Halal bi halal (HBH) pada masa pandemi COVID-19 ini menarik dicermati. Bukan hanya sekadar saling sapa, silaturahim, mendengar taushiyah, kangen-kangenan secara daring (online), dihadiri ratusan orang yang tak terbayangkan sebelumnya, tetapi juga ada makna lain di balik layar kecil di HP atau Laptop atau Komputer.
Salah satu makna itu menawarkan gagasan baru dalam kancah dunia persilaturahiman atau wacana akdemik pemikiran Islam saat ini. Untuk makna ini, penulis amati pada 2 (dua) momen halal bi halal, yaitu Ngaji Ihya’ Ulumuddin dan Qiraah Mubadalah. Kebetulan kedua momen tersebut didukung oleh beberapa orang atau lembaga yang sama. Perbedaan yang dapat disebut barangkali salah satunya peserta yang hadir dan meramaikan pada HBH, baik dalam media sosial ataupun di ruang daring pertemuan. Para peserta satu sama lain sudah diikat oleh kecenderungan gagasan sang pengusul HBH; Ngaji Ihya dan Mubadalah.
Terkait gagasan tersebut, tulisan sederhana ini ingin menegaskan bahwa setiap gagasan ada orangnya dan setiap orang ada gagasannya.
Pernyataan ini, tentu saja, tidak dimaksudkan semata-mata pada figur tokoh tertentu, tetapi gagasan itu lahir pula dari peserta yang hadir atau menyaksikannya, sekalipun di lain waktu melalui youtube-nya. Pada bagian youtube ini pula, sisi lain yang unik dan menarik dari halal bi halal era COVID-19 ini. Momen HBH tidak hanya sirna dalam sesuapan nasi atau seteguk air usai jabat tangan akhir kegiatan. HBH daring era COVID-19 akan dapat dinikmati sepanjang masih ada dalam rekaman secara online dan viral.
Sebelum lebih lanjut mengurai terkait makna “gagasan dan orang” dalam HBH di atas, penulis ingin mengutip terjemah satu ayat dalam QS. Ali Imran: 110 dari beberapa kitab tafsir berbahasa Jawa, dan diakhiri dengan bahasa Indonesia dari Tafsir Al-Misbah karya Al-Habib Asy-Syeikh M. Quraish Shihab. Secara berurutan di bawah ini dimulai dari Tafsir Al-Ibriz.
“Sira kabeh (umat Islam) iku bagus-baguse umat kang diwujudake supaya migunani marang manungsa. Padha perintah tumindak becik, lan nyegah saking perkara mungkar, lan padha iman marang Allah Ta’ala. Lamun Yahudi Nasoro gelem padha iman kaya sira kabeh (umat Islam) yekti iman mau luwih bagus. Sebagian saking ahli kitab pancen ana kang iman, kaya Abdullah bin Salam sak kancane (asal Yahudi) lan kaya raja Najasi sak kancane (asal Nasoro) nanging akeh-akehe ahli kitab iku pada Fasiq (kufur)” (Ali Imran: 110).
Alih aksara ini sesuai dengan kitab tafsir karya KH. Bisri Mustofa, “Al-Ibriz versi Latin Tafsir Al-Qur’an Bahasa Jawa”, edisi eksklusif (12 Sya’ban 1432 H./ 21 Juni 2013 M.). Tanda Tashih No: P.VI/TL.02.1/806/2013, Kode: A7D-II/U/100/VI/2013. Adapun Tafsir Al-Ibriz ini memperoleh izin kali pertama cetak berdasarkan nomor: D-34/Q-1-10-59 (pegon).
Selanjutnya, kitab tafsir “Al-Huda: Tafsir Qu’an Basa Jawi” karya Kolonel Drs. H. Bakri Syahid, tanda tashih: A-III/206/B-II/77 (20-8-1977), sebagai berikut:
“Sira kabeh iku dadi sebecik-beciking ummat kang tinitah ing Donya, tumrap para manungsa, sira padha parentah nindakake panggawe becik. lan padha anyegah saka laku ala, apa dene sira padha iman ing Allah. Saupama wong ahli Kitab iku padha gelem iman, yekti bakal nemu becik tumrap dheweke. Sawenehe wong mau ana kang iman, ananging kang akeh padha duraka”.
