Menjelang pilpres 2019 ini media sosial tambah rame. Para pendukung ke dua kubu aktif mengunggulkan calonnya masing-masing. Kadang karena sangking semangatnya, terjadi semacam perdebatan yang mendekati ujaran kebencian, malah juga, walau mungkin jumlahnya sedikit mendoakan kalah calon yang tidak didukung.
Mengamati fenomena semacam ini, penulis jadi teringat guyonan teman santri dulu di pondok. Katanya, jika ingin menang kompetisi dari rival, kita harus saling mendoakannya. Hal itu sepertinya perlu dipraktikkan antara kedua pendukung 01 dan 02.
Dulu aku sempat protes, kok bisa begitu. Ia menjawab, “loh orang yang mendoakan saudaranya itu didoakan mailakat. Maqbul (diterima) mana, doamu atau malaikat?”
Aku mimpali, “ini kan rival!”
Ia menjawab lagi, sambil terkekeh, “kita kan sesama muslim, walau rival kan tetap bersaudara”
Tampaknya apa yang dikatakan temanku itu terinspirasi dari hadis Nabi, walau sengan tafsirnya yang bernuansa humor. Begini hadisnya:
مَا مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ، إِلَّا قَالَ الْمَلَكُ: وَلَكَ بِمِثْلٍ
Artinya, “Tidak ada seorang hamba Muslim yang berkenan mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan kecuali malaikat mendoakan orang yang berdoa tersebut dengan kalimat ‘Kamu juga mendapat sama persis sebagaimana doa yang kamu ucapkan itu,” (HR Muslim: 4094).
Ahmad Mundzir di situs nu online menulis, yang dimaksud kata “zhahrul ghaib” menurut Muhammad Abdul Baqi adalah tanpa berdoa tanpa sepengetahuan orang yang didoakan. Kenapa demikian? “Rahasianya adalah bahwa orang yang mendoakan secara diam-diam tentu lebih ikhlas tanpa mengharap imbalan apa pun dari orang yang didoakan” tulis Ahmad Mundzir.
Jokowi dan Prabowo beserta pendukungnya, walau sekarang sedang bersaing, alias jadi rival, tapi mereka berdua kan saudara. Sama-sama Indonesia dan juga sesama muslim.
Dari penjelasan di atas, mungkin nanti yang akan jadi presiden, antara Jokowi dan Prabowo adalah yang paling banyak mendoakan menang yang lainnya.
Monggo para pendukung, alih-alih mendoakan jelek lawan politik, mending mendoakan baik saja. Toh doa itu, jelek maupun baik, akan kembali ke yang berdoa. Bukankah begitu gaes?
Zaim Ahya, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.