Menghadapi Kaum Tabdi’iy
Informasi penolakan terhadap pengajian salah satu ustadz kaum Tabdi’iy (saya ragu apakah kata tabdi’iy ini secara kebahasaan tepat untuk menerjemahkan kelompok-kelompok yang gemar membid’ahkan (Tabdi’iy) dan mensyirikkan kelompok lain. Jika salah, mohon dikoreksi) di Sidoarjo beredar viral di media sosial. Informasi liar salah satunya berjudul, “Gereja Dijaga, Kenapa Pengajian Dibubarkan.” Isinya menghujat GP Ansor Sidoarjo yang menginisiasi penolakan itu. Selama ini GP Ansor memang rajin ikut mengamankan ritual peribadatan agama apa pun, termasuk di gereja.
Saya pribadi tidak setuju dengan segala bentuk penolakan terhadap segala aktivitas dan ritual keagamaan –termasuk majelis pengajian kaum Tabdi’iy— sepanjang tak melanggar tata aturan dan hukum yang berlaku. Ini konsekuensi penerimaan terhadap demokrasi, yang salah satu unsurnya adalah kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berserikat. Kelompok Tabdi’iy ini memang menyebalkan Sebagian mereka menolak demokrasi, tetapi menikmati iklim kehidupan yang demokratis. Bisa dipastikan, di Negara otoriter, kelompok ini tak akan bisa leluasa mendakwahkan ajarannya.
Andai saya berada di TKP saat itu, saya akan mengusulkan kepada koordinator lapangan agar tak perlu unjuk rasa apalagi membubarkan acara pengajian. Cukup bikin majelis sendiri di serambi masjid, lalu adakah jamaah yasinan, tahlilan, dzibaiyah, nariyahan, dan semacamnya. Jika si ustadz di dalam pengajiannya membid’ahkan dan mengharamkan itu semua, abaikan dan lanjutkan saja.
Saat bermukim di Surabaya beberapa tahun silam, saya membantu sebuah yayasan sosial yang berada di dalam kompleks perumahan. Tak jauh dari kantor yayasan, terdapat masjid yang rutin menggelar pengajian yang diasuh oleh ustadz kaum Tabdi’iy yang hobi mengharamkan ini dan itu. Kami yang di yayasan cuek saja. Jika kamis malam tiba, tetap saja kami bikin yasinan, istighotsahan, dsc.).
Kaum Tabdi’iy bukanlah fenomena baru di Indonesia. Perang Paderi yang berlangsung 200 tahun silam di tanah Minangkabau Sumatra Barat adalah penanda awal kehadiran kaum Tabdi’iy di Indonesia. Sejumlah orang yang baru pulang dari tanah Arab merasa gerah dengan adat istiadat yang berlangsung di sana. Karena tak ada titik temu dengan kelompok adat, terjadilah perang saudara selama bertahun-tahun. Pada suatu titik, kedua kelompok bersatu untuk melawan tentara kolonial Belanda.
Adagium adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai yang hingga kini populer di tanah Minang adalah hasil negosiasi kedua kelompok yang bertikai. Perang Paderi usai, apakah kaum tabdi’iy menjadi kelompok dominan di tanah Minangkabau? Tidak. Sebagai salah satu contoh, kelompok tarekat tasawuf bertumbuh subur di sana. Padahal secara umum kelompok Tabdi’iy menolak tarekat tasawuf. Syeikh Abdurrahman Payakumbuh, kakek dari Proklamator Kemerdekaan RI, Muhammad Hatta, adalah seorang Mursyid Tarekat.
Penerus Syeikh Abdurrahman adalah putranya, Syeikh Arsyad. Bung Hatta memanggilnya dengan Ayah Gaek Arsyad. Dalam buku otobiografinya, Memoir, Hatta menggambarkan sosok Syeikh Arsyad, “Air mukanya yang jernih selalu, mencerminkan jiwa yang murni. Kata-katanya selalu mendidik ke jurusan berbuat baik, ramah tamahnya kepada segala orang dengan sifat pemurah kepada fakir miskin, orang-orang yang datang mengaji, dan peziarah dari luar. Wajah dan tabiat beliau tepat benar dengan kedudukannya sebagai ulama besar dan ahli tarikat.”
Karena itu, saya optimis, di bumi Indonesia, kelompok Tabdi’iy ini sampai kapan pun tetap akan berposisi sebagai kelompok minoritas yang berisik (noisy minority). Mereka rajin koar-koar, bikin heboh dunia maya, menguasai jaringan media sosial (FB, twitter, youtube,dll), tetapi tak akan bergema di dunia nyata. Bukan berarti lantas kita berdiam saja atas gerakan kaum Tabdi’iy, namun upaya menangkalnya juga harus cerdas dan elegan. Wallahu A’lam…..