Menjadi Manusia Ruhani: Refleksi Satu Dekade Haul Gus Dur

Menjadi Manusia Ruhani: Refleksi Satu Dekade Haul Gus Dur

Menjadi Manusia Ruhani: Refleksi Satu Dekade Haul Gus Dur

Ini adalah kali kedua diminta among tamu pada haul Almarhum Gus Dur di Ciganjur bersama banyak teman lainnya. Seperti tahun sebelumnya, peringatan haul Gus Dur di Ciganjur punya warna lain. Bertaburan guru bangsa. Kita bisa mengaji kehidupan dari beragam Guru Besar Kehidupan.

Manusia Ruhani

Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia punya aspek fisik sekaligus batin. Ada tubuh, ada pula ruh. Untuk hidup di alam fisik, manusia perlu tubuh. Jangan abaikan syarat tubuh bisa jd tempat bersemayamnya ruh: sehat dan selamat.

Namun sepenting-pentingnya tubuh, dia hanya tempat ruh. Manusia mati, tubuh hilang memyatu dengan tanah yang menjadi asalnya. Ruh terus hidup untuk masuk ke alam yang lebih hakiki. Karenanya, kedirian manusia yang lebih abadi adalah sebagai makhluk ruhani.

Ada manusia yang hanya hidup sebagai makhluk jasmani. Waktu dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan jasmani. Bahkan dengan cara yang jauh melampaui kebutuhan yang sesungguhnya.

Manusia jasmani akan berinteraksi dengan lainnya didasarkan pada hal-hal yg bersifat jasmani. Meski dekat secara jasmani, bisa jadi secara ruhani jauh. Kehadirannya tidak berjejak di hati yang lain.

Sebaliknya ada manusia yang sejak di dunia sudah jadi makhluk ruhani. Semua hal yang bersifat fisik tak membuat ruhnya berpaling dari-Nya. Gemebyaring dunyo tidak menumpulkan batinnya.

Manusia seperti ini mudah dekat dengan manusia lain walau tak pernah bersua secara fisik. Kehadirannya hidup di banyak hati manusia. Kematian fisiknya tak membuatnya lenyap dari hati orang lain.

Teladan Gus Dur

Gus Dur adalah satu di antara sedikit dari entah berapa jumlah manusia yang sudah wafat, namun terus hidup di banyak hati orang dan masih terus menjadi inspirasi. Walau masih hidup, keberadaan kita bahkan belum tentu disadari oleh orang lain. Sementara beliau yang sudah wafat, masih saja disadari kehadirannya.

Gus Dur tidak ma’shum karenanya wajar jika berbuat salah. Tapi di situ justru kekuatan umat Rasul yang mampu konsisten meneladaninya. Apalagi dalam posisi yang tidak biasa-biasa saja. Bayangkan menjadi Kiai sekaligus Presiden. Cobaan seorang kiai pasti besar. Sebagai Presiden, apalagi. Lah beliau ini pernah jadi Kiai sekaligus Presiden.

Teladan Gus Dur yang utama adalah menjadikan kemanusiaan sebagai perspektif dalam melihat orang. Baginya, apapun apapunnya selagi dia manusia, maka wajib diperlakukan secara manusiawi. Inilah salah satu ajaran inti Islam: memanusiakan manusia, atau memperlakukan manusia secara manusiawi.

Perbedaan manusia, bahkan perbedaan iman pun, tidak menjadikan sebab bolehnya kita memperlakukan orang lain secara tidak manusiawi. Apalagi perbedaan lainnya yang sepenuhnya ditentukan Allah seperti lahir dengan jenis kelamin, suku, dan bangsa apa.

Bagaimana mungkin orang diperlakukan tidak manusiawi karena menjadi perempuan, atau tidak menjadi laki-laki, sedangkan ia tidak ikut menentukannya? Bagaimana mungkin orang diperlakukan tidak manusiawi karena menjadi bagian dari suku atau bangsa tertentu, sedangkan ia tidak diminta memilih?

Manusia mesti diperlakukan secara manusiawi apapun apapunnya juga karena perbedaan lain yang mereka miliki tidak sepenuhnya mereka tentukan. Seperti menjadi orang bodoh, miskin, atau keduanya sekaligus.

Bagaimana mungkin orang diperlakukan tidak manusiawi karena bodoh, sedangkan akses untuk menjadi pintar tidak bisa dijangkaunya? Bagaimana mungkin orang diperlakukan tidak manusiawi karena miskin, sedangkan akses untuk sekedar hidup wajar pun tertutup baginya?

Begitu pun soal perbedaan iman. Iman adalah perjalanan spiritual sepanjang usia masing-masing orang. Mau mengutip Gus Mus takut salah konteks. Namun beliau kemaren mengingatkan hal penting bahwa orang beragama itu beragam tingkatannya. Ibarat pendidikan ada yang baru TK, SD, SMP, SMA, mahasiswa, bahkan sudah Guru Besar. Kita tidak bisa menerapkan standar keberagamaan tunggal bagi semua orang. Bayangkan menjadikan standar seorang Guru Besar untuk mereka yang masih TK.

Ada kearifan yang sangat diperlukan dalam beragama. Jangan jadikan keberagamaan diri sendiri sebagai standar tunggal. Apalagi keberagaman diri sendiri juga masih berproses sampai mati. Kita tidak pernah tahu di level mana keberagamaan kita. Namun, 1 hal yang pasti: semakin tinggi level beragama seseorang, semakin manusiawi sikapnya.

Bagi saya jalan hidup Gus Dur dengan segala kewajarannya sebagai manusia, telah meneladankan pesan Surat Al-Hujurat ayat 13. Ayat ini secara sosial mengkritik cara padang masyarakat Arab dan manapun yang menilai kehormatan seseorang berdasarkan atribut yang terbawa saat lahir: jenis kelamin, bangsa, dan suku. Ayat ini juga memberi standar baru kualitas manusia: ketaqwaan, yaitu hubungan baik dengan Allah yang melahirkan hubungan baik dengan makhluk-Nya.

Salah satu tanda orang yang bertaqwa adalah adil: bersikap adil-lah karena ia lebih dekat pada taqwa. Adil, terutama pada kelompok yang kita benci, menjadi syarat ketakwaan (al-Maidah ayat 8). Jadi sejauhmana kita bisa bersikap adil, terutama pada kelompok yang kita benci, sejauh itu pula nilai kita ditentukan. Berat? Pasti, karenanya perlu latihan. Terimakasih Gus Dur sudah memberi contekan.

Haul

Haul bukanlah untuk mengenang wafatnya seseorang, melainkan atas hidupnya. Gus Mus menjelaskan mengapa Nabi Muhammad SAW diperingati hari lahirnya (Mauludan). Demikian pula Isa As (natal)? Karena mereka adalah para Rasul yang ma’shum. Perilakunya terjaga sejak lahir hingga akhir hayat.

Umatnya tidak satu pun yang ma’shum. Ada yang masa mudanya sangat baik, ternyata di usia dewasa berubah sebaliknya. Ada pula yang masa muda dan dewasanya baik, ternyata di usia senja sebaliknya. Hanya manusia yang dinilai sampai akhir hayatnya konsisten baik yang diperingati haulnya, atau dikenang kebaikannya semasa hidup.

Menarik guyonan mbak Inayah dalam sambutan haul Gus Dur beberapa hari lalu. Haul banyak diperingati untuk laki-laki. Eh bener ya? Langsung mengkeret mikir siapa tokoh perempuan di kampung sampai tokoh nasional yang diperingati haulnya. Sampai sekarang belum nemu. Kalau benar, sudah pasti hal ini bukan karena tak satu pun perempuan yang sepanjang hidupnya konsisten baik. Haul itu juga perayaan yang bersifat sosial, sampai sini ketemu ya kata kuncinya.

Akhirnya, gajah mati meninggalkan gading. Macan mati meninggalkan belang. Manusia mati meninggalkan kemaslahatan. Sejauhmana hidup manusia memberi maslahat, sejauh itu pula makna kehidupannya.

“Aku maslahat, maka aku ada!”

Semoga semampu kita bisa meneladani Gus Dur untuk hidup maslahat seluasnya: lintas jenis kelamin, lintas bangsa, lintas suku, bahkan lintas iman, walau mungkin kelak haul kita tidak diperingati. Aamiin yra.

Al-Fatihah..