Negara Bangsa, Bukan Negara Agama

Negara Bangsa, Bukan Negara Agama

Negara Bangsa, Bukan Negara Agama

Apakah Saudi Arabia itu negara Islam? Konon Quran adalah dasar hukumnya. Tapi cobalah kita yang muslim ke sana, minta status kewarganegaraan. Bisa? Tidak. Tidak otomatis karena kita muslim saja.

Teman saya orang Tunisia yang tinggal di Madinah bercerita dengan agak frustrasi soal Saudi. “Aku dari ras Arab, bahasa ibuku bahasa Arab, agamaku Islam. Tapi aku tetap bukan WN Saudi, dan diperlakukan sangat berbeda dengan warga Saudi,” keluhnya. Sebelumnya kami bersama-sama tinggal di Jepang. “Di Jepang, orang mungkin merasa aneh melihat tampang saya. Agama saya aneh. Bahasa saya aneh. Tapi kita semua diperlakukan sama seperti warga Jepang,” keluhnya. “Bukankah kita ini bersaudara dengan sesama muslim?”

Sebenarnya setiap negara modern adalah negara bangsa, bukan negara agama. Meski mengklaim diri berdasar suatu agama, perilakunya sebagai negara adalah negara bangsa.

Amerika meskipun mayoritas penduduknya beragama Kristen, juga adalah negara bangsa. Warga negaranya adalah orang-orang dari berbagai agama, termasuk Islam. Juga orang-orang yang tidak beragama.

Bahkan Israel pun bukan negara agama, meski dikenal sebagai negara Yahudi, faktanya ada sekitar 16% warga negara Israel adalah orang Islam.

Konsekwensinya, interaksi yang terjadi antar negara adalah interaksi politik, interaksi bangsa. Tak heran bila kita lihat Saudi Arabia begiti mesra dengan Amerika. Dalam hal ini Saudi bukan Islam, dan Amerika bukan Kristen. Dengan cara itu pula kita harus memahami perang Iran -Irak. Ini perang dua bangsa, bukan perang Islam-Islam. Juga bukan perang Sunni-Syiah, karena orang Irak juga banyak yang Syiah. Indonesia pun dulu pernah berperang dengan Malaysia, dan itu bukan perang Islam-Islam.

Amerika dan negara-negara Eropa sekutunya banyak yang ikut campur dalam urusan negara lain, termasuk di negara-negara berpenduduk muslim. Rusia pun begitu. Orang-orang Islam banyak yang memandangnya sebagai tindakan orang Kristen. Ini dikaitkan dengan ayat Quran yang menyatakan bahwa orang Nasrani tidak akan pernah rela terhadap orang Islam.

Pandangan itu keliru belaka. Faktanya Amerika juga ikut campur di berbagai negara berpenduduk Kristen seperti Benezuela, Panama, dan sebagainya. Ringkasnya, tindak tanduk mereka adalah tindak tanduk demi kepentingan nasional, tidak lagi dalam konteks negara.

Orang-orang Islam masih terpaku untuk memandang masala-masalah sosial politik dalam kerangka abad VII. Di masa itu konflik dipandang dalam kacamata agama, Islam dan kafir. Kelak ketika imperium Umayyah dan Abbasiyah melakukan berbagai tindakan, juga dilabeli sebagai tindakan Islam. Orang membutakan diri terhadap fakta sejarah bahwa Abbasiyah didirikan di atas bangkai Umayyah yang dihancurkannya. Bagaimana akal kita bisa menerima adanya Islam menghancurkan Islam?

Jadi, kalau ada tindakan suatu negara seperti Amerika terhadap suatu negara berpenduduk muslim, itu adalah tindakan bangsa Amerika. Tindakan itu tidak ada kaitannya dengan orang Kristen di mana pun, termasuk Indonesia.

Ini perlu diluruskan, karena masih banyak yang berpikir begitu. Tidak nyambung. Pada kasus terbitnya kartun nabi yang dibuat oleh orang Denmark (yang tidak jelas juga apa agamanya) telah terjadi penyerangan terhadap gereja, sampai ada yang terbunuh. Yang diserang itu bukan orang Denmark.

Lebih parah lagi, kalau ada kemarahan terhadap Amerika, gerai-gerai McDonald dan KFC menjadi sasaran. Padahal sebagian dari gerai itu milik orang Islam yang berbisnis secara waralaba. Sementara itu para penyerangnya tetap asyik main Facebook, serta memakai Google dan Android.

Ini semua adalah ketimpangan berpikir yang harus diluruskan.