitan dengan kesabaran, serta kelapangan dengan rasa syukur. Kita belum tergolong bangsa dan manusia beragama yang baik, jika belum mampu memaknai sabar dan syukur secara mendalam. Untuk itu, kualitas manusia bertakwa tak bisa menjadi monopoli bangsa dan agama tertentu, meski dalam Islam sudah diberikan garis besar ajarannya secara paripurna.
Di dalam Islam ada perintah, “Laksanakanlah sholat, karena ia dapat mencegah manusia dari perbuatan keji dan munkar”. Jadi, nilai-nilai kebaikan manusia adalah tujuan yang harus dicapai dari melaksanakan sholat dan ibadah lainnya. Di dalam sholat ada nilai kepasrahan dan ketundukan pada Tuhan, sehingga manusia bersikap rendah hati pada sesamanya. Ketika seorang beriman bersujud dan berbisik di permukaan bumi, maka penghuni langit akan menjawab dan memujinya.
Lalu, muncullah ungkapan bersayap yang didakwahkan Abdullah Gymnastiar, perihal seorang anak yang memprotes ibunya: “Bu, teman saya di kelas, orangnya baik sekali, padahal dia tidak solat. Untuk apa saya melakukan solat kalau nantinya jadi pemarah dan uring-uringan seperti ibu?”
Orang tua semestinya tidak perlu menuduh anak sebagai “nakal” atau “durhaka”, juga tak usah terserang panik seperti memasuki Museum Lubang Buaya. Tetapi, lumrah saja bagi orang tua yang bijak, jika mau mengadakan muhasabah dan introspeksi diri secara terus-menerus. Karena boleh jadi, selama ini orang tua Indonesia lebih sibuk memerintah secara otoriter ketimbang aktif mendoakan anak-didik mereka. Kepada para pemimpin pun, seorang warga negara mestinya lebih beradab jika aktif mendoakan pemimpinnya. Ketimbang hanya menuntut dan memprotes kekurangan, bahkan sibuk mencari-cari titik kelemahan dan kekurangannya.
“Beruntunglah orang yang sibuk mengoreksi dirinya ketimbang sibuk mengorek-ngorek kesalahan orang lain,” demikian sabda Rasulullah. Untuk itu, jika mencari-cari kekurangan manusia (pemimpin), bahkan pada diri Nabi pun ada saja titik kelemahannya. Tetapi, untuk apa membesar-besarkan sisi kekurangan manusia, yang memang diciptakan sarat dengan kelemahan dan kekhilafan?
Anda yang kerjaannya getol mengkritik dan mengutak-atik kesalahan orang lain (pemimpin), lalu siapakah diri Anda itu? Manusia yang suci dari noda dan dosakah? Jika Tuhan hendak membuka aib dan kesalahan anda, demi Allah, anda akan terpuruk dalam kehinaan dan kenistaan. Dan jika Allah menghendaki anda terhina dan ternista sebagai manusia, demi Allah, tak ada kekuatan apapun yang dapat mengangkat derajat dan kemuliaan anda, biarpun anda mengerahkan teknologi ribuan jin dan manusia sekalipun.
Sebagai penutup tulisan ini, saya akan mengakhirinya dengan kisah seorang warga negara yang diputuskan bersalah dan harus mendekam selama dua tahun di dalam penjara. Selama di penjara ia banyak berpikir secara mendalam, merenung dan bercermin diri. Dalam waktu-waktu itu, ia menyempatkan diri menulis buku sambil mengikuti rutinitas dan kegiatan yang diberlakukan di dalam penjara dengan sebaik-baiknya.
Selepas dari penjara, ia telah menyelesaikan buku besar yang ditulisnya, kemudian mengajukannya kepada penerbit. Selanjutnya, karya-karyanya dibaca oleh ribuan dan jutaan rakyat Indonesia. Di masa tuanya ia dikenal sebagai ulama besar kelahiran Minangkabau. Orang itu adalah Abdul Malik Karim Amrullah, yang kelak dikenal sebagai Buya Hamka. Salah satu karya besarnya yang ditulis di penjara adalah “Tafsir Al-Azhar” suatu mahakarya dalam 30 jilid, yang membuatnya dinobatkan gelar profesor dari Universitas Prof. Dr. Moestopo, Jakarta.
Hamka semakin tumbuh dewasa dan semakin matang pemikirannya, hingga memahami apa-apa yang pernah diputuskan oleh Soekarno sebagai pemimpin negaranya. Di tahun 1970, Presiden Soekarno wafat, dan Buya Hamka bergegas menuju Wisma Yaso untuk menjalankan wasiat presiden dan bapak bangsa yang dicintainya untuk menyolatkan jenazahnya. [NH]