Gaya berpikir seseorang dapat ditelaah dengan mengamati, pertama, bagaimana ia menggunakan dan menyusun kata. hal ini meliputi komposisi jenis kata dan susunan gramatika yang ia gunakan. Dan kedua, bagaimana ia membenturkan serangkaian premis, membuat kategorisasi, merangkai metafora, dan seberapa jeli ia dalam mengenali mana variable umum dan variable khusus.
Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai generalisasi atas keseluruhan gaya berpikir beliau, melainkan sebuah upaya untuk ‘sedikit mengintip’ interior pemikiran miliknya. Tentu, penulisan tulisan ini dibarengi keinsyafan bahwa sosoknya terlalu besar untuk direduksi dalam analisa tulisan pendek.
Akan tetapi, adalah sesuatu yang menarik, bahwa ternyata di beberapa karangan tersiar miliknya, tersemat gaya-gaya berpikir yang mencolok dan ‘tidak umum’, yang mungkin agak sedikit nyeleneh bagi seorang figur―yang dalam bayangan kita sebagai penyandang gelar―’kyai’, apalagi ditambah pula oleh garis leluhurnya yang tak diragukan.
Jangan bayangkan bahwa KH Wahid Hasyim adalah seorang yang normatif sekaligus afirmis terhadap ajaran, afiliasi, ataupun sejenisnya. Dan jangan bayangkan juga kalau ia menyukai hal-hal mistik. Sebaliknya, beliau dapat dikatakan tidak ragu untuk mengupas itu semua melaui komitmennya terhadap ketertaan dan skeptisisme dalam berpikir.
Kalau menengok kata pengantarnya Greg Barton di buku Prisma Pemikiran Gus Dur, di situ Barton mengatakan, “Gus Dur mungkin adalah sebuah anomali. Siapa orang di dunia ini yang diakui sebagai pemikir liberal sekaligus juga diakui sebagai seorang wali selain dia”. Mungkin ke-liberal-an Gus Dur tidak lain memang turunan―atau terlatih sejak kecil―dari gaya berpikir ayahnya, KH Wahid Hasyim.
***
Karakter itu dapat kita temukan, salah satunya, dalam tulisan KH Wahid Hasyim yang berjudul Mengapa Saya Pilih Nahdlatul Ulama yang terbit di Gema Muslimin Tahun ke I, November 1953. Di situ KH Wahid Hasyim menulis:
“Pada bulan April 1934, ketika saya baru datang dari luar negeri, datanglah permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan dari beberapa perhimpunan dan Partai Islam agar saya menggabungkan diri pada mereka. Antaranya dari Nahdlatul Ulama. Saya tidak segera memenuhi permintaan-permintaan dan ajakan-ajakan itu. Hampir 4 tahun saya menimbang, baru menentukan sikap memasuki salah satu dari pada perhimpunan-perhimpunan atau partai-partai tadi.
Kemungkinan dimuka saya adalah dua, masuk perhimpunan-perhimpunan atau partai-partai yang telah ada, atau mendirikan perhimpunan atau partai yang baru. Terus terang saya uraikan di sini, bahwa perhimpunan-perhimpunan atau partai-partai di waktu itu saya pandang tidak memuaskan; perhimpunan A kurang radikal, Partai B kurang pengaruh, Partai C kurang banyak kaum terpelajarnya, Partai D kurang jujur pimpinannya. 1001 macam kekurangan-kekurangan di dalam pandangan saya.”
Dalam tulisan tersebut, beliau menguraikan kekurangan dan potensi tiap partai; membandingkan pengaruh dari tiap prinsip politik yang ada di tiap perhimpunan seperti daya gebrak (revolusi/gagasan), kuantitas massa, kualitas kaderisasi dan distribusi wilayah; dan menguraikannya dalam bingkai analisasa per-kategori secara terstruktur. Yang unik adalah beliau mendebat pikirannya sendiri. Hal ini terjadi ketika ia menganalisa NU.
Mulanya beliau melihat bahwa NU terlalu lambat gerak revolusinya, penuh dengan monopoli orang-orang tua, dan penekanan unsur agama di dalamnya banyak memberatkan orang muda yang ingin bergabung. Namun hasil renungannya mengantar beliau pada kesimpulan bahwa: gerak revolusi yang lambat kuranglah prinsipil jika dibanding dengan luas wilayah yang telah dicakup NU; orang-orang tua di NU sebenarnya tidak memonopoli suara ataupun gerak perhimpunan, karena ternyata mereka juga anggota biasa; dan penekanan agama dapat berfungsi sebagai penyaringan proses kaderisasi yang ketat.
Dari tulisan Mengapa Saya Pilih Nahdlatul Ulama, dapat ditarik tiga prinsip berpikir. Pertama, KH Wahid Hasyim adalah seorang yang tegas menghindari falasi pikiran (fallacy of thought). Ada sekitar 7 jenis falasi, dan dalam tulisan ini, KH Wahid Hasyim menghindari apa yang disebut sebagai falasi ad auctoritatis, yakni anggapan bahwa kebenaran di tentukan oleh otoritas (seperti orang yang lebih sepuh ataupun lebih tinggi jabatannya.
