
Ada-ada saja. Saat Arab Saudi melarang umat Islam menggunakan kamera untuk merekam jamaah salat tarawih termasuk siaran langsung di televisi selama ibadah berlangsung. Eh, di Indonesia dihebohkan dengan viralnya imam salat tarawih sedang melakukan siaran langsung di TikTok.
Arab Saudi melalui Kementerian Agama melarang live streaming tidak hanya untuk salat tarawih selama Ramadan, tapi semua salat jamaah di masjid. Pelarangan ini diberlakukan semata-mata bertujuan untuk menjaga kesucian masjid, menjaga suasana yang sesuai untuk beribadah, etika berjamaah, serta memastikan kenyamanan jamaah.
Di Indonesia malah terbalik. Seorang ustaz bernama Mahmud Daud malah mendapat dukungan saat live salat dari masyarakat. Dia memakai berbaju abu-abu dan berpeci putih saat melakukan live salat tarawih. Dia memiliki suara bagus dan tak sedikit orang yang kesemsem dengan bacaan Al-Qur’annya. Dia melakukan live salat tarawih di Masjid Nurul Alam yang terletak di Jl Sadang Sumompo, Buha, Kec. Tuminting, Kota Manado, Sulawesi Utara.
Bahkan karena suaranya bagus, banyak orang memberikan saweran dan saweran tersebut diterima oleh ustaz itu selama live streaming. Masyarakat mempertanyakan motif di balik aksi sang ustaz mengimami salat tarawih sambil live TikTok.
Tidak hanya itu, netizen yang menyaksikan live streming tersebut juga memberikan beragam komentar, baik yang bernada positif maupun negatif. Tak sedikit dari komenan itu menganggap bahwa fenomena tersebut dianggap sebagai “inovasi baru” dalam berdakwah.
Belum kering perdebatan perihal kelakuan ustaz Mahmud Daud. Eh, masih ada lagi ustaz lain melakukan live serupa. Namanya Nurul Alam. Ustaz ini juga melakukan siaran langsung di akun TikTok saat mengimami salat tarawih. Bahkan live Tiktok salat Nurul Alam ditonton lebih dari 6 ribu pengguna akun. Yang lebih mengherankan lagi, saat ustaz Mahmud Daud ini membaca surat panjang, banyak penonton yang memberikan berbagai macam jenis gift dari, termasuk gift berupa topi.
Dramaturgi dan attention economy
Fenomena live salat tarawih ini bisa masuk dalam apa yang disebut oleh Erving Goffman (1956) sebagai “dramaturgi”. Imam salat bukan hanya sedang menampilkan ibadah secara personal, tetapi ibadahnya ingin ditampilkan secara memukau di depan audiens atau mungkin Tuhannya. Akhirnya, ia tidak sekadar menjadi praktik spiritual personal, melainkan ibadahnya yang ingin menjadi menjadi tontonan publik.
Saya merasa, meskipun teknologi bisa memediasi pengalaman keagamaan (mediatization of religion), khawatirnya perilaku ini berpotensi terjebak pada motif attention economy, yaitu ingin mencari dan meningkatkan engagement, jumlah pengikut, ketenaran dan duit.
Atas fenomana tersebut, tidak salah juga kalau ada masyarakat yang menilai bahwa ustaz ini tidak etis, berlaku riya dan bagaikan “menjual agama” karena mendapat saweran atau gift. Perilaku yang sama juga dilakukan oleh si penonton, bukannya beribadah, tapi malah menonton live tikTok sang ustaz dan memberikan gift. Dua entitas ini tampak mengalami disrupsi sosial yang saling melekatkan.
Tanggapan demi tanggapan
Ada banyak orang yang mempertanyakan kesahihan dan mencari bagaimana hukumnya imam sholat tarawih live Tiktok. Dalam hal ini pengurus Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU KH Abdul Muiz Ali menjelaskan, keabsahan suatu ibadah tergantung sarat dan rukun yang harus terpenuhi. Artinya, kata dia, salat tarawih bisa dianggap sah kalau sudah memenuhi sarat dan rukun sholat. Terkait solat tarawih yang ditayangkan secara live melalui Tiktok sendiri, menurut dia, sebenarnya hukumnya sah dalam ilmu fikih. Namun, kata dia, jika imam tersebut melakukan live sendiri terlihat tidak etis (Republika, Senin (3/3/2025).
Namun, menurut KH Abdul Muiz Ali, meski secara fikih sah, tapi tetap tidak etis dilakukannya. Ini karena hal tersebut dapat mengganggu, baik bagi imam atau makmum di sebelahnya. Bagi dia, segala bentuk aktivitas yang dapat menggangu kekhusyukan dalam salat hukumnya makruh.
Menurut para ulama, khusyuk merupakan salah satu aspek paling penting dalam salat (seorang hamba menghadap Tuhannya). Dan melakukan live streaming saat salat berpotensi mengganggu kekhusyukan ibadah. Imam Nawawi menjelaskan bahwa segala hal yang dapat menyibukkan hati dan menghilangkan kekhusyukan dalam salat hukumnya makruh (Syarafuddin an-Nawawi, Syarah Nawawi ala Shahih Muslim, (Bairut, Dar Ihya` at-Turats al-‘Arabi: 1393), jilid V, halaman 46). Dan karenanya harus ditinggalkan.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulummiddin manyatakan, siapa yang salat untuk mengharap pujian dari manusia, maka orang tersebut tidak mendapatkan pahala sama sekali.” (Ihya’ Ulumiddin, (Beirut, Darul Ma’rifah: t.t.) jilid III, halaman 301). Hal demikian sangat kontekstual dengan kasus salat sambil live streaming dan disaksikan oleh banyak orang berpotensi menimbulkan rasa riya’ atau pamer dalam ibadah.
Meski live salat bisa menimbulkan ketenaran dan mendapatkan gift topi, paus, dan gift TikTok Universe sekalipun, rasa-rasanya tetap kurang pantas. Meski live salat bisa dianggap inovasi dan stategi baru dalam marketing keagamaan, rasanya bukanlah praktik yang dianjurkan dalam Islam. Namun, kalau sekadar ingin menyaingi ketenaran Cristiano Ronaldo, monggo saja. Eh, apa Ronaldo salat?