Alih-alih mengadopsi budaya dan tradisi Arab, muslim di Asia Tenggara mesti memelihara tradisinya sendiri. Menjadi lebih Arab tidak lantas menjadi lebih islami. “Orang Melayu tidak harus meninggalkan cara mereka berpakaian atau cara mereka berbicara dan menggantinya dengan cara Arab hanya agar terlihat lebih islami,” demikian kata direktur Kalam Research and Media yang juga menjabat sebagai Duta Besar Libya untuk Uni Emirate Arab, Dr Arif Ali Nayid, saat berbicara di Singapore Jumat lalu.
Dr Nayid, yang oleh lembaga think-tank Yordania, The Royal Al-Bayt, dimasukkan dalam daftar 50 intelektual muslim paling berpengaruh di dunia, mengatakan bahwa Arabisasi Islam dan praktek-praktek kultural di Asia Tenggara hanya akan memicu kontroversi.
Di Indonesia dan juga Malaysia, mulai ada kegelisahan umum terkait Arabisasi budaya ini, yang sering disamakan dengan islamisasi. Padahal itu dua hal yang berbeda. Untuk menjadi muslim yang baik seseorang tidak harus menjadi Arab–hidup dalam budaya Arab, dan dengan hidup dalam gaya dan budaya Arab seseorang tidak lantas menjadi muslim yang baik.
Di Malaysia, Sultan Johor minggu lalu mengingatkan agar warga Malaysia memelihara budayanya, alih-alih mengadopsi budaya Arab. Banyak kalangan di Indonesia juga mulai menaruh keprihatinan atas Arabisasi dalam cara berpakaian kaum muslim yang marak beberapa tahun belakangan ini, padahal Indonesia punya budaya sendiri yang juga tak bertentangan dengan nilai-nilai islam. Gus Dur jauh-jauh hari telah menyadari bahaya dari Arabisasi budaya ini, dan mengusulkan sebuah model pribumisasi Islami, yang penerapan nilai-nilai Islam yang bersesuaian dengan konteks lokal.
Lebih jauh Dr Nayid mengatakan bahwa untuk menjadi muslim yang baik pertama-tama seseorang harus menjadi muslim Indonesia yang baik, muslim Malaysia yang baik, muslim Singapore yang baik. “Tetap memelihara budaya lokal tidak berarti bertentangan dengan universalits Islam,” kata Dr Nayid. [SA]