Bayangkan anda menjadi seorang ayah yang telah belajar sana sini, kemudian menciptakan perhimpunan dengan tujuan tertentu dan diakui oleh banyak ulama, namun anak anda tidak lekas menerima dan bergabung. Bahkan anak anda sampai menghabiskan waktu 4 tahun hanya untuk menimbang kelebihan-kekurangan perhimpunan yang anda buat.
Hal itu dapat dianggap sebagai sesuatu yang ofensif kalau dilihat dari koridor normatif, namun itulah yang dilakukan KH Wahid Hasyim: skeptis dan rela mengahabiskan 4 tahun hanya untuk memastikan bahwa pilihannya adalah benar dalam arti hasil renungan, dan bukan ‘benar’ sebatas karena faktor hubungan darah dengan Sang Ayah (KH Hasyim Asy’ari).
Kedua, tulisan Mengapa Saya Pilih Nahdlatul Ulama merefleksikan bahwa beliau adalah pengguna teknik konvergen (convergentional thinking) yang ulung. Teknik konvergen pada intinya adalah tentang melihat sesuatu dari sisi yang berseberangan. Teknik ini dicirikan dengan adanya penyebutan kekurangan-kekurangan atau variabel-variabel yang saling kontras satu sama lain.
Sering kali, teknik ini beririsan dengan teknik perbandingan (comparative thinking). Bedanya adalah, teknik konvergen mirip kodok yang melompat dari satu batu ke batu yang lainnya, yang dari tiap batu loncatan itu, ia melihat segala hal tentang batu A dari perspektif batu B, dan begitu seterusnya sampai batu C, D, E, dst. Sedangkan teknik perbanding sebatas tentang membandingkan beberapa hal (batu B, C, D, E) dari satu sudut pandang (batu A).
Teknik kovergen kental terlihat saat beliau melakukan perbandingan proyeksi tiap himpunan dan partai yang beliau simulasikan melalui beberapa titik tolak, misalnya seperti bagaimana kalau mengedepankan kuantitas dan kualitas cendekiawannya, atau luas wilayah massanya, atau militansi gerakan ataupun gagasannya. Dalam tulisan lain yang berjudul Analyse Kelemahan Penerangan Islam, teknik ini juga digunakan.
Ketiga, KH Wahid Hasyim adalah pemikir meta, atau meta-thinkers. Pemikir meta dibaratkan seperti lapisan bawang, yakni di luar pemikiran ada pemikiran lain, dan begitu seterusnya sampai beberapa lapis. Kadang pemikir meta hanya menampakkan dua lapis pemikirannya, tapi kadang juga bisa lebih dari itu. Dan dari tiap lapisan, biasanya, pemikir meta mampu menciptakan kalau bukan dialektika antar lapisan, maka menciptakan evaluasi atas pikirannya sendiri.
Karakter ini muncul ketika hasil renungannya selama empat tahun justru membawanya pada kesimpulan yang mengoreksi atau mengevaluasi pemikirannya sendiri tentang Nahdlatul Ulama. Kesimpulan itu tidak lain merupakan hasil dari dua lapisan pikiran miliknya yang ia benturkan sendiri.
***
Gaya-gaya berpikir tersebut dapat dikatakan tidak umum di kalangan orang Islam karena, hierarki, mistifikasi figur, dan keseragaman berpikir (beserta kesimpulannya) masih cukup kental mewarnai kehidupan sehari-hari. Sedangkan apa yang diaplikasikan KH Wahid Hasyim adalah sesuatu yang kontras daripada tradisi berpikir umat Islam pada umumnya.
Kritik paling keras dari KH Wahid Hasyim tentang lemahnya tradisi berpikir kritis umat Islam (critical thinking) dapat kita temukan dalam kata pendahuluan yang ia tulis di awalan agenda Kementerian Agama tahun 1951-1952, yang ia beri judul Tuntutan berfikir, sebuah tema pendahuluan yang terkesan ‘sak karepe dewek’ untuk sebuah buku agenda Kementerian yang mengurusi hal-hal spiritual.
Apa yang dipraktekkan oleh KH Wahid Hasyim dapat menimbulkan resiko, pertama, friksi antar hierarki. Kedua, mengantarkan seseorang pada kesimpulan yang tak terduga, yang besar kemungkinan akan dihakimi oleh banyak orang. Dan ketiga, menguras energi diri karena memelihara sistematika berpikir. Namun apa yang dicontohkan oleh KH Wahid Hasyim, pada dasarnya adalah, bahwa keterbukaan dan keberanian dalam berpikir dapat mengantar seseorang pada argumen atau pandangan yang lebih jernih dan mandiri, sekaligus menghindarkan seseorang dari ilusi-ilusi kemayoritasan. Mungkin visi serupa juga telah menjadi tradisi individual bagi ayahnya dan anaknya.