Dalam pengantar kitab tafsir ini disebutkan bahwa pengarang pernah belajar di “Kweekschool Islam Muhammadiyah” tamat tahun 1935, menjadi Guru H.I.S Muhammadiyah Sepanjang, Surabaya, dan Sekayu, Palembang hingga tahun 1942. Pendidikan tingginya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1957-1963. Pernah menjabat Rektor IAIN Sunan Kalijaga tahun 1972-1976.
Dalam kitab tafsir “Al-Iklil Fi Ma’ani at-Tanzil”, karya KH. Misbah ibn Zain al-Mushtofa (Bangilan, Syawal 1403 H. / Juli 1983 M.), disebutkan “Sira kabehe ummat Islam! Iku umat kang paling bagus ana ing kalangane masyarakat manusa. Sabab sira kabeh iku pada merintahake kabagusan lan nyegah perkara kang mungkar lan padha iman marang Allah. Upamane wong-wong Ahli Kitab kaya wong Yahudi lan Nashrani iku gelem pada iman, temtu padha oleh apa kang bagus tegese apa kang nyenengake atine. Uga ana kang iman, nanging akeh-akehe padha fasiq”.
Terjemahan resmi dari Kementerian Agama RI, “Al-Qur’an dan Terjemahannya: Bahasa Jawa dan Banyumasan”, Tanda Tashih: No. P.VI/1/TL.02.1/775/2015, Kode: A51-II/U/0,5/VI/2015 (Jakarta, 8 Ramadlan 1436 H./ 25 Juni 2015 M.), sebagai berikut:
“Ko kabeh (umat Islam) kuwe umat paling apik sing delairna nggo menungsa, (merga ko kabeh) prentah (temindak) sing ma’ruf lan nyegah maring sing mungkar, lan padha precaya maring Gusti Allah. Angger Ahli Kitab padha precaya, mesthine kuwe lewih apik nggo dheweke. Neng antarane dheweke ana sing padha precaya, ning akeh-akehe dheweke kuwe wong-wong pasek”.
Terjemah dalam bahasa daerah oleh Kementerian ini merupakan perhatian pemerintah kepada para penutur bahasa daerah agar dapat memudahkan dalam memahami Al-Qur’an yang berbahasa Arab, seperti disebut dalam sambutan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifudin.
Jumlah bahasa daerah di Indonesia berjumlah sekitar 300 bahasa lokal dari 500 suku yang tersebar se antero negeri pada 17.000 pulau Indonesia, sebagaimana disebutkan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Prof. H. Abdur Rahman Mas’ud, Ph.D. Hanya saja, semua sambutan dan kata pengantar dalam terjemah resmi ini tunggal dalam bahasa Indonesia, semestinya juga ada bahasa Jawa Banyumasannya, atau sekurangnya pengantar bahasa Jawa Banyumasan itu dari tim penerjemahnya, sehingga pembaca dari bahasa asal lebih mengerti lagi maksud dan tujuan diterjemahkannya itu.
Terakhir, terjemahan QS. Ali Imran: 110 dalam “Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an” Vol.2 (Jakarta, Lentera Hati, 2002, sebagai berikut:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahl al-Kitab beriman, tentulah itu baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.
Dari beberapa terjemahan ayat tersebut, terutama yang dari bahasa Jawa, kita dapat menarik benang putih, satu ayat saja, dengan bahasa dan suku bangsa yang sama, tidak ada yang sama dalam menerjemahkannya. Padahal ketiga kitab tersebut masih dalam kurun waktu yang sama abad ke-20, 1950-1980an, kecuali yang dari kementerian abad ke-21, tahun 2015.
Perbedaan paling kentara adalah ketika menerjemahkan Ahli Kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani yang beriman, khususnya terjemahan dari Kyai Bisri Mustofa dalam Tafsir al-Ibriz-nya, dengan menambahkan tokoh/figur dari Yahudi dan Nasrani, serta penjelasan lebih lanjut dalam tafsir al-Iklil (hlm. 469). Yang dimaksud “minhumul mu’minun” itu Abdullah bin Salam dan para Sahabatnya dari Yahudi, dan Raja Najasyi dengan sahabatnya golongan Nasrani (Kristen).
Sehingga kita lebih jelas dapat memahami maksud dari ayat tersebut, bahwa ada juga umat Yahudi dan Nasrani (Kristen) yang beriman kepada Allah, melalui kehadiran adanya Nabi dan Rasulullah Muhammad Saw. Pun tafsir Al-Misbah juga tidak menyebut contoh nama tokoh dari Yahudi dan Kristen yang dimaksud dalam penjelasannya itu (hlm. 184-186).
