Inul Daratista sosok fenomenal tahun 2000-an pernah mengguncang kancah perdangdutan Indonesia dengan aksi panggung goyang ngebornya. Keberaniannya tampil beda bukan hanya mencuri perhatian publik, tetapi juga melahirkan cikal bakal perdebatan mengenai kebebasan berekspresi, budaya hingga moralitas.
Di tengah popularitasnya yang meroket, kritik tajam menghujani Inul. Aksi panggungnya dianggap terlalu vulgar oleh sebagian pihak, termasuk Rhoma Irama, yang menyebutnya sebagai ancaman terhadap moralitas masyarakat muslim. Rhoma Irama bilang “menggelar hal-hal yang merusak moral” demikian ungkapnya.
Bahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) kala itu mengeluarkan fatwa pengharaman atas gaya panggung perempuan kelahiran Pasuruan tersebut. MUI melarang Inul tampil di berbagai daerah. Akhirnya, pagelaran Inul Daratista dijegal, aksi panggungnya diboikot oleh sebagian pihak.
Baca juga : Konsep La Ikraha fi ad Din dalam Islam dan Cara Memahaminya
Lantas siapa yang membela Inul di tengah penjegalannya? Adalah Gus Dur orang yang berdiri membela pedangdut goyang ngebor tersebut.
Gus Dur, yang sering menjadi garda terdepan dalam membela hak-hak warga negara, melihat polemik ini dari sudut pandang yang berbeda. Dalam sebuah esai yang ditulisnya (Inul, Rhoma, dan Saya, Harian Duta Masyarakat 2003) Gus Dur menjelaskan bahwa meskipun ia memahami kekhawatiran Rhoma Irama atas moralitas bangsa, pelarangan aksi panggung Inul menyalahi konstitusi.
Sungguh pun Gus Dur sekata dan satu perasaan dengan bang Haji Rhoma Irama, hanya saja Gus Dur tidak setuju dengan sikap yang dilakukan Rhoma Irama. Gus Dur memahami, apa yang dilakukan Rohma Irama adalah medan dakwahnya raja dangdut tersebut. “Bang Haji melakukan perjuangan dengan caranya sendiri untuk menjaga moralitas sesama muslim, seperti yang dirumuskan fi’qh/hukum Islam, sebagai amar ma’ruf nahi munkar,” catat Gus Dur.
Menurut Gus Dur, kebebasan berekspresi adalah hak yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, dan setiap warga negara berhak menjalankan kebebasannya selama tidak melanggar hukum. “Bang Haji secara konstitusional tidak berhak melakukan pelarangan terhadap Inul karena ‘pengeboran’-nya,” tulis Gus Dur.
Bagi Gus Dur, yang berhak menentukan pelanggaran hukum hanyalah institusi hukum resmi seperti Mahkamah Agung, bukan individu atau lembaga keagamaan. Sikap ini menunjukkan komitmen Gus Dur terhadap demokrasi yang berbasis pada supremasi hukum.
Persilangan Gus Dur dan Rhoma Irama
Polemik ini juga mencerminkan persilangan pemikiran dua tokoh besar, Gus Dur dan Rhoma Irama. Rhoma memandang aksi Inul sebagai bentuk dakwah amar ma’ruf nahi munkar untuk menjaga moralitas bangsa, sementara Gus Dur memprioritaskan tegaknya kedaulatan hukum dalam negara demokrasi. Kesetiaan Gus Dur pada konstitusi ini bukan tanpa konteks. Menurutnya, banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang menyalahi konstitusi bahkan dilakukan oleh pemerintah itu sendiri tetapi tidak diselesaikan secara hukum, malah dibiarkan saja.
Nah sejalan dengan kasus penjagalan Inul Daratista, kalau memang Inul menyalahi konstitusi silakan diadili oleh hukum, tidak asal main hakim sendiri. Ini adalah upaya-upaya Gus Dur untuk menegakkan demokrasi di Indonesia, bahwa semua warga negara itu sama dimata hukum. Tidak boleh tebang pilih.
Baca juga : Adakah Natal di Bumi Palestina?
Sampai pada titik ini kasus penjegalan Inul Daratista adalah cerminan dari tantangan yang dihadapi oleh masyarakat demokratis: bagaimana menentukan kebebasan berekspresi, nilai budaya hingga moralitas. Satu sisi, Inul Daratista berani melawan stigma sebagai bentuk perjuangannya membela haknya sebagai warga negara. Di sisi lain, sikap Gus Dur dalam membela kebebasan berekspresi tanpa melupakan moralitas menunjukkan bahwa inklusivitas adalah kunci dalam membangun demokrasi yang sehat.
Melalui pembelaannya terhadap Inul, Gus Dur mengingatkan kita bahwa kebebasan berekspresi adalah fondasi demokrasi. Tanpa itu, negara kehilangan ruang untuk keberagaman gagasan dan kreativitas, yang menjadi ciri khas bangsa yang maju. Kira-kira begitu.