Gus Dur sudah meninggalkan kita beberapa tahun lalu. Ada banyak pelajaran yang diwariskannya. Salah satunya pendidikan politik. Bagaimana pemikiran politik Gus Dur dapat dibaca dalam buku Ijtihad Politik Gus Dur karya Munawar Ahmad. Buku ini berawal dari disertasi Munawar Ahmad tentang pemikiran politik Gus Dur (1940-2009). Pemikiran yang tersebar di 266 tulisan dari total tulisan Gus Dur yang berjumlah 500-an. Baik tulisan dalam bentuk buku, makalah, kolom, artikel, antologi, epilog, maupun kata pengantar.
Keberadaan disertasi setebal 464 halaman ini melengkapi beberapa disertasi tentang Gus Dur yang telah ditulis oleh sejumlah intelektual sebelumnya. Di antaranya adalah Andree Feillard yang berjudul “Islam et Pouvoir dans I’Indonesia Contemporaine” (1995), Dauglas Remage yang berjudul “Politics in Indonesia; Islam, Democracy and The Ideology of Tolerance” (1995), Greg Barton yang berjudul “Abdurrahman Wahid, Muslim Democrat, Indonesian President; A View from the Inside” (2002), dan Mudjia Rahardjo yang berjudul “Bahasa dan Kekuasaan; Studi Wacana Politik Abdurrahman Wahid dalam Perspektif Hermeneutika Gadamerian” (2005).
Ada tiga pertanyaan yang hendak dijawab oleh Munawar Ahmad. Pertama, bagaimana konstruksi pemikiran politik Gus Dur sebagai prototype pemikiran politik Islam kontemporer di Indonesia. Kedua, mengapa Gus Dur melakukan differance dengan cara selalu menawarkan diskursus alternatif terhadap grand-politics di Indonesia. Ketiga, bagaimana karakter ijtihad politik yang dibangun Gus Dur ketika memetakan, mengomentari, dan mendialektikakan teks ilahiah (nash) dengan konteks keindonesiaan (‘urf).
Untuk menjawab ketiganya, Munawar merujuk konsep utama dari gagasan Harold Lasswell tentang living text. Dimana kata dan bahasa dipandang tidak hanya sekedar peristiwa linguistik belaka, tetapi merupakan artefak pergumulan kepentingan (interest). Harold Lasswell dalam bukunya “Power and Society; A Framework for Political Inquiry (1950) menegaskannya dengan pernyataan; text as media for extent of power.
Dengan metode critical discourse analysis (CDA) ala Teun van Dijk, setidaknya ada empat ide pokok yang dapat disimpulkan dari jejak pemikiran Gus Dur di atas. Pertama, politics and order. Gus Dur sangat menaruh perhatian terhadap tata kelola dan struktur kehidupan politik. Di titik ini, dalam pandangan Gus Dur, hubungan ideal antara Islam dan demokrasi lebih baik bersifat subtantif ketimbang simbolis. Revivalisasi Islam harus diartikan sebagai upaya mewujudkan masyarakat yang lebih adil, demokratis, berkedaulatan hukum, dan ramah terhadap pluralitas. Kebangkitan Islam bukan merupakan gairah baru untuk menegaskan identitas primordial secara vulgar, tetapi esensi kebangkitan itu sebenarnya sebagai upaya pencapaian cita-cita Islam yang sejati, yaitu keadilan dan kesamaan antar sesama.
Kedua, politics and virtue. Bagi Gus Dur, politik harus disandingkan dengan etika dan kebijakan. Kongkritnya adalah gagasan pribumisasi Islam dan implementasinya sebagai etika sosial. Demokrasi dapat dibangun sejalan dengan prinsip-prinsip universal Islam. Di antaranya adalah persamaan, keadilan, musyawarah, kebebasan, dan penegakan hukum.
Ketiga, politics and freedom. Bagi Gus Dur, kebebasan setiap warga negara adalah sebuah hak. Kebebasan bukan berarti sesuatu yang bersifat negatif dan tanpa aturan. Sebaliknya, kebebasan dapat dijadikan sebagai basis untuk saling mengadu ide dan gagasan. Meskipun politik memiliki orientasi perjuangan kepentingan masing-masing kelompok, namun pada akhirnya politik harus mampu menjaga, mempertahankan, dan memperjuangkan citra kemanusiaan.
Keempat, politics happiness and welfare. Kesejahteraan rakyat bagi Gus Dur merupakan tujuan dari negara. Struktur negara merupakan perangkat politik untuk mendistribusikan kesejahteraan secara meluas. Negara juga harus mampu memberdayakan lembaga-lembaga swadaya masyarakat guna mencapai distribusi yang maksimal.
Di bagian akhir, disertasi Program Ilmu Politik Fisipol UGM yang telah diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta (2010) ini menyimpulkan bahwa pemikiran politik Gus Dur secara eksplisit menunjukkan ciri pemikiran “Kiri Islam”. Pemikiran yang gigih mempromosikan pemikiran alternatif berbasis subtantif Islam, mengedepankan persamaan, keadilan, kebebasan, dan egaliter. Pemikiran ini ditopang oleh 4 ide pokok di atas. Mulai dari order, virtue, freedom, hingga happines dan welfare.