Dalam kaitannya memaknai halal bi halal Santri Online Ngaji Ihya dan Qira’ah Mubadalah, ayat 110 Ali Imran ini menjadi panduan dan penegas bahwa kita semua sebagai orang Islam adalah umat yang terbaik (bagus, becik, apik). Kebaikannya itu supaya dapat menebarkan kebaikan, kedamaian dan keadilan. Kebaikan itu dengan cara yang baik, makruf dan mencegah keonaran, kemungkaran, sekalipun kepada orang yang berbeda agama, suku bangsa, pilihan politik, status sosial-budaya, dst. Melihat gagasan-gagasan dan tindakan yang muncul dari kedua HBH tersebut, baik dari pelaku utama atau para muhibbin (aktivis) insya Allah sudah mencerminkan hal itu.
Sepanjang pengamatan penulis, pesertanya tidak hanya satu negara, satu agama, tidak hanya satu suku, dst, terutama para muhibbin dalam HBH Ngaji Ihya, sekalipun bernama Santri Online. Kemungkinan, karena santri itu bukan hanya bermakna untuk Muslim saja. Barangkali Qiraah Mubadalah juga harus dapat mengemas kegiatan untuk semua elemen tersebut, karena kesalingan (resiprositi, mubadalah) yang adil, damai, sejahtera tentu diharapkan oleh semua manusia, semua golongan, sekte, agama dst.
Dalam Tafsir Jalalain, karya Jalaludin Al-Mahalli dan Jalaludin as-Suyuti (muridnya), seperti disebut dalam tafsir Al-Iklil, kedudukan umat Islam paling bagus dan paling utama itu karena sudah ditetapkan Allah Swt. dalam Lauhil Mahfudh (alam di atas langitnya langit). Karena itu, keutamaannya yang ada jangan dirusak dan dihilangkan. Keutamaannya yakni untuk tetap menebar kebaikan (ma’ruf) dan mencegah kemungkaran dengan tidak didorong oleh nafsu untuk mencari kekuasaan atau pangkat jabatan (politik, sosial, budaya, ekonomi), serta bukan untuk mencari kapital, atau semata hanya urusan finansial, tetapi tetap dalam kerangka iman kepada Allah Swt.
Syarat menjadikan muslim sebaik-baik umat, disebut pula dalam Tafsir Al-Mizan, karya Sayyid Muhammad Husain ath-Thabathaba’i, sebagaimana dikutip Tafsir Al-Misbah. Terdapat tiga syarat untuk meraih kedudukan khairu umat, yaitu amar ma’ruf (tebar kebaikan), nahi (mencegah) mungkar, dan persatuan dalam berpegang teguh pada tali/ajaran Allah. Hal itu ditegaskan Umar bin Khattab dalam riwayat Ibn Jarir, “Siapa yang ingin meraih keistimewaan ini, hendaklah dia memenuhi syarat yang ditetapkan Allah itu”.
Kiranya, tidaklah berlebihan bahwa halal bi halal era pandemi COVID-19 dimaksudkan untuk menjadi khairu ummah seperti di atas, wabil khusus pada HBH Ngaji Ihya yang diinisiasi gagasannya oleh Gus Ulil Abshar Abdalla, dan Ning Ienas Tsuroiya, serta Qiraah Mubaadalah oleh Kang Kyai Faqih Abdul Kodir, sekalipun dalam sambutan akhir HBH dirinya hanya merasa menyusun gagasan-gagasan yang sudah ada saja dan mubadalah itu ya milik semuanya, mereka yang ingin bergerak dan berubah seperti diungkap oleh Mbak Alissa Wahid dan Pak Lukman Hakim Saifuddin sebelumnya.
Tentu saja, kedua HBH tersebut labih mendapat perhatian berbagai kalangan juga karena gagasan-gagasan yang disebarkan oleh orang-orang yang senafasnya, baik melalui refleksi tulisan sebelum mengikuti atau sesudah mengikutinya. Mereka inilah sesungguhnya yang sebelum HBH sudah mendengarkan, membaca, mendiskusikan dan memperoleh manfaat dari Ngaji Ihya online kurang lebih empat tahun berjalan dan Qiraah Mubadalah yang sejak bulan Ramadlan kemarin sudah massif secara online oleh Kang Faqih dan timnya, serta berbagai kegiatannya melalui seminar, workshop secara luring sejak dekade terakhir.
Wallahu A’lam Bish Shawab.