Dalam beberapa waktu terakhir, institusi Polri sedang mendapat sorotan publik, terutama dari warganet. Pasalnya, beberapa kasus terakhir yang mencuat sebagai berita utama melibatkan lembaga kepolisian sebagai pihak yang terlibat.
Pertama, terkait laporan ancaman pidana yang ditujukan kepada warganet di Kepulauan Sula, Maluku Utara. Ya, seoarang warganet dijerat laporan akibat mengunggah sebuah guyonan polisi jujur yang dipopulerkan oleh Gus Dur.
Teranyar, ramai di kalangan warganet anggota kepolisian yang melakukan tindakan kekerasan kepada salah seorang peserta unjuk rasa menolak tambang illegal di Pamekasan Madura. Diketahui peserta unjuk rasa tersebut adalah kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan menderita luka di bagian kepala.
https://twitter.com/mahasiswaYUJIEM/status/1276260261247107073
Slogan institusi Polri adalah melindungi dan melayani masyarakat. Oleh karenanya, peran aparat Kepolisian sebenarnya sangat dinanti oleh masyarakat dalam rangka menunaikan tugas melindungi dan melayani. Sangat disayangkan jika kepolisian justru menjadi institusi yang melakukan tindak kekerasan.
Ditengarai, institusi Polri kurang optimal dalam melaksanakan tugas pembinaan masyarakat (Binmas). Kritikan ini disampaikan oleh Desmond Junaidi Mahesa, Wakil ketua Komisi III DPR RI pada 30/1 lalu.
Padahal jika bekerja secara optimal, polisi bisa menjalankan peran yang krusial di tengah masyarakat. Apalagi kaitannya dengan mobilisasi massa dan rekayasa kebencian yang seringkali melanda masyarakat akar rumput di Indonesia.
Dalam sebuah laporan dari PUSAD Paramadina tentang kasus Ibu Meliana di Tanjung Balai, misalnya, terurai secara rinci bagaimana sebenarnya kepolisian mampu mengendalikan eskalasi dalam aksi massa yang berbasis agama.
Diketahui, kasus penodaan agama yang terjadi di Tanjung Balai bermula dari keluhan Ibu Meliana tentang volume speaker masjid yang terlalu keras dan dianggap mengganggu. Bermula dari obrolan di toko, peristiwa ini meningkat menjadi mobilisasi massa yang akhirnya mengamuk. Penjarahan, perusakan dan pembakaran tempat umum tidak terhindarkan. Tercatat tempat ibadah, balai pengobatan dan yayasan sosial di Tanjung Balai tidak luput dari amuk massa yang dimobilisasi oleh para wirausahawan politik yang menebarkan kebencian.
Dalam rentetan keributan di kasus Ibu Meliana Tanjung Balai, dilaporkan bahwa dua vihara selamat dari amukan massa. Kedua vihara tersebut yakni vihara Bhakti Maitreya dan Vihara Aria Satyani. Apa persamaan kedua vihara tersebut sehingga selamat dari amuk massa, sementara vihara lain banyak yang dirusak dan dibakar? Kedua vihara tersebut rupanya terletak berdekatan dengan pangkalan TNI AL dan kantor Satuan Kepolisian Perairan Tanjung Balai. Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa kesiapan pasukan keamanan menjadi kunci penting dalam pencegahan aksi massa yang rawan tereskalasi.
Selain itu, ada tindakan krusial yang dilakukan Kanit Reskrim Polsek Tanjung Balai Selatan pada malam kejadian. Kanit Reskrim Polsek mengikuti massa perusak dan menciduk para penjarah secara diam-diam, semuanya ada 9 orang. Inisiatif tindakan inilah yang memungkinkan proses penyidikan dan penangkapan 20 tersangka berikutnya bisa dilakukan dengan cepat.
Jika tidak demikian, penangkapan bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan tak ada satupun pelaku perusakan yang ditangkap karena makin meningkatnya eskalasi mobilisasi massa.
Apalagi, di periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, Kepolisian mendapat ruang yang cukup banyak dalam jabatan sipil. Belum lama, pada 23/6 lalu, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo menyampaikan rencana terkait penguatan TNI-Polri.
Menurut Tjahjo Kumolo, TNI dan Polri merupakan organisasi yang memiliki struktur hingga tingkat paling bawah – Babinsa (Bintara Pembina Desa) dan Babinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat). Hierarki Polri (dan TNI) bersifat komando sehingga bisa diandalkan.
Yang pasti, penegakan hukum yang dilaksanakan Polri bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keamanan masyarakat. Di sini lah prosedur dan pelaksanaan tugas menjadi urgen. Jangan sampai anggota kepolisian justru menjadi aktor penyebab ketidak tertiban dan kekacauan kehidupan masyarakat, akibat kurangnya profesionalisme dan pendekatan yang kurang humanis.