Dalam beberapa tahun terahir, banyak opini bertebaran yang menyatakan bahwa umat Islam sedang mengalami penindasan. Opini tersebut dibentuk melalui narasi, khususnya di media sosial, yang direproduksi terus menerus dengan tujuan menciptakan opini publik bahwasannya umat Islam memang benar-benar tertindas. Padahal, kenyataanya belum tentu demikian bahkan sama sekali tidak sesuai dengan fakta.
Lebih ironi lagi, kelompok yang seringkali memproduksi dan menyebar narasi tersebut hanya kelompok kecil umat Islam yang dengan lantangnya menyuarakan atas nama Islam secara keseluruhan. Tentu saja, tanpa bisa dipungkiri, munculnya narasi-narasi tersebut secara tidak langsung bisa merusak kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat.
Kriminalisasi ulama, pemerintah yang anti Islam, antek Asing/Aseng, Amerika ataupun Yahudi adalah sebagian dari narasi penggiringan opini publik dan tidak jarang tuduhan disematkan pada kelompok yang tidak sejalan dengan mereka. Jika ditelisik lebih mendalam lagi, sebenarnya, aktor dibalik narasi ketertindasan umat Islam adalah kelompok-kelompok fundamentalis.
Mereka ini adalah barisan sakit hati yang belum bisa move on dari cerita-cerita masa kejayaan Islam dan beursaha mengembalikannya dengan penegakan khilafah dan atau―sebatas― penerapan syariat Islam sebagai maskot yang terus mereka perjuangkan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Iqbal Ahnaf (The Image of The Other as Enemy, Radical Discourse in Indonesia) bahwa kelompok-kelompok fundamentalis ini sengaja membangun opini publik melalui narasi yang menggambarkan seakan-akan umat Islam sedang barada dalam kepungan (under siege) kekuatan super power yang ingin menghancurkan Islam. Mereka adalah kaum kafir (infidel) terutama dari kalangan Yahudi dan Nasrani.
Kedua kelompok tersebut, Yahudi dan Nasrani, kemudian seringkali direpresentasikan dengan Barat, Amerika dan Israel (Ahnaf. 2012: 13). Maka tidak heran ketika terjadi sebuah peristiwa yang berhubungan dengan umat Islam yang tertindas menurut versi mereka, maka apapun salahnya, pelakunya adalah Amerika dan Yahudi. Padahal pada kenyataannya belum tentu demikian.
Dalam membangun opini publik, kelompok fundamentalis kemudian seringkali melegitimasi narasi yang dibuat dengan ayat al Quran maupun hadis. Sayangnya hal ini cenderung tekstualis, sedangkan makna dan kandungan al-Quran tidak hanya sebatas seperti apa yang tertulis, maka secara tidak langsung hal ini bisa dikatakan sebagai sebuah pemaksaan.
Selain itu, dalam banyak hal, kelompok-kelompok semacam ini juga mengusung pandangan yang sangat ekslusif. Mereka tidak hanya membentuk paradigma clear cut dalam memandang segala sesuatu yang imbasnya adalah penghakiman; antar benar dan salah, haram dan halal bahkan Muslim dan Kafir. Untuk hal yang terahir, maka tidak heran jika sering kita saksikan tuduhan kafir, syiah, liberal dan sejenisnya terhadap muslim lainnya, bahkan tokoh Kyai sepuh sekalipun tak luput, dikarenakan perbedaan pendapat dan pandangan dengan mereka. Yang benar-benar muslim menurut mereka hanyalah kelompoknya.
Pun sikap mereka terhadap pemerintahan yang mereka anggap tidak memihak kepada kelompoknya, maka mereka akan membangun narasi yang mengatakan seakan-akan pemerintah anti terhadap umat Islam, padahal pada kenyatannya tidaklah demikian. Toh, yang merasa demikian dan ribut cuman kelompok mereka, umat Islam yang lain biasa wae
Secara tidak langsung, narasi-narasi yang dibentuk sebagaimana contoh di atas adalah sebuah antisipasi sekaligus usaha untuk membentengi diri agar para pengikut kelompok fundamantalis tidak percaya terhadap kelompok lian. Tentunya dengan cara meruntuhkan kredibilitas para tokoh-tokoh agama yang tidak sepaham dengan pandangan kelompoknya, termasuk terhadap pemerintah. Upaya ini juga sekaligus untuk menarik simpati umat Islam yang tidak berafiliasi terhadap kelompok tertentu (baca: Islam saja) atau sebut saja dengan istilah “massa mengambang” dalam dunia politik.
Terhadap pola pembentukan opini publik yang demikian itu, seharusnya umat Islam dapat memahami sehingga tidak mudah percaya terhadap narasi-narasi yang sifatnya memecah belah persatuan dan kerukunan umat beragama. Selain itu, sudah seharusnya umat Islam mayoritas di Indonesia ini berupaya untuk membendung narasi kebencian tersebut dengan cara membuat narasi tandingan dengan menunjukkan wajah Islam yang sebenarnya. Yakni Islam yang penuh dengan welas asih; bukan Islam yang penuh dengan kebencian dan permusuhan. Wallahu a’lam
Aminuddin Hamid, penulis adalah pegiat di Islami Insitute Jogja.