Beberapa konten terkait isu tertentu sering sekali diunggah ulang. Saya yakin sebagian besar kita tentu menjumpai konten yang diunggah ulang, terlebih jika terkait isu-isu yang sensitif. Seorang teman marah-marah di sebuah perbincangan grup Whatsapp karena ada yang mengunggah konten terkait bahaya komunisme di Indonesia. Terakhir dia berseloroh, “ah, ini biasa dekat bulan September.
Adakah agama juga terpapar model konten yang serupa? Tentu kita menjawabnya, Iya. Rasanya, kita juga tak sulit menjumpai fenomena yang sama dalam keberislaman kita sehari-hari. Terlebih, irisan agama dengan beragam isu di ranah sosial, politik, hingga ekonomi sudah bukan barang asing lagi, maka fenomena konten keagamaan yang diunggah ulang, juga sangat mudah kita jumpai.
Mengapa ini bisa terjadi? Tentu bukan hanya karena agama telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari kita. Namun, agama sering dilibatkan dalam isu-isu sensitif dalam kehidupan kita.
Selain itu, agama juga memiliki isu-isu sensitif yang juga seringkali berulang. Yuk kita dalami lewat isu kemerdekaan RI kemarin.
Ya, narasi agama di hari peringatan kemerdekaan RI selalu hadir di setiap tahunnya. Uniknya, beberapa konten pernah diunggah sebelumnya tahun-tahun sebelumnya, walaupun akun yang menunggah tidak selalu sama. Namun, konten yang diunggah biasanya berisi sikap, pendapat, atau narasi terkait kemerdekaan RI.
Baru kemarin kita merayakan Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia ke 78. Dan Kelompok Salafi adalah salah satu kelompok muslim yang paling disorot sebagian besar masyarakat Indonesia.
Mengapa? Alasan paling terdepan adalah salah satu otoritas di kelompok Salafi disebut pernah mengeluarkan fatwa haram hormat kepada bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan.
Tentu konten tersebut hari ini tidak lagi begitu sering terlintas di linimasa, namun imaji kelompok Salafi adalah golongan tidak nasionalis tentu masih melekat hingga hari ini.
Walhasil, beberapa tahun terakhir ini konten beberapa ulama dari kalangan Salafi terkait boleh hormat kepada bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan terus diproduksi dan direproduksi untuk menutupi isu “Tidak Nasionalis” tersebut.
Di sisi lain, kelompok lain yang anti-Salafi juga mereproduksi konten “Haram Hormat Bendera dan Lagu Kebangsaan,” untuk “menyerang” kelompok Salafi. Bahkan, perbincangan terkait ini terus menggunakan konten ini untuk “memelihara” atau “merawat” kebencian atas kelompok Salafi.
Apakah kelompok Salafi tidak melakukan aksi serupa? Jelas saja tidak, mereka juga sering menggunakan konten media sosial, untuk “menyerang” kelompok tradisionalis. Beragam tradisi keberagamaan Muslim tradisionalis yang telah mulai massif di media sosial tak lepas dari aksi reproduksi tersebut.
Wajah keberagamaan kita telah banyak berubah sejak berjumpa dengan internet. Dalam artikel Wiring Up: The Internet Difference for Muslim Networks, Jon W. Anderson menegaskan bahwa kehadiran Islam di ranah daring tidak hanya antara kompromi dalam agama dan praktik-praktik Internet, tetapi juga antara kompromi dalam masing-masing dan antara praktik-praktik dalam masing-masing.
Konten yang direproduksi dan diunggah ulang dengan beragam maksud dan isu yang berbeda-beda adalah bagian dari wajah keberagamaan kita hari ini. Konten-konten baik terkait isu keberagamaan atau sosio-politik yang dikaitkan dengan agama sering sekali diunggah atau direproduksi sepihak.
Di TikTok ada istilah stitch, di Facebook ada algoritma bernama share, di Twitter kita mengenal retweet, hingga Instagram kita diperkenalkan dengan repost yang semuanya “membantu” kita untuk mengunggah beragam konten di media sosial. Selain fenomena pencomotan konten dan diberi tanggapan negatif, kita juga dengan mudah menjumpai beragam komentar
Media sosial memang memiliki lanskap diskursus keilmuan yang sangat berbeda dengan apa yang ada selama ini. Seorang teman pernah berkelakar soal ini, “Konten di media sosial itu seperti
Jon W. Anderson menyebut diskursus agama di internet mengalami apa yang dia sebut dengan creolazation, yang merujuk pada proses demokratisasi diskursus keagamaan di level yang sama sekali tanpa batas atau sekat, apalagi hierarki. Artinya, agama tidak lagi dipegang atau “dikuasai” oleh sekelompok elit agama, yang dihadirkan oleh sistem pengetahuan keagamaan yang telah bertahan lama.
Narasi agama yang selama ini dikurasi dan dihadirkan oleh ulama atau tuan guru malah bisa dikomentari, diserang, direproduksi dengan mudah tanpa kurasi atau filter oleh lembaga atau seseorang yang berkompeten. Dampaknya, wacana-wacana agama bisa diotak-atik oleh seseorang tanpa pengetahuan agama yang mumpuni sebelumnya.
Kembali apa yang telah ditegaskan oleh Anderson di atas, bahwa agama dan internet akan mengalami kompromi di kedua belah pihak, dan mencapai titik konsensus yang kemudian bisa saja ditinjau bahkan direvisi kembali hingga terjadi kembali konsensus baru. Agama tidak berkompromi sendirian atas kehadiran internet, namun di saat bersamaan, internet juga menjalani beragam kompromi.
Sebenarnya, wacana nasionalisme pun tak luput dari dinamika creolization ini. Nasionalisme tidak lagi “hanya” ditafsirkan oleh Negara, dan dijejalkan dalam memori bangsa secara membabi buta. Namun, semua orang menjadi berhak berbicara terkait nasionalisme, termasuk merevisi beragam jejak digital yang bertentangan dengan pendapat hari ini.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin