Peran manusia sebagai khalifah di bumi mengisyaratkan sebuah peran aktif yang harus dilakukan. Berbeda dari makhluk lain, seperti hewan dan tanaman, mereka tidak memiliki tanggung jawab atas perubahan dunia menjadi lebih baik. Hewan dan tanaman bergerak dengan naluri, apa yang mereka lakukan disebut hukum alam, dan tidak ada timbangan amal yang timbul atas “perbuatan” yang mereka lakukan.
Manusia memiliki peran yang lebih kompleks. Peran manusia juga akan dipertanggungjawabkan, karenanya ada imbalan dari pemilik Hidup pada manusia ketika bisa menjalankan tanggung jawab menjadi khalifah di bumi dengan baik.
Perbedaan lain antara gerak manusia dan makhluk lain adalah progresifitas yang ditimbulkan. Anda mungkin masih ingat bahwa sebelum manusia ada di bumi, bumi ini telah ada berjuta-juta tahun sebelumnya, bumi tidak banyak berubah dan cenderung konstan dalam waktu yang sangat lama. Namun, ketika manusia mulai menghuni bumi, perlahan tapi pasti perubahan-perubahan mulai terjadi.
Sayangnya, perubahan yang terjadi di bumi seringnya ke arah yang destruktif. Rahim bumi dikeruk, paru-paru bumi diamputasi, sampai tudung atmosfer diracuni. Sehingga, upaya reinterpretasi peran kekhalifahan manusia menjadi penting untuk selalu dilakukan setiap waktu. Tujuannya tidak lain sebagai upaya tanggung jawab atas amanah yang diberikan. Optimalisasi peran yang bergaya konstruktif perlu untuk direalisasikan, dan juga diarus-utamakan.
Hal semacam ini lah yang menurut saya membuat kegiatan merawat bumi seperti penghijauan, tidak memaksimalkan bahan bakar fosil sampai tidak membuang sampah plastik tidak sekedar “merawat”, tetapi ada muatan tanggung jawab pada sang pemberi Hidup.
Kita tahu bahwa kerusakan yang dialami bumi ini sudah sangatlah parah, sehingga menuntut peran aktif manusia menjadi begitu penting. Demikian juga saat kita berharap pandemi segera berakhir, peran kunci ada di tangan manusia.
Kajian epidemiologi tentang virus corona mengatakan bahwa wabah dari virus bisa diselesaikan dengan cara menghentikan munculnya inang baru.
Virus, sebagai makhluk dengan mekanisme hidup buta, ia akan mati dengan sendirinya setelah masa inkubasi selesai dan tidak ada inang baru yang bisa ditempeli.
Virus adalah makhluk yang kualitas kehendak dalam hidupnya lebih rendah dari hewan dan tumbuhan. Hewan dan tumbuhan memiliki naluri dengan bergerak ke sumber makanan yang dibutuhkan saat mereka kelaparan dan berusaha mempertahankan hidup.
Ayam dengan nalurinya akan terus menggaruk tanah untuk mencari cacing yang bisa dimakan. Pohon mangga akan terus tumbuh ke atas menuju sinar matahari agar proses fotosintesis semakin maksimal dan ia bisa makan dari hasil metabolisme. Virus tidaklah demikian, ketika tidak ada inang di depannya, ia tidak akan jalan-jalan untuk mencari inang baru untuk mempertahankan hidup.
Saat kita tahu tiga hal; pertama, virus tidak merambat mencari inang, kedua, virus yang bersifat patogen harus dihentikan penyebarannya, dan ketiga, salah satu inang virus adalah manusia, manusia sebagai pengemban amanah dituntut bergerak aktif untuk menghentikan pandemi ini.
Sayangnya, selama ini kita banyak menemui manusia yang menganggap bahwa selesainya pagebluk tidak ada hubungannya dengan manusia. Apalagi saat melihat analisa yang mengatakan bahwa puncak pandemi ada di bulan Juni dan selesai di bulan Juli, seolah-olah hal itu akan terjadi begitu saja dan tidak melibatkan manusia.
Apakah selama ini pagebluk dianggap seperti datangnya musim hujan? Kita diam saja, gegoleran di rumah, lalu di bulan November hujan akan turun. Tentu ini tidak tepat.
Menanti pagembul berhenti tentu berbeda dengan menanti hujan turun, karena hujan mengikuti sistem hidrologi, sistem yang tidak melibatkan manusia di dalamnya. Sementara pagebluk dan segala ramalan atasnya sangat memerlukan andil manusia.
Sebelumnya, perlu dicatat bahwa yang saya maksud sistem hidrologi pada paragraf sebelum ini adalah sistem hidrologi ideal, sistem yang sudah ada sebelum manusia ada. Saat ini, manusia tentu terlibat dalam sistem hidrologi, atau lebih tepatnya mengganggu. Sistem hidrologi bumi menjadi kacau balau ketika pohon-pohon ditebangi dan tanah-tanah ditutup aspal oleh manusia.
Sehingga, pelibatan manusia dalam sistem hidrologi lebih condong ke arah permintaan pertanggung jawaban dalam mengembalikan ke kondisi idealnya.
Sementara, dalam skema pagebluk, peran aktif manusia dituntut sedari awal, bahkan sangat sentral. Kenapa peran manusia sangat sentral? Karena diskursus tentang pagebluk sendiri adalah hasil dari perspektif sisi manusia.
Begini, kalau anda belum tahu, sebenarnya virus adalah makhluk yang sangat jauh lebih purba dari manusia. Ia sudah lebih awal hidup dan berinang di tubuh hewan sejak sangat lama. Menempati hutan dan tidak dianggap masalah.
Kapan pagebluk jadi masalah? Saat manusia menganggap pagebluk masalah. Semula, virus corona ini berasal dari tubuh kelelawar, kelelawar tidak protes saat tubuhnya menjadi inang. Kemudian, atas tindakan manusia sendiri, virus itu berpindah ke manusia, kemudian manusia pula lah yang menganggapnya sebagai masalah.
Sehingga, peran aktif manusia sebagai khalifah dalam menghentikan pagebluk jangan seperti menunggu hujan, diam tidak ngapa-ngapain dan sesekali berdoa. Dalam menghentikan pagebluk, manusia harus “aktif untuk hidup pasif”. Manusia perlu menjaga jarak, memakai masker, dan tetap di rumah. Tanpa melakukan hal-hal semacam ini, apalagi tetap seenaknya keluar rumah dan menganggap pagebluk akan selesai dengan sendirinya, tidak mustahil kita akan tetap dengan corona sampai 2021.
Saya tidak menakut-nakuti, tetapi begitulah pagebluk. Ia berhenti ya ketika kita sendiri yang sengaja menghentikannya.
Tapi kan bisa dengan vaksin? Vaksin bukan menghentikan pagebluk, tetapi membuat kita terbiasa dengan pagebluk. Selama vaksin belum ada, usaha kita ya menghentikan penyebaran virus. Jadi, tetaplah di rumah. Jadilah khalifah yang mengerti peran dan bertanggung jawab di bumi.