“Maaf ya Nak, jadi menunggu lama. Ibu baru selesaikan masak untuk anak dan suami Ibu. Kegiatan setiap pagi begitu. Sesibuk apapun Ibu, Ibu selalu ingin memastikan perut anak dan suami Ibu terisi sebelum ibu meninggalkan rumah untuk memulai semua aktivitas.”
Demikian kata-kata yang tidak akan pernah saya lupakan dari almarhumah. Prof. Dr. Hj. Huzaemah T. Yanggo, tahun 2014 lalu saat saya hendak meminta surat rekomendasi dari guru besar sebagai syarat mendaftar Program Doktoral di SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tiga hari sebelumnya saya meminta waktu untuk berkunjung ke rumah beliau. Beliau membalas dan meminta saya untuk datang pada hari Rabu pagi sekitar Pkl. 07.00. Setelah menyampaikan maksud dan tujuan saya, kemudian kami menikmati teh hangat bersama sembari mendiskusikan tema riset yang hendak saya ambil. Setelah itu, saya pamit undur diri dan tak lupa mencium tangan beliau.
Sewaktu masih menjadi mahasiswa Strata I Dirasat Islamiyah, saya menikmati masa-masa indah dalam studi untuk menangkap penguasaan khazanah keilmuan fikih perbandingan mazhab dari beliau sepanjang 3 semester. Beliau salah satu dosen favorit kami. Saya pun meyakini pengalaman demikian juga dirasakan mahasiswa lain.
Di saat dosen lain mengantarkan perkuliahan dalam bahasa Arab, beliau memilih bahasa Indonesia. Tentu bukan perkara sulit jika beliau menyampaikan dalam bahasa Arab karena beliau merupakan perempuan pertama dari Asia Tenggara yang meraih gelar Doktor dari Universitas Al-Azhar Mesir. Saat ditanya hal itu, beliau menjawab, “Terkadang kita terjebak pada bahasa sehingga mahasiswa sulit menangkap substansi pembelajaran. Maka lebih baik saya gunakan bahasa yang mudah dicerna oleh mereka.”
Salah satu hal yang saya kagumi dari pendapat beliau ialah terkait perdebatan mengapa perempuan tidak boleh menjadi imam shalat bagi laki-laki sebagai counter-narrative pemikiran Amina Wadud, sarjanawan Muslim yang tinggal di Amerika. Bagi beliau, shalat bukan hanya soal ritual peribadatan yang tercermin dalam gerakan dan ucapan.
Keabsahan shalat juga diukur dengan tingkat kekhusyukan, menurut beliau, yang menurutku sangat identik dengan pandangan Al-Ghazali yang mengetengahkan khusyuk sebagai bagian dari rukun shalat. Karenanya, suara perempuan saat mengimami shalat akan mengganggu kekhusyukan makmum laki-laki. Dengan joke-nya, beliau berseloroh, “Saya khawatir, jika imam perempuan membacakan kalimat “Iyyaka na’budu wa-iyyaka nasta’in”, akan mengganggu ekstase makmum laki-laki yang kala itu tengah membayangkan kehadiran Tuhan karena indahnya suara imam, sehingga yang hadir dalam bayangan makmum ialah tubuh dan paras imamnya sendiri.”
Dalam diskursus perkembangan hukum Islam di Indonesia, nama beliau juga patut diperhitungkan. Misalnya, beliau juga tercatat sebagai salah satu inisiator terbentuknya Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia. Bagi saya, kecerdasan beliau berbasis pada kemampuan beliau dalam mempertahankan orisinalitas teks kitab-kitab turats untuk membangun paradigma fiqh progresif (al-ashalah wat-tajdid), serta kiprahnya untuk terjun langsung di masyarakat sesuai bidang yang beliau tekuni; Sesuatu yang jarang kita temukan di era matinya kepakaran saat ini – meminjam pendapat Tom Nichols. Beliau juga sangat concern pada isu-isu HAM, namun tidak larut dalam euforia untuk menerimanya sebagaimana adanya – taken for granted.
Karenanya, di banyak kesempatan beliau mengkritik draf Counter Legal Draf Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) yang beberapa tahun lalu sempat diwacanakan karena inkonsistensi epistemologi hukum Islam yang digunakan, di samping pandangan-pandangan yang dimuat di dalamnya berbasis pada pandangan yang dianggap lemah secara metodik (marjuh). Namun demikian, bukan berarti beliau tidak mendukung gerakan emansipasi wanita an sich.
Argumentasinya yang berbobot tentang bolehnya menjatuhkan hukuman yang berat bagi pelaku perkosaan, termasuk hukuman mati, di mana beliau analogikannya dengan tindakan muharib sebagaimana termaktub dalam Q.S. Al-Maidah/05: 33 karena di dalamnya mengandung unsur ifsad (perusakan), menunjukkan concern beliau terhadap isu perempuan.
Kekaguman inilah yang membawa saya mengingat kembali apa yang pernah diutarakan guru saya, almarhum K.H. Hariri Abd. Adzim, Situbondo. Jika kamu temukan seseorang sangat memahami apa yang baik bagi masyarakat (faqihun bi-mashalih an-nas), jangan ragu untuk menyebutnya sebagai ulama.
Dari Prof Huzaimah inilah juga saya temukan hal itu, selain kesederhanaan, kealiman dan kasih sayang terhadap murid-murid beliau sepanjang pergumulan saya dengan beliau. Saya juga mengingat ucapan K.H. Mustofa Bisri yang pernah ditanya, apa saja karakteristik dari seorang ulama hakikat. Beliau menjawab, ” Huwa alladzi yandzuru bi-‘ayni ar-rahmah”, dan saya pastikan itu merupakan pribadi yang ada dalam diri Prof. Huzaimah.
Selamat berjumpa dengan Sang Kekasih, Prof. Saya bersaksi engkau orang baik, pribadi shalihah yang mengabdikan hidupnya untuk agama, bangsa dan negara. Semoga kuburnya dilapangkan dan diliputi rahmat dari Allah Swt. Amin.[]