Festival jazz Ramadhan di Masjid Cut Mutia menjadi memory satu-satu bagiku untuk mengingat pria keluarga Maluku, Glenn Fredly. Ada banyak lagu yang dibawakan, namun ada lagu yang paling jelas dalam ingatan saya. Ya, lagu itu menjadi lagu paling hits tahun lalu. Glenn menyanyikan sangat energik, seolah sedang merayu penonton sebagai kekasihnya. Dalam sebuah wawancara dengan Najwa Shihab beberapa waktu lalu, bahkan, dirinya berharap untuk bisa kembali tampil dalam agenda tersebut. Namun, ternyata waktu dan Tuhan belum berkehendak.
Sudah tiga kali ini Glenn Fredly menjadi pengisi dalam acara Festival Jazz Ramadhan. Dari agenda tersebut, Glenn menyampaikan dua pesan yang paling mendasar untuk keberagaman. Hal Pertama dia ucapakan pada 2017, di mana Jakarta sedang marak pemilu SARA. Glenn juga menyisipkan cerita perdamaian dan keberagaman dari Maluku di atas panggung. Menceritakan bahwa Ambon yang dulunya menjadi kota dengan peperangan antar agama, kini menjadi kota music. Pesannya pun cukup mendalam. Dia perpesan hiduplah dengan kasih sayang dan waras. Pesan tersebutlah yang akan menjadi pesan syahdu perdamaian dari Glenn Fredly.
Hal Kedua adalah saat Glenn menganggap Festival Jazz Ramadhan sebagai simbol keberagaman yang merupakan rahmat dari kekuasaan Tuhan. Begitu yang dia ungkap dalam sebuah acara bersama Najwa Shihab tahun lalu. Berbicara tentang keberagaman dan toleransi bukan hal yang omong kosong bagi almarhum. Dirinya yang dibesarkan dalam keluarga Maluku ini, keberagaman adalah ajaran yang selalu diajarkan.
”Salah satu contohnya menganggap seorang muslim yang datang ke rumah sebagai saudara gendong. Orang Maluku biasa menyebutnya Pela Gandong. Cerita tentang Pela Gandong ini memang terjadi di Maluku,” ucap Glenn dalam acara tersebut.
Dalam wawancara tersebut, Glenn dan tradisi beragaman menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan. Apalagi, saat dirinya menceritakan tradisi Pela Gendong ini memang tak banyak diketahui masyarakat. Pela Gendong merupakan ikatan kekerabatan antar desa di Maluku. Pela adalah suatu perjanjian hubungan antara satu kampung dengan kampung lainnya. Biasanya berada di pulau berbeda dan juga kadang beragama berbeda. Sementara Gandong berarti ‘saudara’. Sehingga Pela Gandong berarti dua atau lebih kampung yang saling mengangkat sebagai saudara.
Uniknya, jika terjadi suatu pengkhiatan pada saudara muslim mereka akan meraka berdosa atau disebut tualak. Tradisi tersebut, bukan hanya sekedar seremonial. Pela Gandong benar-benar diterapkan dan terlihat sekali terutama saat ada upacara adat di salah satu kampung yang terikaat dengan kampung lainnya. Selain itu, tradisi Pela Gandong hadir jauh sebelum konflik Maluku terjadi. Bahkan, budaya pela gandong merupakan suatu tradisi yang ada pada masyarakat, khususnya Negeri Raja-Raja di bumi Maluku dalam menciptakan suatu kebersamaan dan kerukunan antara masing-masing negeri tersebut.
Dari tradisi itu, kita bisa melihat jika kontak kultural tidak hanya akan membuahkan toleransi saja, melainkan memperkaya antarbudaya dan gagasan multikulturalisme. Peristiwa seperti ini, harus diakui tidak banyak yang mengungkap. Sebab, seringkali dianggap sebagai hal yang tidak populer. Dua pesan tersebut menjadi pesan keberagaman yang syahdu dirinya untuk kita semua.
Bagaimana tidak, berbicara tentang keberagaman berarti berbicara tentang menghargai kemanusiaan yang mana harus menjadi tanggungjawab kolektif bagi semua orang. Bukan hanya generasi tua, melainkan generasi milenial. Dalam konteks Indonesia, keberagaman yang tercipta di Indonesia menjadi acuan berbagai negara bicara tentang perdamaian.
Kita semua perlu menyakini, jika apa yang terjadi di Indonesia menjadi kabar baik bagi dunia di mana toleransi menjadi warisan dari leluhur dan nenek moyang bangsa Indonesia. Apalagi, tradisi keberagaman ini adalah tradisi Qur’ani, Sunnah Nabi Muhammad SAW, sehingga wajib hukumnya untuk dikontekstualkan dalam kehidupkan bermasyarakat. Merayakan