Menitipkan Hiruk-Pikuk Komunisme pada Generasi Z

Menitipkan Hiruk-Pikuk Komunisme pada Generasi Z

Menitipkan Hiruk-Pikuk Komunisme pada Generasi Z
ilustrasi (net)

Jika publik bersabar meluangkan waktu sebentar untuk membaca, maka hiruk pikuk komunisme yang selalu menjadi petasan bibir di bulan September tidak terlalu perlu untuk terus-menerus diulang. Singkat pemahaman saya, jika dilihat secara hukum, larangan penyebaran Komunisme dan Marxisme dalam Tap MPRS 1966 tidak berlaku untuk kajian ilmiah (seperti diselenggarakan oleh kampus). Ada peluang untuk lebih memahami “Malam Durjana 30 September 1965” secara lebih benar dan terhormat daripada sekadar Nobar (nonton bareng), yakni diskusi ilmiah.

Komunis (sebagai ideologi kerap disekutukan dengan ateis) di Indonesia seharusnya sudah usang menjadi topik pembicaraan, menyusul tren dunia pasca Perang Dingin yang tidak lagi menjadikannya topik perbincangan internasional. Negara mutakhir yang berpaham Komunis (seperti China, Rusia, dan Korea Utara) ternyata hanya bungkusnya yang Komunis, namun isinya tetap saja 24 karat Kapitalis. Secara historis paham kiri ini benar-benar telah terkubur, dan tidak lagi laku secara sosial-teoretis. Tidak berlebihan jika gemuruh “Waspada Kebangkitan PKI” dianggap mengada-ada dan hipokritis.

Kenapa topik ini tidak pernah memudar dan, sama seperti buah, perdebatan Komunisme di sini memiliki musim, karena selama tiga dekade Negara (baca: ORBA dan Tentara) punya andil dalam mengontrol dan mengawasi sejarah tunggal tentang Komunis, yakni: narasi kekejaman.

Sejarah adalah rekonstruksi ingatan. Sekalipun negara berusaha mengontrol sejarah, ketika ingatan itu dialami secara kolektif oleh orang banyak, ada masa di mana kontrol itu akan meredup dan buram. Tepat setelah robohnya kontrol ORBA, keran reformasi terbuka lebar dan ingatan individu yang termampat lama mulai muncrat dan berceceran. Tahap ini mengawali fase “berbagi ingatan” untuk merekonstruksi sejarah baru dari negeri yang paling berhasil melakukan pembantaian habis terhadap kaum Komunis kombatan maupun non-kombatan.

Dalam kondisi “berbagi ingatan” ini publik akan melihat bentangan informasi yang beragam, tidak seperti sebelumnya yang hanya ada (dan harus) satu ragam. Terdapat publik yang tertutup, dan niscaya bebal mencerna obyektivitas posisi Kudeta 30 September karena terlanjur dicekoki satu ragam ingatan kemudian diyakini sebagai fakta sejarah. Namun ada pula publik yang terbuka, dan lama-kelamaan mempertanyakan sosok mantan presiden Soeharto, menyadur kalimat Wertheim, tentara yang tidak terlampau jenius—namun berhasil dalam memonopoli sejarah ingatan selama 33 tahun—ternyata mampu melakukan efisiensi ajaib di tengah-tengah keadaan Kudeta 30 September yang luar biasa ruwet dan membingungkan.

Dari Mana Harapan?

Jika Generasi X (lahir antara 1965-1976), katakanlah, cukup fanatik dan sulit berdialog dengan ingatan yang lama termampat, sudah sepatutnya kita serahkan pada alam untuk memperbaikinya. Jauh dari itu, ada ruang untuk optimis pada angkatan termuda Generasi Y (Generasi Milenial, lahir antara 1980-1994) dan angkatan tertua Generasi Z (lahir 1995-2000an).

Generasi Y dan Z dianggap paling terdidik di muka bumi ini dan dianggap paling siap untuk menginvasi generasi terdahulu dalam urusan ekonomi, sosial, dan budaya. Saat generasi lama terhantam “gegar teknologi informasi” (lebih-lebih terkotori politik sejarah), dua generasi terakhir hadir sebagai “pribumi digital” paling rasional dan mumpuni serta lebih fokus, lebih serba bisa, lebih global, dan lebih terbuka.

Terkait Kudeta 30 September, generasi ini tumbuh dan berkembang bersama ocehan para pendahulu mereka yang terkena dampak benturan informasi yang beragam. Meskipun lakon mereka masih “diputuskan oleh orang tua”, namun memiliki kesempatan besar untuk mengakses beragam informasi bermacam-macam di Media Sosial bersama jaringan manusia seumurannya secara imagined communities (tidak saling mengenal namun terhubung) yang diputuskan topik obrolannya oleh diri mereka sendiri.

Peluang yang bisa diambil adalah menyisipkan sebaran informasi kritis Kudeta 30 September yang bersifat membekali di tengah peningkatan pertumbuhan pararel mereka pada identitas relijius (mulai dari memasukkan anak ke sekolah agama, memilih pakaian syar’i, makanan halal, perumahan Islami, menonton tayangan dakwah, memilih pemimpin seiman).

Semisal begini:

Untuk memahami satu ayat Quran saja, seperti kriteria Al-Tibyan fi ‘Ulum Al-Quran (h. 159), diwajibkan penguasaan ilmu yang tidak hanya satu; dan ilmu-ilmu ini pun memiliki disiplin yang bercabang-cabang (mulai dari Bahasa Arab [Nahwu, Shorf, Isytiqaq], Balaghah [Ma’ani, Bayan, Badi’], Ushul Fiqh [‘Aam, Khosh, Mujmal, Mufashol], Asbab AlNuzul, NasikhMansukh, hingga Qiro`at). Ini artinya Islam mengajarkan umatnya untuk memikirkan suatu perkara secara sistematis, mendalam, mendasar, berdalil, dan tidak asal.

Pun Kudeta 30 September tidak bisa dilihat secara hitam putih, apalagi diurai secara sangat sederhana dan asal-asalan. Untuk mengerti betul, diperlukan pendekatan yang tidak tunggal dan disiplin ilmu yang bermacam-macam. Cukuplah riuh-rendahnya pertikaian generasi sebelumnya menjadi teladan untuk lebih berhati-hati dalam mengurai Kudeta 30 September.

Harapan hidup orang Indonesia rata-rata 70 tahun. Jika sekarang Anda berumur 22-37 tahun, artinya Anda akan melewati “Bulan Keramat September” sebanyak 33-48 kali dalam hidup Anda. Apakah Anda akan membuang-buang waktu dalam pertikaian receh yang tidak menghasilkan apa-apa selain kesia-siaan, seperti para pendahulu Anda?